Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tanya-jawab dua editor buku soal revolusi.
Buku Melewati Batas dan Dunia Revolusi.
TIGA peneliti Belanda berkolaborasi dengan peneliti Indonesia menelisik sejarah kekerasan tentara Belanda di Indonesia di masa revolusi. Peneliti dari Indonesia berasal dari Universitas Gadjah Mada, sejarawan Abdul Wahid. Mereka lalu menerbitkan buku Dunia Revolusi: Perspektif dan Dinamika Lokal Pada Masa Perang Kemerdekaan Indonesia, 1945-1949.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para peneliti Belanda, Gert Oostindie, Martin Eickhoff, dan Eveline Buchheim mengaku senang bisa berkolaborasi dengan para sejarawan Indonesia untuk mengungkap periode perang revolusi dalam perspektif lokal. Eickhoff dan Buchheim melihat penulisan buku ini bisa mendorong terjadinya dialog. Dengan demikian, Indonesia dan Belanda bisa saling mendengar, memberi konfirmasi, mengkonfrontasi keterangan, serta memahami perspektif masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan sejumlah tantangan, para peneliti mendapatkan hal-hal baru yang selama ini tidak terungkap. Berikut wawancara dengan Abdul Wahid:
Bagaimana penelitian ini terwujud?
Ini bagian dari proyek yang didanai pemerintah Belanda dengan sebuah payung besar dan bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada. Mereka meneliti persoalan kekerasan sebagai aspek revolusi Indonesia yang belum banyak diketahui.
Mengapa fokus penelitian mengambil perspektif lokal?
Ada penekanan berbeda, karena revolusi kan sangat kompleks. Seperti kita tahu, revolusi itu sebuah perubahan yang sangat cepat dan kuat. Revolusi ini berdampak pada kelompok masyarakat yang beragam. Meski ada narasi besar tentang kemerdekaan, revolusi berbeda di tiap wilayah, tidak sama antardaerah. Persepsi dan maknanya beragam di setiap kelompok masyarakat. Karena itu, keberagaman tersebut harus ditampilkan. Bagaimana mereka menyikapi dan mempertahankan kemerdekaan pun berbeda. Belum lagi faktor kehadiran Sekutu dan kegagapan tentara Belanda dalam menghadapi situasi.
Bagaimana situasi saat itu?
Boleh dikatakan sangat kacau, ya. Infrastruktur juga tidak ada sehingga berita kemerdekaan terlambat diketahui. Masyarakat dan para pemimpin juga berbeda pemahaman soal ini. Pihak Belanda yang terdiri atas tentara, relawan, dan peserta wajib militer dipengaruhi untuk datang ke sini guna membebaskan Hindia Belanda dari Jepang. Dari sisi Indonesia, kemerdekaan sudah dideklarasikan. Ada narasi bahwa kekuatan asing mau merebutnya.
Revolusi saat itu seperti apa?
Revolusi seperti dunia sendiri, plural, multilayer, dan multifaceted. Ada pula kelompok sosial-politik yang muncul secara bersamaan. Ini tentang bagaimana masyarakat dan kelompok yang ada menyikapi dua kekuatan yang sedang berhadapan, yaitu Indonesia dan Belanda.
Contohnya?
Seperti masyarakat Tionghoa, yang sehari-hari tidak memikirkan politik, pasti mereka gagap dan bingung. Ketika disuruh mengungsi saat Belanda datang, mereka mau mengungsi ke mana dan siapa yang mau menampung? Ketika enggak mengungsi, mereka dianggap berkhianat. Begitulah kemudian terjadi kekerasan. Selain karena terjadi euforia politik, kebencian, dan sentimen ras.
Gambaran umum perspektif lokal itu seperti apa?
Tidak ada yang sama, berbeda-beda. Tapi memang ini intinya ada perubahan besar. Semua menyadari itu. Mereka mencoba memposisikan diri dan memikirkan apa yang harus dilakukan. Itulah yang membuat mereka berbeda-beda, sangat kompleks. Secara politik, Belanda terus merangsek dan Republik terpojok. Ada kepentingan-kepentingan yang menggerus kekuatan politik, itu juga mempengaruhi. Perlawanan yang muncul tidak disangka-sangka oleh orang Belanda. Mereka juga bingung, kalang kabut, tak menguasai strategi perang gerilya. Mereka merasa frustrasi dan menyasar penduduk yang ada.
Seperti kasus Westerling?
Westerling itu komandan unit khusus antiteror. Unit ini dibentuk untuk meng-counter gerilya. Mereka dibekali kekuasaan lebih sehingga mengambil tindakan keras. Mereka mencari gerilyawan, tidak ketemu. Saking merasa frustrasi, mereka membantai penduduk yang ada. Penduduk yang kemudian dieksekusi.
Kemudian ada kasus seperti terbunuhnya Amir Hamzah.
Dia kan bangsawan Kesultanan Deli (kini Medan). Dia dianggap tidak mendukung revolusi seperti bangsawan lain, meski dia seorang nasionalis. Kita lihat setting masyarakat perkebunan, ada kekuasaan juga. Revolusi yang terjadi berubah menjadi revolusi sosial. Ada elite yang berkuasa, terjadi benturan keras, situasi chaos. Ini juga terjadi di beberapa kota di Jawa Tengah, seperti Brebes, Pekalongan, dan Tegal.
Bagaimana pemerintah Belanda kemudian melihatnya?
Pemerintah Belanda melihat para tentara Belanda terbukti melakukan kekerasan secara struktural dan sistematis. Ada komando yang jelas, atau paling tidak kekerasan didiamkan, ditoleransi, tidak dicegah. Itu terbukti. Kekerasan ekstrem bukan lagi ekses sporadis atau tidak disengaja. Ada komando. Chain of command-nya jelas, diketahui para petinggi. Seharusnya ini juga diketahui oleh para petinggi di Belanda. Mereka mengetahui dan akhirnya meminta maaf.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Yang Terjadi Saat Itu Sangat Kompleks"