Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan membatalkan rencana pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) 10 persen kepada petani gula tebu. Rencana itu urung dilaksanakan setelah diprotes berbagai kalangan, dari petani tebu hingga Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita.
Kemarin, 20 perwakilan anggota Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) mendatangi Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak menuntut pembatalan PPN. Mereka bertemu dengan Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi dan beberapa pejabat lainnya. Setelah berdialog sekitar tiga jam, Ken memutuskan untuk menganulir rencananya.
Ken mengatakan PPN batal dikenakan kepada petani gula tebu lantaran omzet mereka berada di bawah standar pengusaha kena pajak (PKP), yakni Rp 4,8 miliar per tahun. Direktorat Jenderal Pajak juga akan memasukkan kembali tebu sebagai komoditas yang tidak dikenai pajak, seperti beras dan garam. "Agar produksi dalam negeri bisa meningkat dan bersaing dengan impor," kata dia.
Ken membantah jika dikatakan pembatalan ini akibat desakan pihak tertentu. Sebelumnya, sejumlah anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat mempertanyakan latar belakang rencana tersebut untuk membela konstituen mereka di Malang, Jawa Timur.
Pungutan PPN 10 persen untuk gula tebu bermula dari gugatan Kamar Dagang dan Industri Indonesia ke Mahkamah Agung. Pada 25 Februari 2014, Mahkamah Agung memenangkan gugatan tersebut. Pemerintah pun harus merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Pembebasan PPN untuk Barang Impor Strategis. Gula tebu, yang semula masuk dalam jenis barang bebas PPN, pun harus terkena PPN.
Setelah wacana pengenaan PPN muncul, Senin lalu, Enggartiasto menyatakan telah mengirim surat kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Enggar meminta Sri membatalkan pungutan PPN kepada petani. Tapi dia mempersilakan aparat pajak untuk menyasar pabrik gula, baik milik swasta maupun badan usaha milik negara. "Ini demi keberpihakan kepada petani," kata Enggar.
Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen, mengatakan pengenaan PPN terhadap gula memaksa pedagang mematok harga pokok petani serendah mungkin. Apalagi, kata Soemitro, pemerintah sudah mematok harga eceran tertinggi (HET) Rp 12.500 per kilogram, sehingga pendapatan petani semakin anjlok. "Pedagang akhirnya membebankan PPN kepada petani," kata dia.
Sekretaris Jenderal APTRI, Khabsyin, mengatakan selama ini petani merugi karena mendapat bibit tebu yang buruk, sehingga gula yang dihasilkan (rendemen) rendah. Rata-rata rendemen petani, kata dia, kini hanya 6,5 persen dari jumlah produksi 80 ton per hektare. Agar petani untung, rendemen minimal harus 10 persen dengan produksi 100 ton per hektare.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan timnya akan mengatur ulang daftar kebutuhan pokok strategis, termasuk gula pasir dan garam. Rancangan itu akan dimasukkan dalam peraturan pemerintah baru. Menurut Hestu, daftar acuan tersebut untuk menghindari tekanan pungutan pajak bagi petani. Putri Adityowati
Di Bawah Biaya Produksi
Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak, Hestu Yoga Saksama, mengatakan pemerintah belum menghitung potensi penerimaan dari PPN petani tebu. Kini, pemerintah menyusun peraturan baru yang memasukkan gula sebagai barang tidak terkena pajak.
Setelah pajak batal berlaku, Sekretaris Jenderal Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia, Nur Khabsyin, mengatakan akan menuntut Menteri Perdagangan guna merevisi harga eceran tertinggi untuk gula. Menurut Khabsyin, harga tersebut membuat pedagang menekan harga hingga di bawah biaya pokok produksi petani. "Idealnya, harga gula di atas biaya pokok produksi petani."
Kondisi petani tebu saat ini:
Rendemen: 6-7 persen
Harga pokok petani: Rp 9.700 per kilogram
Biaya pokok produksi: Rp 10.600 per kilogram
Harga eceran tertinggi: Rp 12.500 per kilogram
Kondisi ideal
Rendemen: 6-7 persen
Harga pokok petani: Rp 12.500 per kilogram
Biaya pokok produksi: Rp 11.700 per kilogram
Harga eceran tertinggi: Rp 15.000 per kilogram
Sumber: APTRI | Putri Adityowati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo