Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pahit-Manis Dagang Daging

Persaingan bisnis daging impor sangat ketat, tapi tetap menjanjikan.

6 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam tiga bulan terakhir, dua gudang seluas 720 meter persegi milik Suharjito di Jatiwarna, Bekasi, Jawa Barat itu lebih sering kosong. Importir daging sapi itu uring-uringan. Biasanya, setiap hari 60 ton daging sapi impor masuk memenuhi bangunan se­tinggi enam meter itu.

Sekarang, bisa memperoleh 20 ton saja sudah bagus. Sejak bulan lalu, PT Dua Putra, perusahaan milik Suharjito, telah memberhentikan hampir separuh pegawainya lantaran kesulitan mendistribusikan daging ke supermarket dan pasar tradisional.

Derita Ketua Asosiasi Distributor Daging Indonesia itu bertambah karena bisnis baksonya di bawah bendera PT King Food juga kembang-kempis karena harga daging impor naik tajam. Walhasil, banyak pegawainya di pabrik bakso juga sudah dirumahkan.

Tiga ratus anggota asosiasi distri­butor daging bernasib sama. ”Ba­nyak yang kolaps,” kata Suharjito kepada Tempo, Kamis pekan lalu. ”Kalaupun selamat, seperti hidup segan mati tak mau.”

Minimnya pasokan daging impor juga dirasakan PT Carrefour Indonesia. Pejabat urusan eksternal Carrefour Indonesia, Satria Hamid, mengatakan sejak Maret lalu divisi pembelian perseroan kesulitan mendapatkan komoditas ini. Biasanya saban bulan Carrefour mendapat daging impor segar le­bih dari 100 ton. Sekarang, perusahaan retail milik Para Grup ini hanya bisa mendapat maksimal 80 ton.

Tak mengagetkan bila harga daging sapi segar melonjak 30 persen. Di ­Carrefour, harga daging sapi impor segar Rp 63-68 ribu per kilogram. Sedangkan daging sapi impor beku Rp 57-62 ribu per kilogram. ”Dari distributornya juga sudah mahal,” kata Satria. Bagi Carrefour, produk daging impor cukup penting karena penjualannya menyumbang 10 persen dari total 40 ribu item barang yang dijual toko serba ada itu.

Bisnis daging impor bukan milik importir semata. Rantai bisnisnya panjang, mulai dari importir kepada distributor, agen, pasar, hingga pengguna akhir seperti hotel, restoran, industri makanan olahan, dan perorangan. Mereka punya saling ketergantungan.

Importir biasa memberi daging kepada distributor dengan skema kredit. Daging dipasok, lalu dibayar setelah laku. Begitu pula seterusnya, dari distributor kepada agen, pasar, hotel, dan restoran. Itu sebabnya, bila impor da­ging mampet, macet pula aliran duitnya.

”Ini terjadi sejak impor daging bermasalah tertahan di Badan Karantina dan Bea Cukai,” kata Suharjito. Pada Maret lalu, ada 51 kontainer daging impor ditahan Badan Karantina Pertanian dan Direktorat Jenderal Bea Cukai. Kini kejadian yang sama terulang. Sebanyak 52 kontainer daging ilegal ditahan kedua lembaga tersebut.

Mengimpor daging sapi memang berisiko, tapi bisnis ini tak kehila­ngan peminat. Dalam dua tahun tera­khir, jumlah importir malah bertambah. Dulu hanya 30-an perusahaan, sekarang lebih dari 50 perusahaan berebut jatah impor daging.

Sebagai barang konsumsi sekali habis, importir dan distributor pasti akan mereguk untung karena permintaannya sangat tinggi. Tahun lalu saja, 120 ribu ton daging impor habis terserap. Permintaan daging impor akan terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya perekonomian.

Pertumbuhan populasi sapi lokal belum mampu mengimbangi tinggi­nya konsumsi daging. ”Logikanya, tak mungkin kebutuhan konsumsi turun,” kata Ketua Asosiasi Pengusaha Impor Daging Indonesia, Thomas Sembiring.

Sebelum daging impor langka, seorang distributor kelas menengah dengan kapasitas gudang kurang dari sepertiga Dua Putra mengaku bisa mendapat omzet Rp 6 miliar saban bulan. Keuntungan yang dikantongi memang hanya sekitar Rp 750 per kilogram. ”Tapi kami mainnya berton-ton,” kata sumber Tempo.

Distributor besar dengan stok ratusan ton per hari omzetnya bisa mencapai puluhan miliar rupiah sehari. Apalagi importirnya. ”Ini mungkin yang mendorong pemakaian segala cara untuk mendapatkan jatah impor daging,” kata sumber tadi.

Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus