Aib yang dibuat Ben Johnson di Olimpiade Seoul menggegerkan dunia, tetapi tidak kalangan atlet. Lapangan hijau sudah ternoda oleh keinginan untuk mencetak pahlawan. Satu juta atlet Amerika memacu prestasinya dengan dadah. Di Uni Soviet atlet yang tak lihai main doping dikucilkan. Di Singapura, jenis anabolic steroids dijual bebas di supermarket. Ancamannya: kematian, wanita tumbuh bulu di sekujur tubuh, dan mengurangi jumlah sperma. Bagaimana di Indonesia? BUAT seorang atlet menjadi juara adalah segala-galanya. Karena dari sanalah kelanjutan masa depannya ditentukan. Prestasi bukan hanya catatan keunggulan tetapi juga bagian dari nasib seorang atlet. Tumpukan hadiah dan privilese segera menyusul setelah menyabet medali kemenangan. Bahkan lebih dari itu, arena olahraga tak lagi sekadar ajang untuk para atlet mengubah nasib. Gelanggang ini sudah jadi percaturan gengsi sebuah negara. Di lapangan hijau bukan hanya otot dipertaruhkan, tetapi juga kehormatan bangsa. Di arena olimpiade khususnya. Menjadi juara berarti menjadi pahlawan jaman. Naim Sulaeymanoglu, pengangkat besi dari Turki, contohnya. Begitu menyabet medali emas di Olimpiade Seoul lalu, ia langsung disanjung-sanjung seluruh negerinya. Maklum, itulah satu-satunya medali yang pernah diraih seorang anak Turki sepanjang sejarah olimpiade. Lihatlah Said Aouita -- pemenang medali emas lari 5.000 m di Olimpiade Los Angeles 1984. Pelari Maroko ini pernah menerima perlakuan yang tak jauh berbeda dengan Naim. Ia sempat menikmati jamuan makan yang disediakan Raja Hassan yang khusus diadakan untuknya. Ia juga diperkenankan menggunakan pesawat pribadi raja untuk melancong ke mana-mana. Di negeri komunis pun seorang juara disubyo-subyo. Atlet Soviet yang mendapatkan medali emas di 0limpiade Seoul sama artinya dengan menggondol hadiah uang Rp 32 juta. Di negeri ini pun sama. Lihat saja bagaimana kita mengelu-elukan kesebelasan PSSI, ketika kiper Saelan dengan gagahnya berhasil menahan Rusia di Melboume. Ketika Rudy Hartono berhasil memimpin kawan-kawannya merebut Thomas Cup. Dan terakhir ini ketika atlet panahan kita setelah 36 tahun berhasil meraih perak. Tak heran jika para atlet ngebet menang. Termasuk yang sudah bertengger di puncak pun tak mau tergeser. Maka, berbagai upaya pun ditempuh. Dengan cara yang halal: berlatih -- atau lewat jalan yang haram dan kini menjadi lakon populer: menggunakan obat perangsang alias doping bin dadah. Maka, bukan hanya para atlet yang jadi peran utama. Lapangan hijau bukan lagi hanya didominasi oleh kekuatan otot. Para pelatih, dokter, dan bahkan pemerintah terang-terangan ikut melakukan praktek tercela itu. Ketika dunia geger akibat Ben Johnson kepergok menggunakan dadah di Olimpiade Seoul, sebenarnya tak banyak atlet yang kaget. Kalau toh ada yang terkejut, mungkin hanya bisa berkata, "Tolol amat kau, Ben, sampai bisa tertangkap." Pelari Kanada itu sebelumnya sudah memenangkan nomor yang menjadi primadona dalam event olimpiade: lari 100 m. Ia juga mengukir rekor dunia baru 9,79 detik sekaligus mengalahkan musuh bebuyutannya, Carl Lewis. Tapi hanya dalam 48 jam kemudian komisi medis International Olympic Committee (IOC) menyatakan batal atas kemenangan pemuda berusia 26 tahun itu. Hasil pemeriksaan labotarorium membuktikan bahwa air kencingnya mengandung anabolic steroids jenis stanozolol. Sudah bukan rahasia lagi sebagian besar atlet menggunakan dadah untuk memacu prestasi. Dr. Forest Tennant, seorang peneliti dari California, memperkirakan, "Sekitar 1 juta atlet AS, menggunakan anabolic steroids." Begitu juga di negeri Gorbachev. "Seorang atlet yang tak mau menggunakan dadah justru akan dikucilkan," ujar seorang ofisial Soviet di Seoul yang tak mau disebut identitasnya. Malah sprinter asal Kanada, Angela Issajenko, membuat pengakuan yang memojokkan kubu Ben Johnson. "Saya tak peduli lagi. Saya sudah muak. Ben memang pakai steroids dan saya juga menggunakannya. Astaphan-lah yang memberikan itu semua," teriaknya. Cewek itu menuding dr. George M. Astaphan -- yang juga dokter pribadi Ben Johnson -- sebagai biang keladi pemakaian dadah di kalangan atlet-atlet Kanada. Johnson, menurut pengakuannya, sudah menggunakan dadah itu sejak beberapa tahun yang silam. Pelari Kanada lainnya, Angela Bailey, tak kaget atas pemyataan itu. "Saya malah bisa menyebut ada 6 atlet lainnya yang juga menggunakan obat terlarang," katanya. Malah penggunaan obat itu sudah meluas yang meliputi juga, "Kokain, heroin, LSD, pokoknya obat apa saja yang menjanjikan seorang bakal jadi juara," ujarnya lagi. Bintang AS Carl Lewis juga sudah lama jengkel atas ulah rekan-rekannya itu yang tak lagi memikirkan tujuan berolahraga. Di kejuaraan dunia atletik yang berlangsung di Roma 1987, ia menuding sebagian besar atlet yang bertanding ketika itu menggunakan doping. "Banyak yang sudah mati karena dadah, tapi itu semua dilupakan begitu saja," ujarnya, ketus. Johnson memang sampai saat ini masih menyangkal bahwa ia menggunakan dadah. "Saya tidak tahu dan tak akan pernah menggunakan obat terlarang itu," katanya. Mungkin saja ia benar. Atau mungkin ia cuma berdalih. Tapi yang pasti Asthapan diduga keras tahu-menahu soal skandal itu. Paling tidak, kalau ia betul terbukti sebagai dalangnya, dokter itu salah melakukan perhitungan. Ia kemungkinan besar tak mengira stanozolol kini sudah bisa terdeteksi oleh laboratorium IOC. Tahun lalu at itu memang masih sulit dilacak lewat air kencing. Di Seoul, selain Johnson, ada delapan atlet lainnya yang juga tertangkap basah karena ketahuan menggunakan dadah. Di antaranya dua lifter Bulgaria pemenang medali emas, Mitko Grablev dan Anguelov Guenchev, yang harus dicopot kemenangannya karena doping. Namun, gaung aib dari atlet yang berbuat cela itu masih kalah nyaring dengan skandal Ben Johnson. Maklum, Johnson adalah seorang atlet juara dari nomor yang menjadi primadona olimpiade. Pelari kelahiran Jamaika itulah yang berhak memegang peran utama kalau doping diamsalkan dalam sebuah film cerita. Kampiun macam Ben Johnson hidup dalam cahaya gemerlapan. Setelah menjadi juara dunia lari 100 m dan membukukan rekor dunia baru 9,83 detik di Roma tahun lalu, tokoh selebriti ini kewalahan diguyur lembaran dolar. Rumah tinggalnya di Markham, pinggiran Toronto, bernilai US$ 750.000. Di garasinya nangkringsebuah sedan sport Ferari tahun terakhir seharga US$ 245.000. Uang yang dikumpulkan Johnson dalam setahun ditaksir bisa lebih dari US$ 10 juta. Itu belum termasuk bonus-bonus lainnya, seperti tarif "uang tampil" yang dipatok sebesar US$ 250.000 untuk kehadirannya di suatu kejuaraan. Namun, aib yang diperbuat Johnson itu sebenarnya masih kalah tragis kalau dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Olimpiade Roma 1960. Di pesta olahraga itu, seorang atlet tewas karena terlalu banyak menenggak dadah sebagai obat kuat. Pembalap sepeda asal Denmark, Knud Jensen, mati kelelahan ketika mengikuti lomba di nomor 100 km team time trial. Dalam tubuh pemuda berusia 22 tahun itu kedapatan dadah jenis amfetamin -- jenis obat yang mampu memaksa daya tahan stamina atlet yang sudah kepayahan secara fisik. Jenis obat itu pula yang menyebabkan Dick Howard, pemegang medali emas lari gawang di Olimpiade Roma 1960, tewas pada tahun berikutnya karena dosis amfetamin yang kelewat batas. Pembalap sepeda asal Inggris, Tom Simpson, juga harus kehilangan nyawa karena dadah sejenis di arena Tour de France, 1967. Karena itulah sudah lama IOC menyatakan perang terhadap dadah. "Penggunaan dopin( adalah sama dengan bunuh diri," ujar Presider IOC Juan Antonio Samaranch. Obat terlarang itu secara tak alamiah membuat penampilan atlet menjadi luar biasa. Otot-otot dapat diben tuk hanya dalam sekejap. Tenaga mendadal kuat dan napas bisa perkasa seperti kuda. Tapi yang menyeramkan adalah akibatnya. Seorang atlet wanita yang terlalu banyak menggunakan anabolic steroids akan berubah menjadi maskulin. Sekujur tubuhnya bisa ditumbuhi rambu dan suaranya berubah menjadi bariton. Pemakaian dadah jenis anabolic steroids juga akan berdampak meningkatnya tekanan darah. Memompa jantung lebih kencang memperbesa prostat menciutkan buah zakar mengurang jumlah sperma, dan menggenjot lever bekerja terlalu keras. Jenis dadah lainnya adalah beta-blockers yang mampu menahan hormon adrenalin dalam tubuh sehingga atlet menjadi "tenang". Obat terlarang ini banyak digunakan oleh atlet menembak, panahan atau bilyar. Atau ada juga suatu metode yang sulit dilacak laboratorium seperti blood-doping. Seorang atlet mengambil sel darah merahnya sendiri dan kemudian disimpan. Beberapa saat sebelum bertanding darah segar tadi disuntikkan kembali dalam tubuhnya. Hasilnya fantastis. Hb atlet tersebut akan meningkat dan ini berarti ia memiliki daya tahan yang luar biasa. Di Soviet dikembangkan apa yang disebut oxygen coctails. Suatu bentuk cairan yang diperkaya dengan glukosa, vitamin, serta buih oksigen mumi yang diberikan kepada atlet. Oksigen cadangan yang disimpan dalam perut atlet itu akan berguna sebagai tenaga ekstra. Pelari jarak jauh kadang diberi suntikan oksigen di bawah kulitnya. Dan masih sederet lagi ragam metode dan jenis dadah yang digunakan untuk mendongkrak kemampuan atlet. Kematian atlet putri sapta lomba asal Jerman Barat, Birgit Dressel, April tahun silam barangkali dapat dijadikan hikmah -- seperti apa yang dikatakan Lewis ataupun Samaranch. Cewek berusia 26 tahun itu tewas dengan mengeneskan karena penggunaan dadah dengan dosis yang berlebihan. Ia diperkirakan sudah menerima 400 suntikan anabolic steroids. Setelah itu, Dressel masih digenjot lagi oleh para dokter yang menanganinya yang memaksa dia melakukan blood doping. Akibatnya memang fatal. Hasil autopsi menunjukkan bahwa ginjal, tulang belakang, tulang panggul, dan katup jantungnya sudah mengalami kerusakan yang kronis. Itu sebabnya di beberapa negara di Eropa seperti Inggris dan Swedia -- doping sudah dianggap barang haram seperti halnya narkotik. Setiap orang yang tertangkap basah membawa -- apalagi menggunakan -- doping tanpa resep dokter diancam hukuman penjara. Tapi di beberapa negara, seperti Singapura barangkali juga Indonesia -- dadah semacam anabolic steroids banyak beredar di pasaran bebas. Bahkan sudah jadi pemandangan biasa di supermarket. Bentuknya ada yang seperti bubuk atau pil. Harganya pun tak sampai Rp 100.000 untuk setiap paketnya. Tampaknya memang jenis anabolic steroids yang jadi favorit di pasaran. Apalagi dadah ini sudah digunakan untuk kepentingan nonmedis sejak tahun 1930-an. Ketika itu sejumlah dokter di Jerman memberikan anabolic kepada tentara Nazi. Obat itu tentu saja dimaksudkan untuk menambah daya tahan dan menyulut agresivitas pasukan Hitler di medan pertempuran. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, para ahli medis di Uni Soviet dan Amerika Serikat mulai mengadaptasikan penggunaan doping tersebut untuk para olahragawannya. Kini, sekalipun para atlet dan dokter sudah tahu konsekuensinya, toh tak berarti mereka surut menggunakan doping. Malah penggunaan obat perangsang semakin trendy dari tahun ke tahun, sekalipun ada pemeriksaan ketat dan sanksi keras yang dijatuhkan oleh IOC. Dulu di tahun 1950-an -- para pembalap sepeda misalnya, "Banyak yang mengisi botol air kencingnya dengan air keran," kata pembalap Australia Russel Mockridge, pemenang medali emas Olimpiade Helsinki 1952. Tapi kini sejumlah laboratorium tes doping dilengkapi dengan peralatan canggih dan ditongkrongi oleh staf medis tentunya tak lagi gampang dikibulin. Apalagi setelah ditemukan zat yang mampu menutupi atau membungkus dadah yang ada pada tubuh atlet. Laboratorium yang dimiliki IOC itu tentu tak mau kecolongan dan menyiapkan peralatan dan metode pemeriksaan yang lebih akurat. Sejak Olimpiade Meksiko 1968, IOC sudah melakukan pemeriksaan ketat terhadap atlet yang menjadi juara. Badan olahraga dunia itu sudah membangun 24 laboratorium yang diakui sebagai tempat yang memenuhi persyaratan untuk melakukan tes doping. Di daratan Eropa ada 18, 2 di AS, 2 di Kanada, satu di Tokyo, dan sebuah lagi yang paling modern di Seoul. Di Kota Ginseng -- menghadapi Olimpiade Seoul 1988 -- itulah dibangun Pusat Pemeriksaan Doping berlantai lima yang nilainya US$ 3 juta dan ditongkrongi 80 staf medis berpengalaman. "Kami lebih cerdik dari atlet yang coba-coba berlaku curang. Karena itu, saya jamin tak bakal ada atlet yang menggunakan dadah akan lolos dari sini," janji dr. Park Jong-Sei, direktur teknis laboratorium tersebut. Ternyata, dia tak omong kosong. Ben Johnson, yang semula bakal dikenang sebagai olahragawan besar, rupanya tak lebih dari atlet gombal. Park membuktikan bahwa sukses Olimpiade Seoul tak cuma "terbesar" karena diikuti oleh sekitar 13.000 atlet dari 160 negara, tapi juga prestasi laboratoriumnya. Dunia diingatkan bahwa olahraga yang dijiwai oleh semangat kejujuran dan persaudaraan itu sudah ternoda oleh keinginan memburu kemenangan. Ngeri ya! Ahmed Kurnia Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini