Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Terjungkal di Gelanggang Politik

Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia disulap menjadi Partai Rakyat Indonesia. Partai Bung Tomo ini lebih dekat dengan Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia, berseberangan dengan Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia. Bung Tomo kerap mengkritik Sukarno, yang dinilai gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. Karier politiknya sebagai wakil rakyat habis setelah Sukarno membubarkan parlemen dengan dekrit.

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Babak-belur Partai Kelapa

Mendirikan Partai Rakyat Indonesia bersama pemuda bekas pejuang. Minim dukungan, partai tamat setelah Sukarno mengeluarkan dekrit.

Setelah memimpin laskar pemuda melawan tentara Jepang dan Sekutu, Sutomo banting setir ke gelanggang politik. Alih-alih berkolaborasi dengan tokoh pergerakan nasional lain, Bung Tomo memilih bersaing dengan para politikus yang terbilang lebih senior.

Sebagai modal awal, Bung Tomo mengajak pemuda bekas anggota Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PRI) pada 20 Mei 1950. "Setelah bergerak di mana-mana dan didorong temannya, akhirnya Bapak mendirikan partai politik," kata Bambang Sulistomo, anak kedua Sutomo.

Menata partai baru yang berkantor pusat di Jalan Gondangdia Lama 18, Jakarta, Bung Tomo pun harus sering pergi ke Ibu Kota. Ia semakin kerap meninggalkan istrinya, Sulistina Sutomo, di rumahnya di Malang, Jawa Timur. "Bung Tomo sibuk bukan main dengan partainya, sehingga jarang di rumah," kata Sulistina.

Dalam buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat, yang memuat pidato Sutomo di hadapan kader PRI pada 1959, tertulis bahwa Partai Rakyat Indonesia lahir untuk melawan penguasa yang melenceng dari cita-cita perjuangan kemerdekaan.

Di mata Bung Tomo, waktu itu banyak pemimpin yang mengutamakan kesenangan pribadi, hidup bermewah-mewah, serta mementingkan partai dan golongan daripada negara dan nasib rakyat. Pada saat yang sama, korupsi pun makin merajalela. "Kita, kaum patriot, ingin menentang dan ingin melawan keadaan buruk itu dengan alat yang diizinkan hukum," tulis Bung Tomo.

Sutomo melihat kancah politik kala itu terbelah menjadi dua kubu besar yang berhadap-hadapan. Di kubu pertama ada Partai Nasional Indonesia dan Partai Komunis Indonesia, yang banyak didengar oleh Presiden Sukarno. Di seberangnya ada kubu Masyumi, Partai Sosialis Indonesia, dan Partai Rakyat Indonesia, yang dekat dengan Mohammad Hatta.

Bung Tomo menetapkan misi PRI sesuai dengan perkembangan situasi politik. Ketika PKI terang-terangan mendukung gerakan komunis internasional yang dipimpin Uni Soviet, misalnya, Sutomo membawa PRI bergabung dalam pembentukan Front Nasional seperti Kongres Rakyat. Menurut Sutomo, PRI perlu ambil bagian dalam upaya mengimbangi gerakan politik PKI.

Lalu, sewaktu Konferensi Meja Bundar menyepakati penguasaan Belanda atas wilayah Irian Barat, Sutomo mengarahkan PRI bergabung dengan gerakan pembebasan Irian Barat dan mencegah upaya memecah belah Angkatan Bersenjata.

Sutomo menyatakan visi dan misi politik PRI mendapat sambutan hangat dari masyarakat. Bekas wartawan ini menyebutkan cabang PRI bertumbuhan di seluruh Indonesia dalam waktu singkat. "Dari Sumatera sampai ke Banda Naira (Maluku). Cabang PRI tumbuh dengan pesat, beribu-ribu ranting timbul secara spontan," demikian Bung Tomo menulis.

Pada usianya yang masih "seumur jagung", PRI yang berlambang pohon kelapa kerap berseberangan dengan PNI dan PKI. Soemarsono, tokoh pertempuran Surabaya yang sekarang menjadi warga negara Australia, mengatakan Bung Tomo sebenarnya berideologi nasionalis. "Namun ia tak menyukai komunisme," kata Soemarsono pada akhir September lalu. Lelaki 94 tahun ini pernah bersama Bung Tomo di Pemuda Republik Indonesia, laskar rakyat yang melucuti senjata tentara Jepang.

Bung Tomo semakin jauh dari kubu PNI dan PKI ketika kabinet yang dipimpin Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo diganti oleh kabinet yang dinakhodai Burhanuddin Harahap pada Agustus 1955—sebulan sebelum Indonesia menggelar pemilihan umum pertama. Dalam kabinet yang hanya berumur tujuh bulan itu (sampai Maret 1956), Bung Tomo menjadi Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/Veteran dan Menteri Sosial ad interim.

Kabinet Burhanuddin sebenarnya merupakan kabinet koalisi berbagai partai. Namun, karena perwakilan Masyumi mendominasi, banyak yang menyebutnya Kabinet Masyumi. Adapun PNI dan PKI waktu itu berlaku sebagai oposisi.

Selama berada di kabinet Burhanuddin, Sutomo rupanya merasa jadi sasaran tembak lawan-lawan politiknya. Buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat, misalnya, membeberkan kampanye hitam menjelang pemilihan umum parlemen 1955. Syahdan, di Bali beredar kabar bahwa Sutomo telah bergabung sebagai kader Masyumi dan mempunyai misi mengislamkan warga Bali yang mayoritas Hindu.

Pada Pemilu 1955, pucuk pimpinan PRI di Bali menargetkan bisa meraih tiga kursi parlemen dari Pulau Dewata. Adapun secara nasional, PRI memasang target menguasai 20 kursi parlemen. Ternyata target itu meleset. Partai ini hanya meraih 206.161 suara (0,55 persen). PRI hanya berhak atas dua kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Salah satunya jatah Bung Tomo. Dalam pemilihan anggota konstituante, PRI meraih 134.011 suara, setara dengan 0,35 persen, dan menduduki dua kursi.

Sutomo meyakini kampanye hitam telah menggerus dukungan atas partainya. Ia pun menilai Pemilu 1955 berjalan penuh kecurangan. Bung Tomo menyebut partai-partai besar melakukan tipu muslihat, menebar fitnah dan kabar bohong, serta menipu rakyat dalam kampanye. "Sebagai partai paling muda, PRI ternyata belum cukup 'masak' untuk berhadapan dengan kekuatan PKI dan PNI," tulis Sutomo.

Kekesalan Sutomo kala itu juga diketahui sang istri. "Pencurian suara partai lawan marak terjadi. Perolehan suara di beberapa daerah tak dilaporkan ke pusat. Itu diambil partai lain," ucap Sulistina menceritakan keluhan suaminya.

Sebagai partai baru, menurut Sutomo, PRI tidak memiliki sumber daya untuk bertahan atau melakukan serangan balik atas propaganda hitam. Partai ini bahkan tak memiliki divisi publikasi untuk menggarap isu di masyarakat bawah. "Kaderisasi PRI juga belum berjalan kuat," kata Bung Tomo.

Posisi PRI kian lemah ketika Presiden Sukarno mengumumkan dekrit presiden yang membubarkan parlemen dan konstituante pada 1959. Sebagai gantinya, dibentuklah MPR Sementara dan DPR Gotong-Royong, yang anggotanya ditunjuk Sukarno. Dalam kedua lembaga baru itu, PRI sama sekali tak diberi posisi.

Setelah mengeluarkan dekrit, Sukarno juga menerbitkan aturan baru kepartaian. Tidak semua partai bisa menggelar aktivitas politik. Sukarno hanya memberi restu kepada beberapa partai tertentu. Lagi-lagi PRI tak termasuk partai penerima restu.

Bung Tomo kecewa. Ia melayangkan gugatan ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 1960. Namun hakim menolak gugatan tersebut. Sejak itu, PRI tak hanya menepi dari gelanggang politik. Partai berlambang kelapa itu pelan-pelan terkubur untuk selamanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus