Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG laki-laki sigap menyorongkan panggung kecil warna biru ke belakang podium ketika nama Boediono, 66 tahun, disebutkan. Bekas Gubernur Bank Indonesia itu bangkit dari kursinya lalu menghampiri calon presiden 2009-2014 Susilo Bambang Yudhoyono, yang telah menunggu di atas. Berdiri di samping Yudhoyono yang tinggi besar, Boediono yang tak terlalu pendek namun kerempeng itu memang tampak seperti liliput. Dingklik biru setinggi 10 sentimeter itu disiapkan panitia agar tinggi keduanya tak terlalu jauh terpaut.
Adegan itu tampak saat Yudhoyono dan Boediono menghadiri acara geladi bersih deklarasi keduanya menjadi calon presiden dan wakil presiden, Jumat pekan lalu, beberapa jam sebelum acara.
”Alat bantu” itu luput dari perhatian tamu yang menghadiri deklarasi di Gedung Sasana Budaya Ganesha Institut Teknologi Bandung. Para undangan tercekam oleh haru biru acara. Boediono berpidato dalam bahasa yang tangkas. ”Sejak merintis karier sebagai ekonom, tidak pernah ada cita-cita menduduki jabatan puncak di negeri ini,” katanya.
Boediono, yang dikenal kalem dan santun, malam itu berani berolah kata. Dengan cerdik ia menangkis tudingan bahwa ia penganut pandangan ekonomi neoliberal. Ia berani menyentil kiri-kanan dengan mengatakan tidak punya bisnis dan konflik kepentingan. Jabatan, kata dia, tidak untuk mencari muka.
Tak seperti Yudhoyono yang membaca teks, Boediono seolah menghafal naskah. Menghafal? Ah, sebetulnya tidak juga. Malam itu ia dibantu teleprompter—alat yang biasa dipakai penyiar berita televisi.
Malam sebelumnya, di sebuah tempat di Jalan Teuku Umar, Jakarta, Boediono dilatih agar lancar membaca melalui alat bantu itu. Naskah pidato yang disiapkan seorang penulis kawakan itu harus rampung dibaca dalam tujuh menit. ”Latihan dilakukan berkali-kali,” kata seorang sumber Tempo.
Panitia dengan serius memperkuat citra positif yang sudah melekat pada Boediono: kalem, sederhana, dan cendekia. Jumat pagi, beberapa jam sebelum deklarasi, ia misalnya pergi ke Bandung dengan menumpang kereta api Parahyangan—kereta sederhana dengan harga tiket Rp 45.000 per orang.
Di kereta berpenyejuk udara itu, Boediono duduk di kursi 7A. Di sebelahnya tampak ekonom M. Ichsan dan di depan terpacak Herawati, istri Boediono. Selain Ichsan turut juga hadir ekonom M. Chatib Basri dan Raden Pardede, serta pemimpin lembaga studi Freedom Institut Rizal Mallarangeng. Ketiganya hadir dengan didampingi istri. Selain mereka tampak juga pemimpin redaksi sejumlah media.
Di Bandung, panitia menyiapkan acara kecil sebelum deklarasi. Di Gedung Indonesia Menggugat, bangunan tua tempat dulu Soekarno diadili, aktor Wawan Sofwan membacakan potongan pidato Bung Karno. Setelah itu esais Goenawan Mohamad membacakan pidato pendek tentang demokrasi. Bekas Gubernur Bank Indonesia itu duduk di barisan kursi paling depan berbalut celana khaki, kemeja kotak-kotak marun lengan pendek, dan jaket cokelat merek Polo. Di akhir acara, penulis Taufik Rahzen membacakan doa.
Siapa yang menyiapkan semua itu? Acara deklarasi diatur oleh Fox Indonesia, konsultan politik yang pada pemilu legislatif lalu telah mendampingi Yudhoyono dan Partai Demokrat. Sumber Tempo menyebutkan, ihwal memoles Boediono dilakukan oleh Rizal Mallarangeng. Meski di kereta api tampak dua petugas memakai rompi Fox Indonesia, sumber lain menyebutkan acara ini disiapkan oleh Rizal pribadi. Rizal sendiri membantah punya peranan. ”Saya hanya dimintai bantuan,” katanya.
Ia menyatakan mengenal dekat Boediono dan Presiden Yudhoyono. Apalagi, katanya, kakak kandung dia, Andi Mallarangeng, adalah juru bicara Presiden. Adik Rizal, Choel Mallarangeng, adalah memimpin Fox Indonesia.
KABAR terpilihnya nama Boediono sebagai calon wakil presiden berawal ketika Yudhoyono mengumpulkan sejumlah menteri di Cikeas, Senin pekan lalu. Menurut salah seorang Ketua Partai Demokrat, Andi Mallarangeng, pertemuan itu dilakukan terbatas dan tertutup. Yang hadir dalam pertemuan itu adalah Boediono, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Sekretaris Negara Hatta Rajasa, Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie, Menteri-Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi, serta Menteri Komunikasi dan Informatika Muhammad Nuh.
Resminya, rapat itu diagendakan membahas persoalan keamanan dan ekonomi. Boediono, kata Andi, menjelaskan situasi moneter. Yudhoyono membicarakan persiapan membuka Konferensi Kelautan Dunia di Manado tiga hari kemudian, selain juga membahas syarat pendaftaran calon presiden.
Sumber Tempo menyebutkan, di forum itulah Yudhoyono menyebut Boe-diono sebagai calon wakil presiden. Hatta, yang sebelumnya digadang-gadang Partai Amanat Nasional menjadi pendamping Yudhoyono, diplot menjadi menteri utama. Ia juga akan dipercaya menjadi ketua tim pemenangan pemilihan presiden. Ketika dimintai konfirmasi, Hatta menolak menjawab. ”Saya tidak mau komentar,” katanya. M. Nuh, yang ikut dalam rapat itu, menjawab diplomatis, ”Saya tidak harus menginformasikan hal-hal yang saya ketahui.”
Seusai rapat, Yudhoyono memerintahkan staf khusus Kurdi Mustofa memberi tahu petinggi partai yang berkoalisi dengan Partai Demokrat. Kurdi menyampaikan pesan ke Partai Keadilan Sejahtera melalui Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin. ”Ada utusan dari Cikeas yang menyampaikan keputusan Susilo Bambang Yudhoyono memilih Boediono,” kata Hilmi.
Kepada Partai Amanat Nasional, pesan disampaikan melalui Ketua Majelis Pertimbangan Amien Rais. Sedangkan untuk Partai Kebangkitan Bangsa, pesan langsung ke Ketua Umum Muhaimin Iskandar. Hilmi dan Amien ”meriang” terhadap keputusan ini meski akhirnya bisa menerima (lihat ”Boediono No, Delapan Kursi Yes”).
Menurut staf khusus Presiden, Heru Lelono, Boediono dipilih melalui survei publik. Heru tak menyebut lembaga survei mana yang dipakai, tapi sumber lain menyebut Lembaga Survei Indonesia. Direktur Riset LSI Kuskridho Ambardi membenarkan soal peran lembaganya.
Hubungan Yudhoyono dan LSI memang telah lama terjalin. Pada Juni tahun lalu, ketika untuk pertama kalinya popularitas SBY anjlok dibandingkan Megawati, Yudhoyono mengundang Direktur Eksekutif LSI Saiful Mujani untuk berdiskusi.
Diskusi itu diulang pada Sabtu, 18 April lalu—sepekan setelah pemilu legislatif. Di Cikeas keduanya ngobrol dari pukul sembilan sampai sebelas malam. Yudhoyono menganalisis sejumlah calon wakil presiden yang selama ini dibicarakan publik. SBY menyebut Hatta, yang secara pribadi memiliki ”kimia” yang baik dengan Presiden tapi belum saatnya jadi calon wakil presiden. Begitu juga Sri Mulyani.
Yudhoyono lalu menyebut tiga nama yang ia pertimbangkan menjadi calon pendamping: Boediono, bekas Ketua Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Kuntoro Mangkusubroto, dan Aburizal Bakrie.
Boediono dinilai Presiden profesional dan bisa bekerja sama. Kuntoro dianggap hebat karena bisa membangun kembali Aceh setelah dihajar tsunami pada 2004. Aburizal dianggap tokoh yang bisa menjalin ”kerja sama” dengan partai-partai.
Ketika dikonfirmasi, Saiful enggan berkomentar. Adapun Heru secara tersirat tak menampik perbincangan Saiful dan Yudhoyono itu. ”Anda lebih tahu gitu loh,” katanya.
Untuk mendapat hasil yang akurat, LSI menyiapkan survei dengan responden tiga lapis: masyarakat umum, warga kelas menengah, dan wawancara kualitatif dengan tokoh masyarakat. Yang terakhir adalah intelektual, pemimpin redaksi, akademisi, teknokrat, dan aktivis lembaga swadaya masyarakat yang dianggap independen. Menurut Kuskridho, agar tak bocor bahwa penelitian itu dilakukan untuk menguji tiga kandidat, nama Hatta Rajasa, Sri Mulyani, dan sejumlah kandidat lain juga dievaluasi.
Survei masyarakat umum dilakukan terhadap 2.014 responden di seluruh Indonesia. Survei kelas menengah terhadap 400 responden pemilik telepon di 33 ibu kota provinsi. Responden tokoh masyarakat dilakukan terhadap 56 orang di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan Makassar. Mereka antara lain advokat Nono Anwar Makarim, bekas Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Syafi’i Ma’arif, Rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta Amin Abdullah, Direktur Pemberitaan Media Group Suryopratomo, Pemimpin Redaksi Kompas Rikard Bagun, peneliti Centre for Strategic and International Studies J. Kristiadi, dan ekonom Umar Juoro. ”Saya dan Saiful turun langsung, ” kata Dodi, panggilan Kuskridho.
Setelah disodori lima nama tadi, responden diberi pertanyaan terbuka tentang orang yang pas jadi calon pendamping Yudhoyono. Mereka dinilai berdasarkan aspek integritas, loyalitas, kapabilitas, akseptabilitas, dan pengaruhnya pada koalisi partai. Penilaian itu lalu diberi skor 0 sampai 10.
Nono mengaku menerima formulir LSI melalui surat elektronik. ”Saya tinggal mengisi calon mana yang saya anggap cocok dan alasannya,” katanya. Syafi’i dan Amin Abdullah didatangi Dodi di Yogyakarta. Soal Boediono, Amin memberikan masukan dalam survei itu, ”Ia tenang dalam memecahkan persoalan dan dibutuhkan dalam menangani krisis.”
Hasil survei tak sulit ditebak: tingkat keterpilihan Yudhoyono paling tinggi di tingkat responden umum. Di level kelas menengah posisi SBY bahkan 10 persen lebih tinggi. Tokoh masyarakat juga memuji Boediono. Dibandingkan Kuntoro dan Aburizal, skornya paling atas. Berturut-turut nilai Boediono: integritas 8, loyalitas 8, kapabilitas 8, akseptabilitas 7, dan kemampuan membangun koalisi 6.
Umumnya tokoh masyarakat juga meyakinkan Yudhoyono bahwa tak perlu takut pada partai politik karena Partai Demokrat kini memperoleh kursi paling banyak di DPR. Boediono juga dianggap bisa berdiri di tengah dan bersikap obyektif terhadap semua partai. ”Ini fondasi penting untuk memperkuat koalisi,” kata Dodi. Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok menyetujui analisis ini. ”Yudhoyono mengambil Boediono karena jika wakil presiden datang dari satu partai, partai lain akan iri,” katanya. Alasan lain, kata Heru Lelono, SBY ingin menegaskan kesan tidak sedang menyiapkan putra mahkota.
Yudhoyono dan Saiful bertemu kembali sepekan setelah order survei disampaikan. Tapi ada sedikit kendala teknis: sejak hari pemungutan suara April lalu, rumah Yudhoyono selalu dipantengi wartawan. Agar kuli tinta tak tahu, pagi itu jalan ke arah Cikeas ”disterilkan”. Saiful masuk bukan dari pintu depan seperti biasanya.
Sumber Tempo di Cikeas menyebutkan, dalam pertemuan itu Yudhoyono menyatakan sudah memanggil Boediono dua kali. Pertama, Boediono menyatakan pikir-pikir. Dalam kesempatan kedua, Boediono menerima dengan sedikit keraguan: ia mengkhawatirkan ”nasib” Bank Indonesia yang akan ia tinggalkan.
Jawaban Boediono itu makin membuat Yudhoyono kesengsem. ”Ia tak punya ambisi. Kalau tokoh lain diberi kursi wakil presiden pasti langsung diterkam,” kata seorang sumber yang mengetahui pertemuan itu. Boediono tak menyangkal cerita itu. ”Saya menyampaikan kesediaan pada malam syukuran kemenangan Partai Demokrat yang digelar di Cikeas,” katanya (lihat ”Boediono: Saya Tidak Bercita-cita Menjadi Kaya”).
Keputusan Yudhoyono itu lalu disampaikan ke Tim Sembilan Partai Demokrat dalam sebuah rapat tertutup di Cikeas. Menurut Mubarok, Yudhoyono menetapkan pilihan setelah salat istikharah. ”Tiap hari beliau salat istikharah,” katanya.
Malam itu semua hiruk-pikuk penetapan calon wakil Yudhoyono berakhir sudah. Boediono berdiri di samping Yudhoyono. Di atas panggung deklarasi, dengan bantuan dingklik biru, ia tampak serasi dengan sang calon presiden.
Arif Zulkifli, Sunudyantoro, Iqbal Muhtarom, Akbar Tri Kurniawan, Ismi Wahid, Agung Sedayu (Jakarta), Widiarsi Agustina (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo