Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kekerasan ekstrem terjadi pada periode perang revolusi.
Hasil penelitian dua tim yang mengelaborasi peristiwa sepanjang 1945-1949.
Kekerasan terjadi secara sistematis dan struktural, sekaligus kompleks.
DI Yogyakarta, berita proklamasi kemerdekaan Indonesia baru diterima dari kantor berita DÅmei Koori Yogyakarta pada pukul 10 pagi. Jumat itu menjadi hari penuh kabar gembira. Mimbar Jumat di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman di sela-sela khotbah mengabarkan hal itu. Di Tamansiswa juga dilakukan arak-arakan perayaan kemerdekaan. Sejumlah perempuan ikut dalam arak-arakan. Mereka meneriakkan kata-kata kemerdekaan dan membagikan selebaran pemberitahuan tentang proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Sejumlah organisasi perempuan seperti Aisyiyah, organisasi perempuan Muhammadiyah, ikut mengekspresikan kegembiraan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Galuh Ambar Sasi, dosen sejarah di Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga, Jawa Tengah, menuliskan risetnya tentang momen itu dalam buku Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal Pada Masa Perang Kemerdekaan, 1945-1949. Bagi perempuan di Yogyakarta, dia menjelaskan, peristiwa ini merupakan waktu yang menyenangkan. Mereka memiliki lagi kesempatan bertemu dan mengaktifkan kembali organisasi yang dibekukan Jepang. Para perempuan bisa ikut pawai, mendengarkan pidato politik, memasang simbol keindonesiaan, hingga keluar-masuk desa mengajarkan baca-tulis dan mengenalkan negara serta atribut kemerdekaan. “Kaum perempuan di Yogyakarta juga mulai memaknai kemerdekaan untuk memperjuangkan emansipasi perempuan dengan membentuk organisasi Perwani (Persatoean Wanita Indonesia) cabang Yogyakarta,” demikian Galuh Ambar Sasi menuliskan hasil penelitiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para perempuan juga memaknai kemerdekaan dengan aktif di berbagai kegiatan. Para gadis belajar mengikuti rapat politik serta bergabung dalam latihan pertolongan di Palang Merah dan menyalurkan logistik di dapur umum. Galuh melihat masa itu sebagai Masa Bersiap. "Bersiap" dalam konteks ini diartikan untuk mencegah serangan Jepang dan Inggris serta pertumpahan darah saat pengambilalihan kekuasaan. Pemaknaan lain Masa Bersiap adalah masa revolusi mentalitas dan tatanan nilai moralitas baru. Menurut Galuh, peran aktif perempuan menyebar di semua kelas sosial dan lintas kelas sosial. Mereka gigih ikut bergerak melawan penyelundupan serta aksi pencatutan di perbatasan wilayah kependudukan. Para perempuan di Yogyakarta juga berani keluar dari ruang privat dan membincangkan emansipasi.
Buku Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal Pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 dan buku Melewati Batas: Kekerasan Ekstrem Belanda dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949 saat diluncurkan di Perpustakaan Nasional, Jakarta, 18 September 2023. Tempo/Hilman Fathurrahman W
Selain tentang perempuan, buku Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal Pada Masa Perang Kemerdekaan, 1945-1949 memuat perihal kelompok etnis Tionghoa di Aceh pada masa itu. Sejarawan dari Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Mawardi Umar, menuliskan riwayat keberadaan komunitas Tionghoa yang datang jauh sebelum masa invasi Belanda. Mereka datang dalam gelombang besar pada sekitar abad ke-19. Kemudian mereka beranak-pinak dengan kehidupan ekonomi dan sosial yang lebih baik dari pribumi.
Kedudukan mereka berubah menjelang kedatangan Jepang. Sebagian warga etnis Tionghoa khawatir sehingga terjadi eksodus besar-besaran. Sisanya tinggal di Aceh. Sepeninggal Belanda, mereka dicurigai sebagai bagian dari kolonialisme Belanda. Ketika Jepang kalah dan terjadi proklamasi, warga etnis ini kebingungan menentukan pilihan dan sedikit-banyak berharap pada Sekutu. Mereka yang tetap berhubungan dengan Pemerintahan Nasionalis Tiongkok berharap ada petunjuk. Namun kenyataannya Pemerintahan Nasionalis belum bersikap dan mengakui mereka secara diplomatik. Pemerintahan Nasionalis Tiongkok berharap Belanda, Amerika Serikat, dan Inggris melindungi warganya di Aceh dan meminta warganya bersikap netral. “Sikap tersebut ternyata menimbulkan ketidakpercayaan di kalangan bumiputra dan pendukung Republik,” demikian Mawardi Umar menuliskan hasil penelitiannya.
Posisi dilematis ini memicu konflik terbuka pejuang dan pendukung Republik dengan komunitas Tionghoa. Perubahan peta politik yang cepat di Aceh kemudian memberi pengaruh bagi komunitas Tionghoa untuk membantu pejuang Aceh. Ketidakberhasilan Belanda menembus Aceh memberi ruang bagi komunitas etnis ini untuk cepat beradaptasi dengan perubahan yang tiba-tiba. Mereka menemukan cara bertahan di Aceh dan tidak melakukan eksodus seperti yang terjadi menjelang masuknya Jepang.
Laskar rakyat yang dua di antaranya adalah perempuan, pada 1945. ANRI
Akan halnya kisah komunitas Tionghoa di Padang, hal ini diteliti oleh Erniwati, sejarawan Universitas Padang. Tentara Pemerintahan Sipil Hindia Belanda atau NICA yang membonceng Sekutu berhasil mendekati mereka. Hal ini membuat komunitas Tionghoa dalam posisi sulit. Ketika warga etnis Tionghoa mengungsi, NICA memberi mereka perlindungan dan makanan. Sikap arogansi beberapa individu dalam komunitas Tionghoa serta kedekatan mereka dengan Sekutu dan NICA memicu kemarahan serta berbagai aksi kekerasan. Warga pribumi menjadikan warga Tionghoa sebagai sasaran kekerasan, penjarahan, dan pembakaran. Komunitas Tionghoa pun mengalami kesulitan dan terisolasi. Mereka selalu merasa waswas. Hal ini memaksa mereka selalu siaga dan curiga, termasuk kepada sesama orang Tionghoa. Namun kemudian warga etnis Tionghoa menyadari situasi dan ikut mendukung kemerdekaan.
Penelitian lain dilakukan oleh Anne van der Veer dari Universiteit Leiden, Belanda, yang berfokus pada keberadaan komunitas Tionghoa di Sumatera timur. Umumnya mereka mengaku sebagai warga negara Tiongkok yang tinggal di luar negeri. Mereka terjebak dalam situasi pergolakan politik dan kekacauan Republik yang pelik. Kekerasan memperburuk ketegangan dan perpecahan antara komunitas Tionghoa dan Indonesia di Sumatera timur.
Para pengamat melihat Korps Keamanan Cina atau CSC merupakan kaki tangan Belanda dan mendorong kekerasan terhadap warga Tionghoa. Ada pula faktor makin menonjolnya kelompok konservatif Tionghoa yang mengorbankan kelompok progresif. Anne van der Veer menerangkan, faktor ketiga yang memicu perpecahan etnis adalah menguatnya partikularisme Tionghoa. “Tidak ada yang benar-benar bertanggung jawab atas kekerasan yang menimpa orang Tionghoa,” tuturnya.
•••
BUKU ini juga memuat penelitian tentang sejumlah kekerasan yang terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Dijelaskan juga mengenai perebutan tanah partikelir di Depok Tengah, Sulawesi Selatan. “Kami ingin menunjukkan betapa peliknya periode ini dalam sejarah Indonesia-Belanda. Ada kelompok-kelompok pemberontak, pejuang, dan kelompok politik selain Republik Indonesia-Belanda yang aktif dalam konflik,” ucap Abdul Wahid, salah satu ketua program penelitian dari Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, seusai peluncuran dan bedah buku di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Senin, 18 September lalu.
Laskar bambu runcing bersiap menghadapi tentara Belanda, 1946. ANRI
Buku lain yang mengungkap terjadinya kekerasan adalah Melewati Batas: Kekerasan Ekstrem Belanda dalam Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949. Buku ini hasil penelitian Tim Kajian Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang Indonesia. Buku ini disusun sejak 2017 dan selesai tahun lalu. Isinya menjelaskan sejarah Indonesia-Belanda dalam konteks politik historis dan militer hingga kedatangan kolonial. Dijelaskan pula jumlah kekuatan militer Belanda yang dikerahkan selama periode tersebut, yang mencapai 220 ribu orang. Mereka dikerahkan untuk bertempur serta menjalankan fungsi pendukung dan administrasi.
Puncaknya, pada Agresi Militer II (1949), pengerahan 150 ribu orang kebanyakan difokuskan di Jawa dan Sumatera. Dijabarkan pula strategi yang diterapkan tentara Belanda. Di bawah pimpinan Jenderal Simon Hendrik Spoor, mereka melakukan serangan ekspansi bertahap melalui kantor-kantor perkotaan yang diambil alih dari Inggris ke daerah strategis atau penting secara ekonomi. Periode inilah yang memperlihatkan terjadinya kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda.
Soal kekerasan ekstrem pada awal fase revolusi, mereka melihat kekerasan tidak hanya terjadi di Jawa dan Sumatera. Spektrumnya lebih luas hingga ke perdesaan. Target dan korban yang lebih banyak juga telah dicatat dalam historiografi berbahasa Belanda dan Inggris. Mereka menekankan kekerasan ekstrem kelompok perang Indonesia terhadap warga sipil Indo-Eropa, Belanda, dan Maluku serta serdadu yang ditawan dan dilucuti, pejabat dan pegawai sipil, juga warga etnis Tionghoa. Istilah kekerasan ekstrem menggambarkan konsep yang menyeluruh sebagai indikasi kekerasan yang digunakan di luar dan di dalam situasi perang.
Warga sipil, prajurit, dan pejuang dilucuti dan ditangkap tanpa tujuan militer yang jelas. Bentuknya, antara lain, adalah penyiksaan, eksekusi tanpa pengadilan, penganiayaan, pemerkosaan, penjarahan, pembakaran, serta penggunaan senjata berat dan ringan yang membahayakan korban sipil.
Penyerahan tawanan Belanda oleh Mayjen Abdul Kadir kepada pihak Belanda di Bekasi, Jawa Barat, 26 januari 1947. ANRI
Berakhirnya periode kekerasan eksesif terjadi pada akhir Maret 1946. “Gelombang pertama kekerasan ekstrem di Indonesia sebagian berhasil diatasi karena intervensi militer Inggris, Jepang, upaya pemerintah dan tentara Indonesia, serta perundingan Indonesia-Belanda,” demikian tulisan Esther Captain dan Onno Sinke. Namun, setelah itu, kekerasan malah makin menjadi-jadi hingga dikerahkannya Depot Pasukan khusus di bawah pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling yang menggunakan kekerasan ekstrem.
Orang Belanda, Indo-Eropa, Maluku, dan penduduk pro-Belanda menjadi target intimidasi, penyerangan, dan pembunuhan pada 1946-1949. “Kekerasan ekstrem Indonesia meningkat sangat eksponensial pada periode 21 Juli-5 Agustus 1947. Kekerasan ekstrem juga didata dari sejumlah wilayah di Sumatera dan Sulawesi. Terdapat data yang berbeda pada jumlah korban tewas yang mencapai ribuan. Bahkan penelitian menyebutkan jumlahnya hingga puluhan ribu."
Motif kekerasan selama periode ini dikatakan sangat kompleks. Pada fase pertama revolusi, motifnya sulit ditentukan karena banyak pelaku perorangan sehingga tidak dicatat dalam materi sumber. Ada juga tindak kriminal yang dilakukan dengan kedok perjuangan kemerdekaan sehingga menyulitkan didapatkannya gambaran yang jelas. Namun para peneliti menawarkan beberapa motif. Yang pertama adalah gagasan antikolonialisme serta politik yang menyatu dan memicu kekerasan ekstrem. Motif ini bisa diartikan sebagai reaksi atas pembersihan total oleh pemerintah kolonial melalui kekerasan untuk menuju perdamaian dan kesejahteraan. Ada pula motif ekonomi dan sosial. Kemiskinan dan pengangguran mendorong masyarakat untuk memerangi orang yang lebih kaya dan memiliki hak istimewa dalam masyarakat kolonial. Motif ketiga adalah motif oportunistis, baik di tingkat perorangan maupun kolektif.
Para peneliti juga mencatat terjadinya rivalitas di antara tokoh-tokoh dan kelompok masyarakat, ditambah lagi kecurigaan-kecurigaan di antara mereka. Masyarakat dan beberapa kelompok acap meragukan otoritas Republik. Republik dihadapkan pada berbagai macam kekerasan, dukungan, dan loyalitas. Ada pula gerakan seperti Darul Islam, komunisme, juga serangan Belanda. Kekerasan demi kekerasan terjadi seperti yang ditulis oleh sejarawan dari Universiteit Utrecht, Belanda, Roel Frakking dan Martin Eickhoff.
Sementara itu, sejarawan Swiss-Belanda, Rémy Limpach, menjelaskan dampak perang intelijen yang membawa banyak korban. Ia juga menerangkan bentuk kekerasan ekstrem dan penahanan massal. Hal ini dilakukan oleh kelompok intelijen dan keamanan serta dinas intelijen militer. Ia mencontohkan bentuknya adalah penyiksaan di dalam dan di luar ruangan interogasi. Mantan pegawai peradilan militer, Herman Burgers, menyebutkan penyiksaan dilakukan rutin.
Sekelompok pejuang Indonesia yang akan diinterogasi oleh kelompok intelijen di Sidikalang, Sumatera Utara, pada awal 1949. National Archief/Handout via Reuters
Pelecehan, penyiksaan, pemukulan, dan tendangan dianggap sebagai prosedur standar. Ada juga pemukulan dengan berbagai macam benda keras, dari tangan kosong, gada, kalak atau knuckle brass, popor senapan, tongkat, papan, pentungan, cambuk, hingga penggiling adonan. Bahkan ada tawanan yang sampai digelonggong atau dipaksa minum banyak air. “Orang Indonesia biasanya disiksa dengan cara disetrum,” tutur Burgers. Tak sedikit tawanan yang telah diinterogasi juga dibunuh.
Dinas intelijen militer juga menangkap puluhan ribu warga sipil. Kekerasan ekstrem digunakan dalam skala besar. Otoritas militer biasanya tutup mata terhadap cara-cara interogasi yang melanggar hukum. Mereka kesulitan membedakan pejuang dan rakyat biasa dalam perang gerilya. Biasanya, penangkapan massal diakhiri dengan penyekapan dan hal ini terbukti cacat hukum.
Ada pula hukuman kolektif terhadap warga sipil. Dinas intelijen bertindak kasar jika warga atau lurah gagal memberikan informasi. Hal ini membuat para pemimpin militer merasa frustrasi dan melampiaskan kekesalan kepada warga. “Kami membunuh untuk menimbulkan efek jera. Jika penduduk dari kampung yang sudah disisir berdasarkan informasi intelijen menolak memberi informasi, salah satu dari mereka kami ambil dan tembak di tempat. Tentu saja cara ini sia-sia,” demikian kutipan dari salah satu tulisan relawan.
Gerilyawan saat menjadi tawanan di bawah pengawalan tentara Belanda di daerah Jawa Barat, 1948. NIMH/Stoottroepen Museum
Sejumlah pembunuhan dan pembantaian dilakukan dinas intelijen militer di banyak tempat, seperti Payakumbuh, Sumatera Barat, dan Rantauprapat, Sumatera Utara. Motif kekerasan ekstrem di antaranya tekanan karena kendali wilayah yang lemah, banyaknya kekalahan, dan warga yang bungkam. Sebagian pelaku menyadari apa yang dilakukan tidak dibenarkan oleh hukum internasional. Perwira intelijen Eddy Mahler dari batalion Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL mengaku komandannya memberi izin untuk menyiksa tahanan.
Evelin Buchheim dari Institute for War, Holocaust and Genocide Studies dan dua koleganya menulis pengalaman dan kesaksian warga yang mengalami masa revolusi. “Kami mewawancarai ratusan orang, juga menggali pengalaman mereka atau cerita keluarga yang mengalaminya,” ucap Buchheim.
Kisah personal yang ditemukan sering tidak sesuai dengan narasi resmi. Meski demikian, hal ini memberikan gambaran situasi yang terjadi saat itu, juga perspektif dan pandangan pribadi narasumber tersebut. Ada pengalaman seseorang yang dibesarkan di sebuah desa berpenduduk 500 orang di Friesland, Belanda. Separuh warganya diberangkatkan ke Indonesia. Ada pula pengalaman sekelompok pembangkang perang dan serdadu yang menolak perintah tertentu. Misalnya, mereka menolak menembak anak yang lari di sebuah kampung yang sedang dikepung. Ada pula kisah warga etnis Tionghoa yang menjadi korban kekerasan bersenjata dan wawancara kepada sekelompok orang di Jawa Timur.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo