Payung fantasi melambai di sinar pagi Ai, ai, siapa dia Wajah sembunyi di balik payung fantasi Ai, ai siapa dia (dari Payung Fantasi, Ismail Marzuki). SEORANG gadis cantik Indonesia, tahun 1950-an, menyembunyikan wajahnya di balik payung. Bukan "payung kalong" bikinan Jepang, RRC, atau Taiwan. Tapi payung kertas bergambar bunga warna-warni, mungkin buatan Tasikmalaya, Jawa Barat, atau payung asli Juwiring, Jawa Tengah. Dan orang-orang konon mengaguminya - kecantikan sang gadis dan keindahan payungnya. Pemandangan seperti inilah agaknya yang mengilhami Komponis Ismail Marzuki menciptakan Payung Fantasi. Tapi itu cerita lama, Bung. Kini gadis cantik masih ada. Namun Juwiring atau Tasik tak lagi berpayung. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu pabrik payung Juwiring, yang rata-rata per bulan menghasilkan 40 ribu payung, resmi ditutup. Pinda Aneka, nama pabrik itu, tak bisa bertahan terhadap serangan impor payung yang bermula di sekitar 1966. Pabrik itu terletak di Desa Kwarasan - yang sejak 1950-an hampir tak berubah. Jalan menuju desa 22km di arah timur Kota Klaten itu sebagian kini memang sudah beraspal. Tapi kendaraan umum hanya berhenti di Delanggu, 7 km dari pusat desa. Sisa jarak itu harus ditempuh dengan naik becak atau andong yang di tempat-tempat lain disebut dokar atau delman atau bendi. Atau dijalani dengan kendaraan sendiri: mobil, sepeda motor, sepeda, selain kaki. Tapi siapakah kini orang luar Juwiring yang akan bersusah-payah menjenguk Kwarasan? Dulu, begitu masuk kesembilan dukuh di desa itu, ke mana mata memandang akan ditemukan payung: hijau, merah kecokelatan, atau yang berkembang-kembang. Di halaman dan pekarangan, di jalan-jalan, payung diangin anginkan agar cepat kering lem dan catnya. Di teras-teras rumah, bilah-bilah bambu calon ruji payung dan kayu-kayu pohon belinjo juga ditaruh agar menjadi kering benar, untuk mencapai kualitas yang cukup sebagai kerangka payung. Sekitar 400 keluarga di semua dukuh itu dulu berlindung di bawah payung. Kini, dengan penduduk 720-an keluarga atau sekitar 3.600 jiwa, di Kwarasan hanya tercatat 11 perajin payung plus beberapa perajin kerangka. Yang lain berdagang, atau jadi buruh tani. Bau lem dan cat tak lagi menjadi ciri khas. Kenangan lama itu masih tinggal secuil - itu, di sudut sebuah dukuh. Di satu rumah berdinding papan, tiap hari masih terdengar mesin bubut buatan sendiri berputar menghaluskan kayu. Masih terlihat bilah-bilah bambu dijemur. Itulah rumah Wongso Soemarto, 60, mungkin perajin kerangka payung seumur hidup. Sungguh lain suasana sekarang dan masa lalu, kata Wongso dari Dukuh Gumantar ini. "Saya sekarang ini merasa sendirian," katanya. Dulu (kata yang paling sering diucapkan Wongso), tiap hari semua rumah di sini membuat payung. Dan begitu tenteram: terdengar tembang para pekerja: Dandanggula, Kinanti, Gambuh, Pucung. Perajin di satu rumah berhenti menembang, disambung dari rumah lain. Dan di pasar, cerita Wongso pula, para pedagang akan menawarkan payung mereka sebagai payung Juwiring. Tak jelas mengapa justru nama kecamatannya yang populer - bukan nama desanya, Kwarasan itu. Mungkin karena Juwiring lebih enak atau lebih mudah diucapkan. Yang terang, kalau ketahuan sebuah payung ternyata bikinan luar Juwiring, ia akan jatuh harga. Juwiring! jaminan mutu! Itu dulu. Dan, bersama dengan payung Juwiring, ada payung Tasikmalaya. Tasikmalaya, Jawa Barat, tahun 1950-an itu terkenal sekali dengan payung geulisnya - atau "payung Tasik", kata orang luar. Bahkan di sana desa yang terkenal karena payungnya lalu disebut Desa Babakan Payung. Nama itu melekat hingga kini - meski sekarang berubah hanya menjadi nama jalan, dan di sini kini hanya bisa ditemui seorang pengusaha payung. Yang lain sudah pada kabur ganti pekerjaan. Padahal, hingga awal 1960 dari Tasik masih keluar 60 ribu payung kertas per bulan, ditambah beberapa ribu payung kain - lebih besar dibanding yang dari Klaten. Sebuah koperasi yang mengatur jual-beli payung di sana bernama Mitra Payung. Ini memang seakan saudara kembar koperasi lain di Tasikmalaya: Mitra Batik, persatuan para pengusaha batik yang, sebagai industri rakyat, praktis sudah mati. Riwayat payung Tasik sarwa wae alias sami mawon dengan yang Juwiring: makin lama makin tak laku, lalu makin jarang dibuat, dan awal 1970-an produksinya hanya sekitar 3.500 per bulan. Gong kekalahan payung tradisi melawan payung impor terjadi pada 1973: Mitra Payung dibubarkan, karena tak lagi ada gunanya. Kini di Tasikmalaya hanya ada tiga pengusaha payung. Dan mereka baru membuat payung bila Anda berkenan memesan. * * * Tak hanya Wongso Soemarto yang menyimpan masa jaya Juwiring. Juga M. Roesdi, 65, yang bertahun-tahun menjadi kepala seksi produksi pabrik payung Pinda Aneka. "Dulu," katanya, "ada standar mutu yang harus dipenuhi para perajin payung". Pinda Aneka, harap dimaklumi, bukan pabrtk dalam pengertian memproduksi sendiri. Tapi, sebagaimana Mitra Payung di Tasikmalaya, lebih berfungsi sebagai koperasi yang menampung payung bikinan para penduduk di dukuh itu. Dan standar mutu yang disebutkan Roesdi itu meliputi jumlah ruji payung, panjang ruji, jenis kertas, dan jenis benang pengikat. "Banyaknya ruji dan rapatnya benang pada ruji penyangga akan menentukan kekuatan payung," tambah orang yang kini jadi peternak ayam dan burung puyuh ini. Wongso, ditemui ketika sedang menjalankan mesin bubutnya, segera menghentikan genjotan kakinya. "Yah, beginilah pekerjaan saya tiap hari, yang sudah saya jalani lebih dari 30 tahun," katanya. Dan ia terheran-heran ditanya tentang payung Juwiring yang terkenal itu. "Sekarang payung dari sini sudah sama saja dengan payung dari mana-mana. Sudah biasa saja." Bukan karena payung Juwiring dikalahkan "payung kalong" impor berkain hitam berkerangka besi - yang kalau dikembangkan memang mirip seekor kelelawar. "Tapi dikalahkan oleh kita-kita sendiri," sambungnya. Pak Tua itu lalu berkisah, mengulangi pernyataan Roesdi. "Dulu, semua payung Juwiring harus punya 42 ruji. Panjang ruji pun ditentukan: tak kurang dan tak lebih dari 50 cm. Benang pengikat ruji penyangga juga harus kuat, dan harus dirajut rapat. Pihak pabrik akan menolak payung dengan kerangka yang menyimpang. Ini untuk menjaga mutu," tuturnya. "Seorang ahli payung akan sudah tahu, dari sosok payung itu saja, apakah sebuah payung bagus apa tidak. Yang bagus terasa halus, tapi mantap dan kuat siap dibawa berhujan-hujan dan berpanas-panas." Lalu, sambil memegang kerangka yang belum selesai dipasangi ruji, ia menyambung dengan mata yang redup: "Payung bikinan zaman sekarang terasa kasar dan ringkih. Kalau dipakai sewaktu hujan, apalagi ada angin, rasanya kok mau semplok." Istilah ini khas untuk payung - untuk menyebutkan payung yang rusak karena patah ruji atau terlepas dari bungkulnya. 'Kan di Jawa ada nyanyian: Nganggo payung semplok, turu omah bobrok. Artinya: memakai payung dobrak: dan tidur di rumah dobrak juga. "Coba sampeyan hitung: berapa ruji-ruji yang saya pasang di bungkul ini? Tak lebih dari 29 bilah! Mana bisa kuat, kertas payung hanya disangga 29 ruji?" Ada sedikit nada marah dalam suaranya. "Tapi siapa mau rugi dengan membuat kerangka seperti dulu, bila satu kerangka hanya dihargai seratus perak?" Pak Wongso tak ingat lagi, kapan degradasi ruji payung terjadi. Ia juga tak tahu mengapa dari 42 ruji menjadi 29 - bukan misalnya 30 atau 25. Tapi dengan mengikuti arus, membuat kerangka payung beruji 29, dia dengan seorang istri dan tiga anak alhamdu lillah bisa bertahan. Denean modal Rp 1.000 - untuk membeli bambu, kayu, dan benang - perajin ini, dibantu sang istri dan anak-anak, bisa menghasilkan 30 kerangka tiap hari. Itu mereka kerjakan dari pukul 07.00 hingga pukul 19.00. Empat bocah berkejaran di halaman rumah Wongso yang berdinding papan. Salah seorang anak menghindar dari temannya dengan memutar di sekeliling mesin bubut. Wongso acuh tak acuh. Padahal, bisa saja anak-anak itu menginjak bilah-bilah bambu yang dijejer di lantai, atau mematahkan kayu-kayu kenanga atau melinjo calon gagang payung yang dulu dijaga dengan penuh cemburu. Mereka, masyarakat Gumantar, tampaknya sudah tak begitu peduli. Di Desa Kwarasan, menurut catatan terakhir Sukardi Harjosuranto, hanya tinggal sekitar 11 perajin payung. "Mereka kebanyakan orang Dukuh Gumantar," tutur carik berusia 62 tahun ini. Di dukuh lain, tambahnya, hanya tinggal satudua orang. Bahkan di beberapa dukuh yang dulu selalu tertutup payung kini sulit ditemui orang membuat benda itu. Dukuh itu antara lain Karangwuni, Pepe, Karangmojo. Industri kerajinan payung, dulu, baik di Juwiring maupun Tasik, sebenarnya industri gotong-royong. Tiap komponen ada ahlinya sendiri. Ada yang sangat terampil membuat ruji dan bungkul, seperti Pak Wongso itu. Yang lain spesialis merekat kertas. Lainnya lagi jago mengecat dan memberi gambar gambar yang dari dulu hingga sekarang tak pernah berubah: bunga, kupu-kupu, burung. Malahan dulu, tutur Wongso, ada orang yang khusus ditugasi memilih bambu untuk bilah dan kayu untuk gagang. Bambunya wulung, karena jenis ini dikenal sangat lentur dan tak mudah patah. Kayunya belinjo atau kenanga, tapi diambil yang sudah tua dan ditebang pada mongso kesongo. "Kayu yang ditebang pada musim itu awet, tak akan dimakan bubuk," kata Wongso. Di Tasik, tugas mencari dan memilih bahan ini dilakukan oleh orang yang disebut nyiar. Kebiasaan itu memang terus berlanjut di zaman payung tradisional hampir dilupakan kini. Wongso tetap saja membubut bungkul dan gagang payung, sementara anak dan istrinya menghaluskan bilah-bilah bambu wulung untuk ruji. Ia tak pernah berpikir mengapa tak mencoba membuat payung lengkap, kemudian menjualnya sendiri. Cuma, sekarang Wongso tak lagi tergantung kepada nyiar dalam memilih bambu dan kayu. Sudah dilakukannya sendiri. Begitu pula para perajin kerangka payung lain. Apalagi kini kualitas kayu dan bambu tak lagi diributkan benar. Bila masih ada Wongso dan anak bininya, juga sebelas pengusaha payung di Juwiring, juga beberapa perajin payung di Tasik, itu karena payung ternyata punya fungsi lain di samping melindungi tubuh dari hujan dan panas. Memang, orang kini lebih suka memakai payung kalong yang enteng dan praktis, yang bisa dilipat dan digenggam, dan bila dipencet knopnya lalu byaar, berkembang. Tapi payung modern itu dianggap tak pantas untuk fungsi ini: keperluan sekitar upacara. * * * Adalah Achmad Sumarlan, 55, pensiunan letnan satu Angkatan Darat. Ia ini orang Desa Gumantar, dibesarkan di antara bau lem dan cat, tapi memilih hidup di tangsi. Seperti sudah digariskan, ketika Perusahaan Payung Pinda Aneka bubar, 1974, Achmad sudah kembali tinggal di tanah kelahiran. Sebe-narnya Achmad ingin hidup tenang dari uang simpanannya selama ini - lagi pula ia masih mewarisi tanah di Dukuh Gumantar, yang bisa ditanami ini-itu . Tapi pembawaan Pak Letnan ini ternyata lain. Ia orang yang tak bisa menyaksikan ketidakberesan terjadi dalam lingkungannya. Sebelum Pinda Aneka tutup, waktu produksinya telah merosot benar, Achmad sudah prihatin. Hidup tenteram di desa ternyata hanya ada dalam angan-angan. Toh sekarang ia bukan lagi kanak-kanak belasan tahun, yang ketika berkejar-kejaran dengan temantemannya harus hati-hati agar tak menabrak payung, dan susah mencari tempat bermain yang kosong kecuali sawah atau lapangan. Kini, kelangkaan payung yang mengisi kenangan masa kanak-kanaknya itu justru menggelisahkannya. Maka, ketika benar-benar Pinda Aneka tutup, bulatlah tekadnya untuk mendirikan perusahaan sendiri. "Untuk sekaligus menolong para perajin payung, selain memelihara kerajinan payung itu sendiri," katanya. Soalnya, ia mengaku, ia punya kebahagiaan tersendiri bila melihat payung, payung, payung. Dengan menjual tanah miliknya dan sejumlah barang lain, terkumpullah modal sekitar Rp 3 juta. Dua puluh lima perajin - ada "spesialis" penempel kertas, pembubut tangkai dan bungkul, dan lain-lain - menyatakan kesanggupan bergabung. Maka, setahun sesudah Pinda Aneka tutup, pada 1975, berdirilah Kelompok Perajin Payung Wisnu. Dengan kerja keras, Achmad dan kawan-kawan mencoba sekaligus meningkatkan mutu dan kembali mempopulerkan payung kertas. Achmad mengaku tak takut bersaing dengan payung kalong. Tapi zaman telah berganti. Kualitas ternyata tak selalu menjamin pasaran. Sebagaimana nasib ember seng buatan para perajin kita, yang bagaimanapun dibuat bagus toh kalah dari ember plastik yang ringan, tak ada risiko berkarat, dengan warna-warna menarik, demikian pula payung kita. Dari keliling kota-kota di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali, menjajakan payungnya, Achmad maklum: kegunaan praktis payung kertas memang sudah selesai. Tapi, lihatlah: di Bali dan Malang, Jawa Timur, ada sesuatu yang lain. Bila ada kematian, ada kebiasaan membagi-bagikan payung kepada para pelayat. Di Bali terutama bila ada upacara ngaben, pembakaran mayat. Di Malang, kebiasaan itu dilakukan orang-orang berada, dan kemungkinan besar bertujuan hanya agar para pelayat tidak kepanasan atau kehuianan. Apa pun latar belakang payung dan kematian kebiasaan itu mengilhami Achmad. Pulang ke Gumantar ia mengubah politik perusahaannya. Ini: tak lagi mempertahankan mutu. Justru sebaliknya, payung dibuat sedemikian rupa hingga harganya sangat murah. Ini tampaknya memang zaman payung murah. Seperti yang dilihatnya dalam upacara kematian atau ngaben, banyak pelayat lalu membuang begitu saja payung itu. Karena itu, kayu belinjo untuk pembuat tangkai payung digantinya dengan kayu kenanga. Atap payung yang semula dari kertas kraf - berwarna oker kecokelatan, dan pada tahun-tahun 1950-an populer di kalangan anak sekolah sebagai kertas sampul agak tebal - diganti dengan kertas semen. Di pertengahan 1970-an itu harga selembar kertas kraf ukuran 120 cm x 90 cm Rp 25. Tapi kertas semen cuma Rp 10. Lapisan pengawet kertas, yang semula minyak tahyu yang sangat tahan air, diganti dengan oli bekas. Walhasil, dengan perubahan politik itu, Achmad bisa menjual payung sebiji Rp 400 - harga tahun 1980-an. "Saya masih ingat, dua tahun kemudian, 1978, saya dapat untung sekitar Rp 1 juta," katanya. Tentu, keuntungan yang diperoleh Achmad bukan karena di Bali dan daerah Malang banyak kematian. Payung Achmad akhirnya memang laku juga - bila musim hujan mulai. Mereka yang berpenghasilan rendah, terutama di desa-desa, yang ternyata selama ini tidak kuat membeli payung toko, nah - merekalah konsumen Achmad. Payung kalong yang luar negeri itu harganya paling tidak Rp 2.000, bukan? * * * Itu pula sebabnya mengapa Mohamad Yasir, 42, perajin yang sekaligus memasarkan sendiri hasil produksinya, hanya membuat payung hujan. Yasir sebenarnya mendahului Achmad Sumarlan: begitu Pinda Aneka tutup pada 1974, ia langsung mencoba berdiri sendiri. Tangkai dan ruji-ruji payung dibelinya dari teman-temannya yang memang khusus membuat kerangka. Yasir sendiri tinggal merajut benang penyangga payung, menempel kertas, kemudian mengecatnya. Kertasnya bukan kertas kraf, tapi kertas semen. Bagi Yasir persoalannya sederhana saja: ia hanya berangkat dengan modal Rp 300.000 - hasilnya menabung ditambah jual tanah. Jadi bukan karena pertimbangan pasar. Itu sebabnya ia tak punya pegawai dan "program survei" seperti Achmad. Yasir agaknya termasuk pekerja tradisional tulen. Ia hanya dibantu istri dan dua anaknya. Sehari, katanya, mereka berempat bisa menyelesaikan satu kodi (20 buah) payung. Sistem pemasarannya pun sederhana dan mungkin tak efisien. Ditunggunya produksinya itu hingga berjumlah sekitar 80 kodi. Sesudah itu, payung-payung dimasukkan ke dalam goni. Lalu berangkatlah orang yang sejak kecil sudah belajar membikin payung ini berkelana - ke desa-desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, misalnya daerah Solo, Madiun, Blitar, Malang. "Saya tidak berani masuk kota. Jelas kalah saingan," katanya. Perjalanan sang pengembara biasanya makan 20 hari. "Selama itu saya berpisah dengan anak istri. Demi kelangsungan hidup," tambahnya. "Dan anak istri di rumah terus saja membuat payung." O,ya, karena produksi Yasir hanya payung hujan, atap payung tak digambari warna-warni cukup dicat polos hijau atau merah kecoklatan - sebagaimana yang selalu dipakai sejak 1950-an. "Payung hujan kok digambari. Tidak perlu." katanya. Dengan teknik seperti itu Yasir menarik keuntungan untuk tiap kodi Rp 500. Artinya, tiap sebiji payung ia menarik untung "cukup lumayan" - buat dia. Yakni Rp 25- Total, bila 80 kodi laku semua, ada uang Rp 40.000 untuk keluarganya. Dan itulah bekal hidup untuk kira-kira dua bulan - yakni waktu yang dibutuhkannya untuk mengumpulkan 80 kodi payung buat suami-istri dengan dua anak. "Pas-pasan sekali," katanya. "Keuntungan saya sebegitu itu sudah bersih, sudah dipotong ongkos perjalanan, makan dan menginap 20 hari itu." Dari sepuluh tahun yang lalu, Yasir mengaku, hidupnya seperti tak berubah. Tentu saja. Ia tetap hanya tinggal di rumah bilik bambu berukuran 4 x 2,5 meter. Toh ia tetap bersyukur, sudah bisa berlindung di bawah payung. Tak inginkah ia seperti Achmad Sumarlan, yang dari payungnya bisa membeli sebuah Colt dan membangun rumah tembok? Yasir, yang ayahnya dulu juga perajin payung, tersenyum. "Modalnya dari mana. Bahkan tak terpikir oleh Yasir untuk, misalnya, menjual produksinya kepada Achmad. Mungkin ia justru bahagia dengan memasarkan buatannya sendiri sambil mengembara. Banyak berjalan banyak yang dilihat. Tapi apa yang dilihat Yasir? "Ya, orang-orang, desa, sawah, ya seperti di Desa Gumantar ini," jawabnya. Alhamdulillah, selama ini dia seanak-bini dikaruniai badan sehat walafiat. Sebenarnya, ketika Pinda Aneka mulai merosot produksinya, ada beberapa orang yang kemudian mencoba menjual sendiri payungnya - tidak menunggu sampai perusahaan koperasi itu tutup. Salah satunya adalah Nyonya Slamet Hardjono, 32. Sebagaimana Mohamad Yasir, nyonya ini hanya mengerjakan penyulaman benang penyangga, penempelan kertas, dan pengecatan. Cuma payung Nyonya Hardjono digambari aneka bunga dan burung dan kupu-kupu. Pelukisnya ya nyonya ini sendiri. "Gampang, kok, menggambari payung itu," katanya. Dengan modal hanya Rp 100 ribu, "hadiah perkawinan dari orangtua saya", katanya, bersama suami ia memulai usahanya pada 1968. Entah karena payungnya bergambar, atau karena yang lain, ternyata usaha nyonya ini lebih bisa berkembang dibanding dengan usaha Yasir. Nyonya Hardjono, yang menolak mengungkapkan pendidikannya ini, memang lebih mempunyai taktik dagang. Ketika muncul Kelompok Perajin Payung Wisnu dengan modal lebih kuat, ia sadar: tak mung-kin bersaing dengan Achmad Sumarlan. Maka dilakukanlah pendekatan - dan hasilnya, bila Achmad kebetulan mendapat pesanan besar, payung Nyonya Hardjono dia borong. "Tahun 1983 sedang ramai, Pak Achmad memesan seribu payung dari saya. Sampai saya waktu itu mencari dua pembantu lagi," tuturnya. Biasanya, seperti juga Mohamad Yasir, Nyonya Hardjono bekerja hanya didampingi suami, dari pukul 08.00 hingga 16.00. Kini dari hasil usahanya ia telah memiliki sebuah Vespa dan 7.500 m tanah. Ia membuat dua jenis payung: yang murah dengan kertas semen, dan yang mahal dengan kertas kraf. Harga eceran kedua jenis itu Rp 400 dan Rp 500. Pembelian kodian, harga damai. Silakan datang ke Dukuh Gebongan, Juwiring, katanya. * * * Tampaknya nasib payung Juwiring masih lebih baik daripada saudaranya yang Tasik. Tiga pengusaha Tasik yang mencoba bertahan, seperti sudah dikatakan tadi, tak setiap hari berproduksi. "Saya baru membuat payung kalau ada pesanan," kata Odjo, 54, di Kampung Babakan Payung. Payung Tasik memang berbeda sosoknya dibanding payung Juwiring. Bagai para mojang Priangan, payung Tasik suka berdandan. Gambarnya selalu meriah, dengan motif bunga, atau burung, atau batik. Kemudian benang-benang pada ruji penyangga terdiri dari benang warna-warni - dan bukan sekadar untuk penguat ruji. Dan, sudah sejak 1930-an, konon, payung Tasik sudah terbagi menjadi dua jenis: yang dari kertas dan yang dari kain. Tapi dandanan payung Tasik itulah, mungkin, yang justru mengundang masalah. Yakni: susah dibikin payung geulis dengan kualitas rendah. Sedangkan dengan kepribadian lama barang itu tidak lagi model. Dari segi fungsi, payung kalong lebih dipilih orang. Itu sebabnya kini payung Tasik, terutama yang beratap kertas, sudah jarang dibuat. Pesanan yang datang biasanya minta yang beratap kain. Dan itulah yang dikerjakan Odjo - kadang-kadang. Harga payung kain pun lebih mahal - antara Rp 1.750 dan Rp 2.000 per biji. Mendekati harga payung impor, memang - tapi, berbeda dengan payung luar negeri yang berkerangka besi, payung kain Tasik tetap "mempertahankan kepribadian", tetap bertangkai kayu dan berjeruji bambu. Dan tentu saja dengan kualitas pengerjaan yang lebih halus dibanding pada payung kertas. Ini menyebabkan produktivitas perajin payung Tasik rendah - mengejar kualitas, sih. Sehari, misalnya Odjo, hanya mampu menyelesaikan 10 biji. Tapi siapa peminat payung geulisnan langka ini? Ternyata para pejabat Jawa Barat yang lagi mengadakan hajatan. Payung itu untuk hadiah. Bisa juga pesanan datang dari pemerintah. Misalnya ketika Syah Iran (almarhum) berkunjung ke Jakarta, pihak Bina Graha memesan 200 payung kain geulis. Dan itulah, menurut Odjo, pesanan payung kain "terbesar" hingga kini yang diketahuinya. Ihwal Odjo sendiri cukup menarik. Perajin sekaligus pengusaha payung ini pernah putus asa: ia tinggalkan payung tercinta, pergi ke kota dan menjadi buruh bangunan. Tak tanggung-tanggung: 10 tahun ia bercerai dari payung. Baru ketika ia mendengar bahwa pengusaha satu-satunya yang terus bertahan di bidang payung meninggal, panggilan payung mengimbau Odjo. Ia, yang merasa cukup tahu seluk-beluk payung geulis, terlecut untuk pulang ke Babakan Payung, meneruskan usaha yang tampaknya tak punya masa depan ini. "Kecintaan saya kepada payung waktu itu timbul lagi. Payung Tasik tak boleh musnah," tuturnya. "Babakan Payung tanpa payung, ah, tak bisa saya bayangkan." Nada suaranya seperti berdoa. Sebagaimana di Juwiring, di Tasik hubungan antara perajin dan karyanya terasa aneh. Ada saja seseorang yang dulu meninggalkan payung kembali mengelolanya, agar payung sama sekali tak musnah. Seperti ada ikatan batin, mirip para seniman yang idealistis atau romantis. Tapi mengapa ini hanya terjadi pada orang-orang Juwiring dan Tasik? Mengapa hanya kedua daerah itu yang terkenal sebagai penghasil payung? Sebab, di situ bukan hanya gampang diperoleh bahan-bahan untuk payung: kayu, bambu, lem, kertas, kain, benang. Tapi juga karena para warganya dikaruniai bakat keterampilan membelah-belah bambu hingga layak untuk ruji, membubut kayu begitu halus untuk tangkai, menyulam benang buat hiasan, mengelem kertas atau kain dengan rapi. Ada jenis rasa artistik tertentu yang berkembang pada para warga. "Tidak gampang, Iho, menempelkan kertas ke ruji-ruji agar bisa rata, kencang, tidak sobek bila payung ditutup," kata Ali Mursidi dari Kelompok Perajin Payung Wisnu. Ingat: tangan manusia bukan mesin. * * * Dulu, Desa Kedung Bendo di Kecamatan Tanggulangin, Sidoarjo, Jawa Timur, juga desa payung. Tak jelas mengapa payung di sini tak sempat meraih nama, misal-nya. Ialu disebut payung Bendo atau payung Tanggulangin atau payung Sidoarjo. Tapi cukup payung begitu saja. Di sini dulu ada 150 keluarga pembikin payung. Kini tercatat tinggal 25, tapi mirip di Tasik, tak berproduksi tiap hari. Yang pokok, mereka petani atau buruh tani. Memang masih ada Muslim, 51, perajin dan pengusaha. Malahan lebih dari rekan-rekannya di Tasik dan Juwiring, Muslim bergerak lebih dinamis. Ia tak hanya menunggu orang membuat kerangka ia bahkan menyuplai bahan-bahan bagi perajin yang masih cinta payung. Dengan cara ini Muslim hanya harus menebus payung jadi siap pakai hanya Rp 1.350 per kodi. Dan dengan sistem itu pula seorang perajin macam Nyonya Mislan, yang per bulan bisa menyelesaikan 500 payung, akan mendapat imbalan Rp 33.750. "Lumayan buat tambahan gaji saya," tutur guru SD itu. Suami nyonya itulah, yang juga guru SD, yang membuat kerangka dan sekaligus memasangkan kertasnya, sementara Nyonya bertugas sebagai pelukis. Gambarnya? Ya itu-itu juga: kembang-kembang, burung. Pasaran Muslim hampir seluruh pelosok Jawa Timur: dari Probolinggo hingga Banyuwangi. "Yang ramai bulan-bulan Juni sampai Desember - mungkin karena musim hujan," tutur Muslim, bapak enam anak yang namanya cukup beken untuk kawasan sekitar Sidoarjo dan Surabaya. Itu karena ia juga sering membuat payung khusus pesanan TVRI Surabaya untuk acara kesenian. Payung jenis itu memang lain. Muslim tinggal menggarap berdasarkan desain pemesan. "Biasanya payung dengan tangkai panjang, atapnya kain, berumbai-rumbai, untuk dekorasi." la tak pernah merasa tersaing dengan payung.Tasik dan Juwiring. Memang, seperti dikatakan Wongso, perajin bungkul dan tangkai payung Juwiring tadi, keistimewaan payung Juwiring tak lagi hadir. * * * Tapi ada jenis payung yang tak terusik payung modern. Yang ini memang bukan payung praktis dan bukan buat jualan. Panjang tangkainya pun hampir tiga kali payung biasa: 2,5 meter. Inilah payung Bali, khusus untuk upacara. Payung ini beratap kain tetoron, warna-warni jenisnya. Ada yang putih polos, ada yang kuning, ada yang merah. Selingkar atap dihiasi dengan jumbai-jumbai benang. Dan sesuai dengan lukisan Bali yang nyaris tak meninggalkan bidang kosong, payung Bali biasanya penuh ornamen. Dan jangan kaget bila ornamen payung Bali berbau universal - dan setidaknya dari nama-namanya. Ada yang disebut patra landa, artinya motif Belanda. Mungkin dulunya. ornamen yang mengambil bentuk dasar lingkaran berkait-kait ini ditiru dari ragam hias tuan-tuan putih itu. Menurut I Gusti Agung Ngurah Gde, pengusaha payung dari Desa Mengwi, Kabupaten Badung, patra landa sangat disukai orang Bali. Siapa tahu hiasan melingkar ini dianggap sangat sesuai dengan bentuk atap payung yang bundar. Yang lain: hiasan kuta Mesir. Nah. Dasar motifnya, bentuk persegi bergaris patah-patah. Jenis hiasan itu memang tak menentukan apa-apa."Cuma hiasan, biar tampak lebih indah," kata I Gusti Ngurah, 42. Menurut pengusaha payung terbesar di Bali ini, fungsi payung upacara ditentukan oleh warnanya, bukan motifnya. Payung putih polos, katanya, biasanya dipasang di tempat-tempat suci, misalnya di sudut desa yang dianggap wingit. Atau di pura-pura. Di tempat upacara bersuasana meriah ada tari-tarian, misal nya - payung yang dipajang berwarna meriah pula. Payung meriah juga diguna kan untuk menyambut tamu. Tapi bila I Gusti Ngurah tiap bulan bisa membuat rata-rata 300 payung, itu karena kini payung Bali tak cuma untuk upacara. Turis-turis ba nyak pula yang membeli payung yang berharga dari Rp 3.000 hingga Rp 50.000 ini. Dan, kata pengusaha payung yang dulu bercita-cita jadi tentara ini, payungnya tak hanya terjual di Bali. Ingatlah ini: "Orang orang Bali yang tinggal di luar Bali," katanya. Tak jelas ada berapa pengusaha payung di Bali. Tapi bagi I Gusti Agung Ngurah, juga bagi Anak Agung Gde di Klungkung, mereka tak merasa bersaing dalam men-jual payung. Bukan keuntungan atau perkembangan usaha yang terutama mereka pentingkan, tapi pengadaan perlengkapan upacara itulah. Bisa dimaklumi bila pengusaha payung di Bali tak teramat peduli pada payung praktis. Lebih-lebih karena keperluan itu sudah dipenuhi dari Jawa - dan dari luar negeri, tentu saja. * * * Jenis payung lain, payung keraton, juga bukan barang pasar. Hanya, simbol kebangsawanan seorang punggawa ini sekarang surut dunianya, seiring dengan kurang berfungsinya adat-istiadat keraton. Bahkan di Yogya perajin yang khusus membuat payung keraton sudah meninggal tiga tahun lalu. Atmo Suripto namanya, yang keterampilannya diturunkan kepada Sumartini, anaknya. "Tapi saya baru bisa memperbaiki payung keraton. Untuk membuatnya belum berani," kata Sumartini, 37. Dan yang disebut memperbaiki itu, katanya, hanya soal sepele. Misalnya membetulkan cat yang sedikit lecet. Tapi, memang, "Sejak 1960 kami sudah tak pernah membuat payung baru," kata Widyo Hardjojo Asmopawiro, 70. Dia ini meranggi (kepala perlengkapan pakaian kebesaran) Keraton Yogya. Pada zaman pemerintahan Hamengku Buwono Vlll, ayah Sri Sultan yang sekarang, pada 1927 diturunkanlah peraturan tata cara pemakaian pakaian kebesaran. Payung termasuk di dalamnya dicantumkan pada Pasal Vl. Peraturan ini ditulis dalam dua bahasa: Jawa (dengan huruf Jawa) dan Belanda. Disebutkan 44 jenis payung Keraton Yogyakarta - dari payung untuk Raja hingga payung seorang raden, gelar kebangsawanan terendah. Untuk Raja, payung ditentukan sama sekali berwarna kuning emas, tanpa hiasan. Bak matahari yang menyilaukan, konon, bila dalam upacara pisowanan (ada kerabat atau punggawa Keraton menghadap), Raja bernaung di bawah payung yang dinamakan payung gilap terus itu. Menempati urutan kedua adalah payung putra mahkota. Juga disebut gilap terus juga berwarna kuning emas keseluruhannya - hanya, agak ke pinggir pada atap payung ada hiasan hitam. Payung ketiga buat kanjeng panembahan gelar penasihat raja. Persis payung putra mahkota, hanya bahan pewarna kuning keemasan pada bagian dalam payung berbeda. Warna emas, dulu, dibuat dengan menempelkan prodo, semacam kertas tipis kuning yang konon memang benar-benar berlapis emas tipis. Untuk kualitas yang lebih rendah, warna itu hanya dibuat dengan cat. Seterusnya: payung buat patih (bernama kuning paron, separuh kuning), buat permaisuri, buat putra-putra raja yang bukan putra mahkota, buat bupati, buat bangsawan rendahan. Semakin rendah derajat payung semakin sedikit warna emasnya. Hingga ireng tengah (hitam di tengah), nama payung buat seorang raden, yang kuningnya hanya sebagian - itu pun kuning cat, bukan prodo. Yang menonjol justru warna hitam melingkar di tengah. Tentu saja payung keraton itu bukan untuk berhujan berpanas. Bisa kualat, kata orang dulu. Tapi kualat atau tidak, seandainya dulu (apalagi sekarang) ada bangsawan berhujan-hujan dengan payung kebesarannya, memang lucu. Tahu kenapa? Tangkai payung kebesaran itu panjang, lebih dari dua meter. Di Keraton Solo tingkatan derajat payung malah lebih banyak. Ada 85 "eselon". Memang bukan semuanya payung upacara. Termasuk dalam 85 itu adalah payung bawat, yang khusus buat raja. Atapnya bukan kain atau kertas, tapi daun rontal ditumpuk-tumpuk, hingga sebatang anak panah atau tombak konon tak mampu menembusnya. Inilah payung raja ketika berburu. Dan seterusnya. * * * Dari mana payung di Indonesia pada mulanya? Tak jelas. Beberapa adegan yang digambarkan pada relief Borobudur - yang berkisah tentang Siddharta Gautama, dari anak raja hingga muksa sebagai Budha - menyertakan payung. Antara lain digambarkan seseorang, mungkin raja, dipayungi orang lain yang berdiri di belakangnya. Jadi, setidaknya pada abad ke-9 payung sudah dikenal. Khusus untuk raja (atau bangsawan), bukan sebagai alat sehari-hari. Di Keraton Solo masih ada orang-orang tua yang berkisah, payung dulu tak boleh dipakai sembarang orang. Sebab fungsi payung pada awalnya ini: untuk meniadakan bayangan seorang raja. Bukankah raja pantang menginjak bayangan sendiri, terutama bayangan kepalanya? Entah mengapa. Di Jepang, payung sudah dikenal lama, sebelum abad ke-6. Tertulis pada Kondasha Encyclopedia of Japan, pada abad ke-6 kerajaan di Jepang mulai memakai payung sutera yang diperkenalkan dari Korea. Dan baru di Zaman Edo, mulai 1600, payung diperbolehkan dipakai rakyat. Sebelumnya, untuk hujan-hujanan orang Jepang hanya memakai topi yang lebar. Di Jawa Tengah, daerah Solo terutama, dulu dikenal topi bebek. Bentuknya mirip caping, tapi puncaknya tidak runcing. Puncak topi bebek bulat rata, dan bagian tepinya membentuk lingkaran mirip payung. Topi terbuat dari daun kelapa ini amat lebar dan cocok buat berhujan-hujan. Mengapa disebut topi bebek, karena anak-anak penggembala bebek biasanya memakai topi ini. Besar kemungkinan orang Jawa lebih dahulu memanfaatkan topi bebek daripada payung. Tapi semuanya kurang jelas. Bahkan di Juwiring tak ada lagi yang bisa memastikan kapan payung mulai dibuat di situ. Di Tasikmalaya, menurut catatan Dinas Perindustrian Kabupaten, tahun 1885 sudah ada perajin payung. Tapi payung baru berkembang sebagai industri kerajinan ketika awal 1900-an datang seorang Cina dan membuka usaha itu. Dari Cina perantauan itulah, konon, penduduk Tasik belajar bukan diajari si Cina, tapi orang-orang itu mencuri lihat. Soalnya, diceritakan, si pendatang tak mau membukakan rahasia perusahaan. * * * Payung, sebagaimana barang kerajinan rakyat yang lain, kalah sudah. Plastik, melamin, kaca serat telah menyingkirkan bambu, rotan, kayu, daun kelapa, rontal, tanah liat, seng. Pabrik-pabrik bermesin, dengan modal milyaran, dengan manajemen modern, dengan riset, apa mau dikata telah menghantam pingsan barang bikinan rakyat. Dari sudut ekonomi orang lebih memilih (dan memang dipaksa memilih) yang buatan pabrik. Achmad Sumarlan dari Juwiring memang mencoba membuat payung hias, mencontoh payung keraton, lebih menitikberatkan segi keindahan daripada fungsi. Tapi, katanya, yang macam ini tak bisa dibuat masal - hanya bila ada yang pesan. Ada contoh bagaimana kerajinan rakyat bisa tampil kembali dengan gagah - di Jepang, tapi. Kala industrialisasi mulai menjamah negeri itu, sesudah diterapkan politik pintu terbuka sejak Zaman Meiji abad ke-19, kerajinan rakyat terpukul sempoyongan. Klimaksnya sehabis Perang Dunia II, ketika Jepang mulai memodernisasikan diri dan pabrik-pabrik didirikan. Praktis para perajin mati. Tapi ada orang-orang yang kemudian berjuang menempatkan karya kerajinan dalam konteks baru. Maka, sekolah-sekolah seni di sana tak cuma mempelajari kesenian modern, tapi juga desain keraiinan. Toh baru mulai 1978 barang kerajinan Jepang benar-benar hidup lagi. Para perajin berjaya kembali bukan yang belajar secara tradisional dari orangtua mereka, tapi perajin sekolahan. Dan kebangkitan kembali itu, menurut Ono Masakstsu, 50-an, perajin bambu yang pernah berpameran di Jakarta, 1983, didukung oleh perkembangan sosial: bertambah makmurnya orang Jepang. Tanpa faktor yang belakangan ini Ono tak bisa membayangkan mampu hidup. Ketika ia keluar dari sekolah seni kerajinan, 1974, ekonominya susah. Tapi empat tahun kemudian ia punya penghasilan seorang kelas menengah, sekitar Rp 600 ribu per bulan. Orang Jepang, yang tambah makmur, tak pusing lagi dengan kebutuhan primer. Tak lagi membeli tas sebagai hanya alat belanja, tapi juga benda pajang atau alat penampilan diri. Untuk memenuhi kebutuhan baru itu tentu ada konsekuensinya: para perajin harus mampu bersaing dalam desain, terutama. Maka diadakanlah festival kerajinan tiap tahun. Pemenangnya dijamin bakal kaya: mendapat pesanan dari segala tempat. Tapi bukankah rotan, di Indonesia, sudah naik pangkat sekarang? Anda bisa mencari mebelair rotan dari yang harga cepek sampai yang ratusan ribu. Bukankah anyaman bambu, baik yang berupa tas maupun hiasan rumah, juga hidup kembali? Juga ukir-ukiran - Jepara, Madura, Bali? Juga anyaman pandan buat karpet? Dan, di atas segala-galanya, adalah batik - yang naik pamor sejak zaman Ali Sadikin - meskipun kedudukannya sebagai industri rakyat sudah selesai. Memang, barangkali kecuali batik, "kebangkitan kembali" itu baru terlihat di Jakarta atau sekitar Jawa Barat. Tapi tak mungkinkah kiranya payung kita sendiri suatu waktu dipromosikan ke pasaran tertentu, setidak-tidaknya? "Payung apa yang kau pakai ini, Neng?" "Ah, hanya payung Jepang. Ada yang bagus, yang dari Tasik, tapi disimpan di mobil Mamah". Payung fantasi melambai di sinar pagi Ai, ai, siapa dia....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini