Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM suatu pesta kecil-kecilan seusai lomba sepak bola pada 1955, Sutomo menghampiri istrinya, Sulistina. "Tuh, Bung Karno ingin berdansa dengan kamu," Sulistina bercerita, menirukan ucapan sang suami kepadanya ketika itu.
Sepanjang dansa, Sulistina—kini 90 tahun—terus memandangi cekungan-cekungan di wajah Bung Karno. Sadar diperhatikan, yang dipandang bertanya, "Aku burik, ya?" Sulistina hanya bisa mengangguk. "Dari jauh ganteng, dari dekat enggak," Sulistina, yang ditemui pada medio Oktober lalu di kediamannya di Kota Wisata Cibubur, Kabupaten Bogor, mengenang penilaiannya terhadap Sukarno.
Pesta dansa itu digelar saat Bung Tomo menjabat Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang di kabinet Perdana Menteri Burhanuddin Harahap dari Partai Masyumi. Sepenggal peristiwa dalam pesta itu adalah sebagian dari memori singkat Sulistina mengenai suaminya ketika jadi menteri. Seringkas masa kerja kabinet Burhanuddin, yang cuma tujuh bulan. "Mas Tom bilang, jadi menteri itu seperti orang duduk: bokong belum panas sudah harus berdiri," ujar Sulistina dalam buku Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu.
Nama Bung Tomo masuk pada detik-detik akhir penentuan kursi kabinet Burhanuddin Harahap. Kendaraan politik Bung Tomo, Partai Rakyat Indonesia (PRI), tak masuk hitungan komposisi kabinet. Menurut Sulistina, Wakil Presiden Mohammad Hatta yang mengusulkan suaminya jadi menteri.
Tapi, menurut anak kedua Bung Tomo, Bambang Sulistomo, yang mengajak ayahnya masuk kabinet adalah Burhanuddin. Bambang baru lima tahun ketika itu. "Bung Tomo jadi menteri karena dia pejuang saja," katanya.
PRI baru lima tahun berdiri kala itu. Partai tersebut juga tidak punya kursi di parlemen sementara. Kans PRI menjadi terbuka karena upaya Masyumi menggandeng Partai Nasional Indonesia (PNI) masuk kabinet berjalan alot.
Tahu bahwa koalisi dua partai terbesar ini terancam gagal, partai-partai kecil mulai pasang kuda-kuda. Beberapa disebut sampai "jual mahal". "Ada partai-partai kecil yang menghendaki dua kursi apabila kerja sama PNI dengan Masyumi gagal dalam pembentukan kabinet Burhanuddin," tulis harian Haluan pada 10 Agustus 1955.
Dua hari kemudian, 12 Agustus 1955, Masyumi benar-benar gagal merangkul PNI. Nama Bung Tomo, yang sama sekali tidak diprediksi, ikut dilantik jadi menteri oleh Mohammad Hatta. Presiden Sukarno sedang pergi beribadah haji, sehingga Wakil Presiden yang menunjuk formatur dan melantik kabinet.
Banyak ucapan selamat mengalir, termasuk dari PRI. PRI juga meminta parlemen dan surat kabar mengawasi gerak-gerik ketua partainya selama jadi menteri. "Kami pun akan senantiasa mengawasi dan mengoreksi yang demikian itu terhadap tindakan Bung Tomo di dalam lingkungan partai kami," bunyi pernyataan PRI dalam harian Merdeka, sehari setelah pelantikan kabinet.
Jalan Bung Tomo menuju kabinet sebetulnya bukan tiba-tiba. Dia sudah lama dekat dengan Bung Karno. Pernah suatu hari pada Juli 1954, Sutomo diajak ke Nusa Tenggara Timur. Setiap kali usai pidato, Bung Karno mengenalkan Sutomo kepada rakyat setempat. "Bung Karno sering mengatakan, jika beliau wafat, Mas Tom yang akan menggantikannya," kata Sulistina. "Mas hanya tertawa. Memangnya ini kerajaan?"
Tomo juga dekat dengan sejumlah politikus Ibu Kota. Setelah mendirikan PRI pada 20 Mei 1950, Bung Tomo boyongan ke kantor partai di Jalan Gondangdia Lama 18, Jakarta. "Aku saiki dadi politikus tenan, Tien. Aku rapat sedina nganti ping pitu (Saya sekarang jadi politikus sungguhan, Tien. Saya rapat sehari sampai tujuh kali)," ucap Tomo menyurati istrinya, 16 April 1951. Saat itu, Sutomo membantu Ketua PNI sekaligus Ketua Parlemen, Sartono, yang ditugasi jadi formatur kabinet oleh Sukarno. Bung Tomo bertugas sebagai penghubung resmi antarpartai.
Tak hanya menemani Sartono, Sutomo juga lekat dengan rekan-rekan politiknya di Badan Permusyawaratan Partai-Partai (BPPP). Badan ini terdiri atas sepuluh partai kecuali Masyumi. Di antaranya Partai Komunis Indonesia, Partai Sarekat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, Murba, Partai Buruh, Parindra, dan Partai Rakyat Nasional. "Sartono dianggap hendak membentuk kabinet koalisi antara PNI dan BPPP," kata Herbert Feith dalam The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. Padahal Sukarno meminta kabinet mewakili kekuatan semua partai di parlemen.
Sutomo tetap menjadi penghubung antarpartai kendati Sartono—yang gagal menggandeng Masyumi—digantikan oleh Sidik Djojosukarto (PNI) dan Sukiman Wirjosandjojo (Masyumi) sebagai formatur baru. Mereka bertiga diberi waktu lima hari, plus perpanjangan tiga hari, guna membentuk kabinet koalisi.
Saking dekatnya Bung Tomo dengan formatur kabinet, muncul desas-desus di kalangan politikus Jakarta waktu itu. Dia digosipkan akan kebagian kursi di kabinet Sukiman. "Ah Tien, seandainya saja aku dapat bersua denganmu, aku akan menertawakannya dalam pelukanmu," ujar Sutomo dalam surat kepada istrinya.
DALAM karier menteri yang singkat itu, Bung Tomo dan PRI menjadi pendukung utama Masyumi di tengah gempuran politik PNI, yang memilih jadi oposisi. Bersama Partai Katolik dan Demokrat, mereka tetap mendukung Masyumi kendati Partai Nahdlatul Ulama dan Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII) menarik wakilnya dari kabinet Burhanuddin pada 20 Januari 1956.
Sulistina dan Bambang Sulistomo tak ingat betul apa yang diperbuat Sutomo selama jadi menteri. Tapi, sebelum duduk di posisi itu, pada 1952 Bung Tomo sempat mengkritik program rekonstruksi dan rasionalisasi angkatan perang usulan Amir Sjarifuddin yang dilanjutkan Hatta. "Orang lain itu kadang-kadang kurang berdaya atau sama sekali tidak berdaya menghadapi keadaan sesudah kedaulatan Republik Indonesia. Di antara mereka yang kurang berdaya tersebut adalah para bekas pejuang bersenjata," Sutomo menulis Kemana Bekas Pedjuang Bersendjata pada 1952.
Program itu bertujuan menciutkan jumlah anggota angkatan perang dan meningkatkan efisiensinya. Ada 350 ribu anggota tentara reguler dan 470 ribu anggota laskar saat itu. Jumlah tersebut mesti dikurangi jadi 160 ribu. "Tujuan akhirnya untuk membentuk sebuah tentara tetap yang terlatih baik dan bersenjata lengkap dengan jumlah personel 57 ribu prajurit reguler," Ulf Sundhaussen menulis dalam Politik Militer Indonesia 1945-1967.
Tiga tahun setelah Sutomo mengkritik perlakuan pemerintah terhadap veteran pejuang, dia ditunjuk jadi menteri yang mesti mengurusi masalah ini. Belum ada catatan yang merekam jelas apa yang dilakukan Sutomo selama itu. Yang jelas, dua tahun setelah Sutomo menjabat menteri, keluar Undang-Undang Nomor 75 Tahun 1957 tentang Veteran Pejuang Kemerdekaan Republik Indonesia, yang mengatur penghargaan dan pendaftaran para pejuang itu.
Sutomo merangkap jabatan sebagai Menteri Sosial ad interim setelah PSII menarik diri dari kabinet dan Sudibjo menanggalkan kursi Menteri Sosial. Saat menjadi Menteri Sosial itu, Bung Tomo menyempatkan diri pergi ke Indramayu kendati pemberontakan Darul Islam masih berderu. "Di Indramayu, gadis-gadis yang ke Jakarta menjual diri karena keadaan ekonomi," Sulistina menulis dalam Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu. Di pengujung kabinet Burhanuddin, Bung Tomo ngotot agar kabinet menghapus hasil perjanjian Konferensi Meja Bundar sebelum demisioner. "Bung Tom pidato sampai naik ke meja!"
Sementara Sulistina mengingat suaminya pernah naik meja, Bambang Sulistomo terkenang saat dia diajak naik mobil oleh bapaknya. Sekeluarga kala itu kondangan ke Semarang. "Itulah sekali-kalinya naik mobil dikawal voorijder," ujar Bambang. Bung Tomo kebagian mobil dinas Mercedes tua saat menteri-menteri lain mendapat yang lebih gres.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo