Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Kritik Berbuntut Konflik

Mengkritik keputusan Sukarno menikahi Hartini. Sikap kritisnya menjalar hingga ke urusan politik.

9 November 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mayor Jenderal Bambang Soegeng datang tergesa ke kantor Partai Rakyat Indonesia di Jalan Gondangdia Lama 18, Jakarta, di suatu pagi pada 1952. Kepala Staf TNI Angkatan Darat itu bergegas turun dari sepeda motor untuk menemui ketua partai, Sutomo. "Waduh, gawat, Bung Karno pacaran dengan seorang wanita di Salatiga. Wanita yang masih mempunyai suami," kata Soegeng, seperti dikisahkan istri Sutomo, Sulistina Sutomo, dalam buku Bung Tomo Suamiku: Biar Rakyat yang Menilai Kepahlawananmu.

Sutomo terperanjat mendengar kabar dari sahabatnya itu. "Astagfirullah," katanya. "Bagaimana, ya, Pak Bambang. Itu kan merusak pagar ayu. Nanti bagaimana akibatnya?" Menurut Sulistina, suaminya terlihat sedih mendapati berita itu. Bung Tomo bahkan sempat termenung cukup lama.

Siti Suhartini, itulah nama perempuan yang dimaksud Soegeng. Ia lebih dikenal sebagai Hartini. Sukarno bertemu dengannya saat singgah di Salatiga, Jawa Tengah, di sela kunjungan ke Yogyakarta. Usia perempuan beranak lima asal Ponorogo, Jawa Timur, itu terpaut 23 tahun lebih muda dari Sukarno. Saat itu Hartini, yang tinggal tak jauh dari kediaman Wali Kota Salatiga, diminta membantu menyiapkan makanan untuk rombongan presiden. Ia memasak sayur lodeh untuk disuguhkan kepada Sukarno.

Bambang Sulistomo, anak kedua Bung Tomo, masih mengingat betapa ayahnya semula sangat akrab dengan Sukarno sejak masa revolusi. Saking dekatnya dengan Sukarno, Bung Tomo kerap diundang sarapan bareng di Istana. Namun kabar dari Soegeng telah mengusik Bung Tomo. Hingga suatu pagi Bung Tomo mendatangi Istana untuk mendapat penjelasan langsung dari Sukarno.

Seusai santap pagi, kata Bambang, Bung Tomo memberanikan diri bertanya. "Mas, enek sing cerito, jarene Mas iki ngene yo? (Mas, ada yang cerita, katanya Mas ini begitu ya [berencana menikahi Hartini—red.])?" ucapnya kepada Sukarno. Presiden pertama Indonesia ini tak menjawab pertanyaan dari rekan seperjuangannya itu.

Bung Tomo tak menyerah atas reaksi diam Sukarno. Setengah mendesak, ia mengulangi pertanyaannya. "Apa betul, Mas?" kata Bung Tomo, seperti ditirukan Bambang. Lagi-lagi Bung Karno membisu. Geregetan tak mendapat jawaban, Bung Tomo langsung menyemprot Sukarno. "Mas, ojo ngono. Wong Jowo iku ora entuk nabrak pager ayu (Mas, jangan begitu. Orang Jawa itu tidak boleh menikahi perempuan yang masih bersuami)."

Mendengar perkataan Bung Tomo, Sukarno langsung berdiri dan membanting piring. "Kowe iki ngerti opo, arek enom, kok! (Kamu itu mengerti apa, anak muda!)" Tak mau kalah, Bung Tomo juga ikut membanting piring. "Yo wis nek gak gelem dikandhani ambek adike dewe. Iku pantangan, Mas! (Ya sudah, kalau tidak mau dinasihati adik sendiri. Itu pantangan, Mas!)"

Seusai cekcok singkat tersebut, Bung Tomo langsung angkat kaki dari Istana dan kembali ke kediamannya di Malang, Jawa Timur. Ia lantas menceritakan peristiwa di Istana kepada istrinya. "Saat itu Ibu bilang ke Bapak, 'Awas ya kalau Mas Tomo balik ke Istana, enggak boleh pulang ke sini'," kata Bambang. Kejadian itu merupakan sarapan terakhir Bung Tomo bersama Sukarno.

Menurut Bambang, kritik yang menyenggol kehidupan pribadi itu memicu keretakan hubungan antara ayahnya dan Sukarno. Namun Sulistina mafhum dengan reaksi suaminya. "Dia orang yang sangat setia," kata Sulistina saat dijumpai di kediamannya, dua pekan lalu. Keputusan Sukarno memperistri Hartini tak hanya diprotes Bung Tomo, yang dikenal antipoligami, tapi juga dikecam Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari).

Sikap kritis Bung Tomo rupanya menjalar ke gelanggang politik. Sewaktu menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Bambang mengatakan, ayahnya pernah mengkritik Sukarno karena dianggap terlalu mendengar suara Partai Komunis Indonesia. "Bapak kecewa berat dengan PKI di peristiwa Madiun," katanya. Kedekatan Sukarno dengan PKI, menurut Sulistina, dikhawatirkan mendorong masuknya pengaruh komunis Uni Soviet ke Tanah Air—keadaan yang tidak diinginkan oleh Bung Tomo. "Tapi itu enggak digubris."

Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Arbi Sanit, dalam pengantar buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat, menyatakan Bung Tomo memang tak pernah kapok mengkritik Sukarno. Ia, misalnya, pernah menulis surat yang berjudul "Nota 10 November, Menembus Kabut Jang Gelap Dewasa Ini". "Tulisan itu menganalisis persoalan persaingan antara kaum politisi dan militer pada 1950-an," kata Arbi.

Surat tertanggal 17 November 1956 itu ditujukan khusus kepada Sukarno. Dalam tulisannya, Bung Tomo tanpa tedeng aling-aling menyatakan bahwa Sukarno dan kabinet Ali Sastroamidjojo telah gagal mewujudkan kesejahteraan rakyat. "Orang tampaknya tidak tahu apa yang harus diperbuat kalau kabinet yang sekarang ini harus mengembalikan mandat," katanya. "Orang ragu-ragu apakah dapat diusahakan gantinya yang benar-benar dapat mengatasi keadaan sekarang ini."

Namun segala kritik itu seakan-akan berimbas balik kepada Bung Tomo. Arbi mengatakan pemerintah Sukarno mengasingkan Bung Tomo dan partainya secara politik. Sukarno menghabisi peran politik Bung Tomo sebagai wakil rakyat saat membubarkan DPR melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Ia beralasan parlemen tidak bisa bekerja sama dengan pemerintah dalam penyusunan rancangan anggaran negara. Sukarno juga membubarkan PRI, yang hanya meraup dua kursi dari Pemilihan Umum 1955.

Keputusan Sukarno membuat Bung Tomo berang. Menurut dia, alasan Sukarno tidak dapat diterima. Parlemen, kata Bung Tomo, menolak rancangan anggaran dari pemerintah karena dinilai terlalu membebani rakyat. "Kita semua melihat bagaimana seenaknya saja kabinet yang dipimpin Sukarno itu telah membubarkan DPR hasil pilihan rakyat," ujarnya. Ia lantas menggugat Sukarno ke Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta pada 24 Agustus 1960.

Sejarawan Rushdy Hoesein mengatakan Bung Tomo sebenarnya tidak berandil besar secara politik. "Dia agak oposisi, suka nyeleneh, suka nyeletuk," ujarnya. Namun bukan berarti Bung Tomo tak meninggalkan jejak selama menjadi politikus. Dalam buku Bung Tomo: Vokalis DPR 1956-1959 disebutkan bahwa Bung Tomo merupakan orang pertama yang mengajukan mosi pembatalan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB), yang dianggap sebagai warisan pemerintah kolonial Belanda.

Saat itu Bung Tomo dan partainya masuk kabinet Burhanuddin Harahap. Rancangan undang-undang untuk menghapuskan KMB sudah rampung dibuat dan tinggal menunggu pengesahan dari Sukarno. Namun, sayangnya, sang Presiden berkeras tidak mau meneken rancangan itu. "Bung Karno beralasan menunggu sampai terbentuknya kabinet sesudah pemilu," kata Bung Tomo dalam buku Menembus Kabut Gelap: Bung Tomo Menggugat.

Konflik demi konflik mengiringi interaksi Bung Tomo dengan Sukarno selepas kemerdekaan. Menurut Arbi Sanit, Bung Tomo sukses besar dalam revolusi fisik. Kekalahan tentara Sekutu dalam pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya menjadi buktinya. Tapi nasib Bung Tomo berubah drastis selepas periode itu. "Kepahlawanannya pada masa damai, di medan politik, jauh dari cemerlang."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus