Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Dari damaskus ke libanon selatan

Kebijaksanaan hafez assad. dalam menghadapi pergolakan politik di dalam negeri. campur tangan di libanon membuat amin gemayel berpaling ke syria dan meninggalkan as. (sel)

2 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENTERI pertahanan biasanya sebuah sosok dengan bobot lain. Kukuh bagai tembok. Terobosan ke arahnya buat bertemu, di banyak negeri, alot. Apalagi di negeri totaliter yang diperintah dengan hukum perang. Syria, umpamanya. Kita tahu, negeri ini musuh Israel paling keras dan sahabat paling kental Moskow. Bukankah Syria yang mempermalukan Reagan di Libanon, lewat apa yang dituding presiden AS itu sebagai subversi yang didukung Uni Soviet? Maka, siapakah yang mengira bisa bertemu dengan menteri pertahanan Syria? "Aku tidak berharap bisa dengan segera membuat janji temu dengannya," kata William Shawcross, yang melaporkan kisah perjalanannya ke Syria dan Libanon lewat majalah Rolling Stone Desember tahun silam. Tapi Shawcross, pengarang Sidesshow dan The Quality of Mercy, punya nomor telepon menteri pertahanan itu, yang diberikan seorang rekannya sesama wartawan Inggris. Nomor itulah yang dipakainya - iseng-iseng mencoba- dan jawaban Ibu Menhankam di seberang sana bikin Shawcross sempoyongan. "Datanglah besok," kata Nyonya jenderal Mustafa Tlas - begitu saja. Rumah Menteri Pertahanan, sebuah apartemen luas di sebuah gedung mungil modern, menempati salah satu punggung pebukitan Damaskus. Itulah kawasan tempat tinggal sebagian besar pejabat senior Syria. Jalan tiga jalur yang lengang diisi orang-orang muda bercelana jin yang menyandang senapan mesin. Itulah para anggota pasukan para, ataupun - boleh jadi - intel-intel yang ingin identitasnya tersamar. Mereka menghubungi rumah kediaman Menhankam dengan pesawat halo-halo, dan setelah mendapat jawab, entah apa, memperbolehkan wartawan kita masuk. Memakai jubah rumah yang panjang dan putih, Jenderal Mustafa Tlas tampil dalam postur tubuh yang apik. Lengkap dengan kumis. Istrinya muncul dengan ceria, memakai pakaian rumah, mirip yang digunakan suaminya. Sang jenderal langsung melemparkan tanya yang agak aneh: "Anda kenal Putri Diana?" Dan ia segera tampak kecewa ketika yang ditanya menjawab tidak. Tampaknya Tlas salah satu pengagum Putri Diana paling dahsyat di Syria. "Saya pernah menulis sajak panjang, untuk dia," katanya. "Judulnya Ratu Impian," Nyonya Tlas bergumam menambahkan, diiringi tawa. Seorang gadis pelayan yang cantik sementara itu menuangkan kopi. Sang jenderal melanjutkan ceritanya tentang berbagai kesenangannya yang lain. Ia mat kodak yang suka memotret bunga - dan konon prestasinya diakui orang Belanda. Buku-bukunya tentang pemotretan bunga sama baiknya dengan karya tulisnya tentang perang gerilya. (la terbilang pendukung paling awal Organisasi Pembebasan Palestina - PLO). Dan proyek yang sedang digarapnya adalah buku tentang jamu. Setelah acara minum kopi selesai, Jenderal Tlas menggiring tamunya turun ke ruang kerjanya. Lantai dan dinding ruangan itu penuh berbagai jenis senjata api, beberapa di antaranya bersepuh emas, tersimpan dalam kotak beledu. Semua itu hadiah para pedagang senjata yang ingin membina hubungan bisnis dengan negeri itu. Di rak-rak tersusun sejumlah besar buku, dan di atasnya terpajang foto-foto antara lain gambar Gina Lollobrigida, berbubuhkan tanda tangan bintang film Italia itu disertai kata-kata: "Teruntuk Jenderalku". Foto Putri Diana tentu saja tidak ketinggalan. Yang ini tanpa tanda tangan. Sesaat sebelum pergi, Shawcross bertanya tentang sas-sus pertarungan perebutan kekuasaan di Damaskus, sehubungan dengan berita-berita bahwa Presiden Hafez Assad, yang memerintah Syria sejak 1970, sakit keras. Dan bahwa adiknya, Rifaat, merencanakan mengambil alih angkatan bersenjata, dan, kemudian, negeri itu. "Sudah pada ditendangtendangi," kata Jenderal Tlas tentang mereka yang hendak makar. "Saya telah menggeser 56 perwira pengikut Rifaat. No problem. " * * * Dalam menulis laporan, Shawcross memakai gaya "aku" yang enak- Jadi sebaiknya kita biarkan saja ia meneruskannya. Sebelum datang ke Syria, aku hanya memiliki pandangan yang suram tentang negeri ini. Aku membayangkannya sebagai suatu tempat yang terkerudung dogmatisme yang zalim. Polisi rahasia cagak-cagak di tiap gang dan pintu masuk. Pembunuhan politik terjadi saban hari. Semua dalam nafsu anti-Yahudi yang berkobar-kobar dan berbagai aspek totalitarisme lain. Pikiranku malah dicekoki dengan citra salah satu neraka dunia abad ke-20, dunia yang harapannya copot. Demikianlah bayanganku, tadinya. Tapi aku harus terperanjat. Dua nasihat pernah diberikan kepadaku di Syria dan Libanon--keduanya masih lengket di benak. Di Damaskus, aku dinasihati seorang wanita muda Syria yang mendapat didikan Eropa, agar "menghindari orientalisme". "Begitu banyak penulis Barat datang kemari dan hanya melihat segi eksotisnya," ujar wanita itu. "Ujung ujungnya, Syria tak beda dengan berbagai tempat lain di dunia." Di Beirut, kebalikannya, seorang wartawan Amerika menegaskan, "Anda tidak akan mengerti apa yang sedang berlangsung di sini, kecuali menerima kenyataan bahwa itulah iblis kelas dunia. Bukan iblis cecere, tapi dari jenis kelas dunia!" Kedua nasihat itu merasuki pikiranku. * * * Ternyata gampang menggelandang ke mana mana di Syria. Pada suatu petang, setelah menonton film Dallas melalui televisi Syria, kemudian The Love Life of Napoleon di saluran Yordania sehingga orang Syria bisa menerima berita yang relatif tanpa sensor - aku naik bis ke Aleppo, tiga ratus kilometer ke utara Damaskus. Waktu melintasi kawasan pinggiran ibu kota dan memasuki jalan raya antarkota, kondektur memutar kaset lagu-lagu pop Syria, lalu membagi-bagikan permen dan air mineral. Di sisi kiri, terlihat semburat matahari senja yang tenggelam ke balik Pegunungan Libanon. Duduk di sebelahku seorang anak muda dengan rambut tipis dan kumis halus kepirang-pirangan. Namanya Leo. Ia senang bahwa aku orang Inggris, karena ia punya pacar gadis Inggris. "My darling, " katanya, "pacarku itu, dari Liverpool. Dia sudah kembali ke sana." Beberapa tahun lalu si pemuda mengendarai mobil keliling Eropa dan bertemu dengan " my darling-"nya di Cyprus. "Pacarku datang ke Aleppo bersamaku ia penari klub malam. Ia sangat manis. Pacarku itu tinggal dua setengah tahun, tapi kemudian diusir karena tidak mau tidur dengan seorang agen polisi raha-sia. Darling- ku yang malang," ujar si pemuda. Aku tertarik pada kasus pacarnya, tetapi lebih tertarik pada klub malam tempat cewek itu menari. "Dapatkah aku pergi kesana?" kutanya pemuda itu. "Tentu," jawabnya. "Di Aleppo terdapat banyak klub malam." Sudah tengah malam ketika kami - aku, Leo, dan kondektur yang nimbrung sampai ke klub malam Kaspar. Tempat hiburan itu besar, ruang melantainya dikitari sejumlah meja dan kursi. Di satu sisi ada panggung, tempat sebuah grup musik bermain dengan ingar-bingar. Ada sebuah layar yang ditulisi huruf-huruf warna merah jambu, berbunyi: Follies of the Casbah. Cerita yang muncul di panggung mirip adegan parodi film Humprey Bogart, rekaman klise ala Barat tentang kehidupan malam di Timur dengan sebaris penari Inggris. Bagaimana aku harus mengingat ingat nasihat tentang "bahaya" orientalisme di tempat seperti ini? Demikian kutanya diriku sendiri. Petang berikutnya aku datang ke Aleppo Club. Disini, seperti di klub pria di mana pun, tataan arsitekturnya mewah, juga perlengkapan perabotannya. Di sebuah meja duduk melingkar sekelompok lelaki dan wanita Syria. Mereka makan dan minum sambil bicara cas-cis-cus dalam bahasa Prancis, diselingi tawa riang ria. "Nouveau riche (orang kaya baru)," gumam temanku. "Mereka bekerja pada perwakilan dagang Soviet." Dengan cara bersahabat ia menasihati agar aku tidak menulis apapun tentang Syria sekembali dari perlawatan ini. "Anda belum memahami apa pun." Aku setuju saja. * * * Belakangan aku bermobil dari Damaskus ke Palmyra, kota reruntuhan dari zaman penjarahan Romawi. Aku ditemani dua rekan, dari New York Times dan Washington Post. Perjalanan yang menawan melintasi gurun tak bertepi: pohon pohon bunga apiun dan bunga-bunga liar lainnya tumbuh di sisi jalan, tebing dan punggung punggung bukit pasir, sedangkan restoran mulai bermunculan di sana sini. Dari jendela hotelku di Palmyra terhidang pemandangan oasis yang memesonakan: angin mendayu melalui pepohonan palem, terdengar bagai desah ombak di pantai. Dan di seberang sana: reruntuhan kota tua. Malam itu kami duduk-duduk di bangunan kuno Baal - semacam tempat pertemuan - di bawah langit yang gelap, menyimak kelepak sayap burung yang hinggap dan terbang di atasnya. Sedangkan seorang pianis Armenia bagaikan hendak menghancurkan piano memainkan Pictures at an Exhibition. Di antara hadirin bergabung pula kelompok kelas menengah atas lama yang biasa disebut "Teman Teman Damaskus". Mereka bukan kaum OKB yang melesat kaya di bawah rezim yang sedang berkuasa - tetapi kaum borjuis lama yang copot kekuasaannya ketika Assad naik panggung pada 1970. "Apa pendapat Anda tentang cuaca?" tanya seorang dari mereka. "Menyenangkan sekali," jawabku. "Dan cuaca politik?" tanya yang lain, sambil membolak balikkan matanya. "Tenang," kata si The New York Times. "Kami memang memerlukan sedikit ketenangan," balas si ahli cuaca politik itu menimpali. Temannya cepat-cepat bilang "hus". Malam itu, seperti setiap malamnya, tahanan di penjara Palmyra tentunya juga mendambakan ketenangan. Pada 27 )uni 1980 - sehari setelah percobaan pembunuhan terhadap Presiden Assad - 350 serdadu yang dikomandoi adik Assad, Rifaat, bersama 200 prajurit lainnya, melakukan pembalasan percobaan pembunuhan, menyerbu Palmyra dengan sejumlah helikopter. Mereka tak lupa membunuh para tahanan - langsung dalam sel. Antara 600 dan 1.000 tahanan dikabarkan terbunuh malam itu dan dikuburkan secara masal di luar penjara. Ada yang bilang, Rifaat sendiri ikut langsung melaksanakannya. Rezim negeri itu ditopang - setidaknya sebagian - oleh teror, yang dilakukan tidak kurang oleh delapan satuan keamanan yang berbeda. Salah satu boleh bertindak kapan saja. Adalah kebijaksanaan komandan setempat untuk mengatakan - atau tidak mengatakan - sesuatu kepada keluarga miskin yang familinya lenyap begitu saja. Sementara itu para keluarga kaya di sini bisa sedikit lebih enak. Kadang kala mereka bukan saja dapat membeli informasi, tetapi juga kemerdekaan. Sejumlah tahanan politik sudah disekap sejak 1963. Umumnya mereka dicederai. Menurut Amnesti Internasional, berbagai cara menyiksa dipakai di Syria, termasuk penggunaan anyaman kawat berduri. Juga cabut kuku dan siksaan seksual acap dengan cara menyetrum anu si korban. Keluarga mereka yang tidak tahumenahu juga kebagian sial. Salah sebuah cara siksaan dikenal dengan alabdul aswad, atau "budak hitam". Itu nama sebuah alat semacam tusuk sate dari besi yang dipanaskan disorongkan ke lubang dubur. Seorang bocah sekolah 15 tahun yang dikutip Amnesti Internasional mengatakan bahwa, setelah telapak kakinya dipecut, "mereka mengancam akan mengayunkan aku di dullab". Ini sebuah ban mobil yang digantung di loteng, menjulur keluar jendela. "Penyiksaku juga mengancam akan mencungkil mataku jika tidak mau memberitahu di mana Ayah berada, dan tidak akan membebaskan aku sebelum aku melakukan apa yang mereka maui. Malam itu mataku tak terpejam, karena dilarang. Setiap saat mata tertutup, salah seorang akan datang membentak." * * * Esoknya kami bermobil lewat gurun. Kini memakai jalan yang lain. Kami bertemu kawanan domba yang sedang merumput dan sejumlah lapangan terbang, tempat para penerbang baru Syria berharap memperoleh keterampilan tambahan dengan pesawat MIG yang sama barunya. Para pendahulu mereka pada Juni 1982 batal bergaya, setelah Israel meluluh lantakkan hampir seluruh kekuatan udara Syria hanya dalam setengah hari. Saat itu perjalanan menghidangkan pemandangan salju di pebukitan Libanon pada awalnya. Kemudian padang pasir yang berangsur-angsur berubah menjadi ladang-ladang hijau, dipenuhi pohon jeruk, aprikot, dan zaitun. Kami memasuki kawasan Sabit Subur. Berikutnya kami melintasi pangkalan peluru kendali SAM-5 yang baru. IniIah stasiun rudal Uni Soviet pertama yang dipasang di luar Blok Soviel dan ditangani beribu-ribu teknikus Rusia sendiri. Kemudian kami tancap gas memasuki sebuah kota yang harus menjadi lambang ejekan terhadap cara pemerintahan totaliter memperlakukan kota yang sedang rusuh: Hama. Aku membawa serta Buku Pegangan Perjalanar ke Palestina dan Syria, terbitan 1929. Tentang Hama, buku itu mulai dengan penggambaran, "Kota ini, yang dengan indahnya terletak di tepi Sungai Orontes, adalah pusat perekonomian orang Badui. Penduduknya dikenal fanatik dan sanga1 bangga diri." Inilah pandangan yang dianggap sah oleh rezim Assad. Pada Februari 1982, sebuah pemberontakan terhadap Assad terjadi di Hama - dipimpin oleh sejumlah anggota fundamentalis dan Ikhwanil Muslimin Pan-Arab. Sejumlah prajurit dan pejabat tewas pada hari pertama. Tapi rezim Assad membalas dengan cara yang agaknya menunjukkan belangnya. Hama dikepung rapat oleh 8.000 serdadu, berikut tank-tank dan persenjataan artileri. Sebagian pasukan di antaranya dipimpin adik Presiden sendiri, Rifaat. Tidak kurang empat hari penuh kota dibom lewat udara dan disiram peluru meriam. Sebagian kota menjadi rata. Kemudian Jenderal Tlas, pengagum Putri Di tadi, mengumumkan bahwa pemberontakan sudah dipadamkan. Tapi pembersihan itu mereka anggap belum memadai. Dua minggu berikutnya pemadaman pemberontakan dilakukan dengan penggeledahan dari rumah ke rumah, sementara pasukan pemenang memasuki kota. Banyak, banyak sekali, orang sipil tak berdosa yang dicabut nyawanya secara paksa. Amnesti Internasional mendapat segebung cerita tentang pembantaian masal ini. Di antaranya: pemompaan gas beracun ke gedung-gedung, yang langsung mematikan semua penghuni. Diperkirakan 10.000 sampai 25.000 - yang sebagian besar penduduk sipil, dan umumnya wanita dan anak-anak gugur. Dewasa ini tidak ada lagi ancaman dari Ikhwanil Muslimin di Syria, begitulah menurut pemerintah. Beberapa ribu biang keroknya - di antara 25.000 rakyat tak berdosa - sudah menemui ajal. Belakangan, di Beirut, seorang wartawan Amerika berkata padaku: kebijaksanaan Presiden Reagan terhadap Libanon tak bakal pernah berhasil. Karena, katanya, Washington tidak pernah memahami aturan apa yang cocok dengan Syria. "Aturan Hamalah yang berlaku di sini," ujarnya. * * * Di salah satu bukit di pinggiran Damaskus, sebuah istana Presiden baru saja dibangun. Pandangan dari sana lepas bebas ke seluruh kota. Istana yang macam benteng itu dilindungi dengan sistem pengamanan Amerika yang canggih. Di puncaknya ada bunker perlindungan yang tertanam dalam ke tubuh bukit. Konon ampuh terhadap serangan apa pun, bahkan senjata nuklir. Presiden Hafez Assad, pemilik istana itu, telah berkuasa di Syria sejak 1970 - jauh lebih lama dari siapa pun yang pernah memerintah di republik yang didirikan pada 1946 itu. Sebelum ia menggenggam kekuasaan, peta politik Syria ditandai oleh suksesi kup dan kontrakup yang tampaknya tidak ada habis-habisnya. Ada kelakar tentang itu: Kalau Anda esok pagi bangun subuh di Damaskus, saksikanlah ada kabinet yang menggelantung di tiang lampu jalanan. Politik Syria masih bengis dan tetap bengis. Tetapi Assad berhasil menambahkan faktor stabilitas. Hafez Assad orang Syria yang tidak istimewa. Ia putra petani miskin. Yang lebih penting lagi ia seorang Alawi (keturunan Nabi lewat Ali - Red. ), kelompok minoritas yang cuma 12 persen dari jumlah seluruh penduduk. Mereka, anehnya, secara tradisional umumnya diperlakukan kasar oleh kaum mayoritas Suni selebihnya. Para keluarga Suni yang kaya di Damaskus secara turun-temurun mempekerjakan gadis-gadis Alawi sebagai pelayan sepanjang usia. Sebagai mahasiswa pada pertengahan 1940-an, Hafez Assad bergabung dengan partai Pan-Arab, Baath, yang menjanjikan bukan saja kemerdekaan nasional tetapi juga sebuah negara sekuler yang memperlakukan kaum Alawi "sama sederajat" dengan golongan laln. Dewasa ini cara terbaik bagi kaum Alawi untuk meningkatkan derajat diri adalah dengan masuk militer. Hafez Assad memang modelnya. Pada 1954 ia menjadi penerbang tempur angkatan udara. Inilah awal start-nya. Sepanjang 1960-an - tahap kemudian - ia terus-menerus bermanuver diri ke posisi yang lebih mantap lewat hierarki politik-militer negeri itu. Ketika menjadi menteri pertahanan pada 1966, ia memantapkan kontrolnya baik terhadap militer reguler dan berbagai organisasi paramiliter yang mengangkangi Syria. Assad pada akhirnya dengan cerdik memanfaatkan kekalahan Syria yang memalukan dari Israel dalam Perang Enam Hari, pada 1967, sebagai alasan untuk mendepak lawan-lawannya. Ia dan sahabatnya, jenderal Tlas, mengirim sejumlah tank untuk menggerayangi jalan-jalan Damaskus, menangkap Presiden dan menyusupkan orang-orangnya ke Partai Baath yang berkuasa. Pada 1971 Assad terpilih sebagai presiden. Sejak itu ia bukan saja kepala negara yang mampu bertahan - selamat dari sejumlah usaha kudeta--tetapi juga identik dengan negara Syria sendiri. Ia mengontrol hampir semua aspek kehidupan politik negeri. Ia diktatornya. Walaupun menggunakan teror, Assad berhasil meraih tingkat tertentu popularitas di dalam negeri. Kecuali dalam sektor stabilitas politik, pada masa 20 tahun terakhir Syria menunjukkan peningkatan kehidupan kaum tak bertanah. Assad menghapus pemilikan kaum feodal terhadap tanah hak milik yang sebelumnya menguasai perekonomian Syria. Listrik sudah masuk desa, sedangkan pengadaan air bersih dilakukan sampai ke pelosok. Pendidikan digalakkan. Hanya ada sedikit tanda kemiskinan di Syria dewasa ini. Jauh berbeda dengan Beirut, di Damaskus tidak ada pengemis. Di lingkar dalam pemerintahan, Assad memegang kendali dengan menyerahkan pos-pos gawat kepada unsur Muslimin Suni yang kesetiaannya tak tergoyahkan, seperti Jenderal Tlas. Atau kepada anggota kaum Alawinya sendiri, yang tahu persis bahwa bila kekuasaan jatuh ke tangan orang lain, nasib mereka bisa payah seperti dulu lagi. Para perwira Alawi dan orang-orang NCO kini menjadi pemegang kekuasaan teras AB Syria. Karena itu, kekuasaan di Syria dipandang oleh kebanyakan orang Suni sebagai hasil rampasan golongan minoritas yang membegal secara tak sah. Seorang cendekiawan mengeluh kepadaku, "Kaum Alawi dilahirkan sebagai pelayan kami sekarang mereka memborong tiga perempat bagian dari jabatan puncak." Di pinggiran Kota Damaskus, seorang mahasiswa menggerundel dengan cara yang sama. "Mereka tadinya sangat miskin - orang-orang busuk - tapi kita telah menjadikan mereka kelas baru. Mereka sekarang malah menguasai kehidupan." Tapi tetap banyak orangtua Suni tidak ingin anak gadis mereka menikah dengan seorang Alawi. Entah kenapa. Tapi Assad, sang penguasa, sebenarnya seorang pertapa. Ia tidak minum arak. Ia hanya berbini satu, dan kabarnya tidak korup - tabiat langka dalam lingkaran kekuasaan Syria. Bertubuh sedang. Jalannya agak bungkuk. Senyum yang cukup menawan hampir selalu menghiasi bibirnya - senyum yang oleh Henry Kissinger disebut "mengandung rasa humor hitam". Ia menggoreskan kesan bagi kebanyakan pemimpin Amerika yang pernah duduk berunding dengannya: Nixon, Carter, Vance, Brzenski. Ia memiliki - dalam ungkapan Karim Pakradouni, politikus Libanon yang berulang kali bertemu dengannya "Persepsi yang berkembang tinggi dari martabatnya sendiri. Pribadinya dan segala sesuatu yang berkembang dengannya adalah suci," katanya. Ciri lainnya, yang bagi sejumlah orang membingungkan, adalah kebiasaannya bertukar-tukar sekutu. Di Libanon, Syria berkali-kali melakukan campur tangan atas nama hampir setiap faksi utama di sana. Namun, belakangan, hubungan Syria dengan PLO ditayang badai. Yasser Arafat telak disepak Assad keluar Syria. Syria juga melukai banyak tetangga Arabnya. Khususnya mereka yang tahu bahwa Damaskus mengandalkan terorisme sebagai usaha perpanjangan diplomasi. Beberapa tahun berselang beberapa agen Syria ditangkap - dalam tugas mengenyahkan perdana menteri Yordania. (Sebagai tindak lanjut: atase militer Syria di Amman diusir). Arab Saudi membayar kepada Syria semacam "uang keamanan" - sekitar US$ 800 juta setahun, yang bermanfaat vital untuk menambal kerapuhan ekonomi Syria. Sebagai balas budi, Assad diharap tidak membakar-bakar hasrat penunggingan monarki Arab Saudi. Dalam kebijaksanaan luar negeri Assad hanya ada satu dogma: pengganyangan tak kunjung padam terhadap Israel. Ini kebijaksanaan yang populer, yang mencerminkan opini luas di Syria: Israel adalah negara ekspansionis yang ingin melebarkan wilayah dari Sungai Nil ke Eufrat. Mula-mula, saya menyangkanya sebagai propaganda. Tetapi ternyata itu memang ambisi asli yang dikobarluaskan dengan pengajuan bukti pendudukan orang Israel terhadap Tepi Barat. Hubungan Syria-Uni Soviet dilakukan dengan berbagai kepentingan yang jelas. Yang paling utama, tentunya, bantuan senjata untuk melawan Israel dan musuh-musuh dalam negeri. Kedua, hubungan itu menjadi bendera yang dikibar-kibarkan di depan hidung sayap kiri Syria sendiri. Hubungan itu boleh saja dianggap vital, tetapi ada pertimbangan lain. Terdapat lebih dari 7.000 penasihat Soviet di Syria tetapi mereka hanya berputar-putar di kawasan pinggiran Damaskus dan tidak pernah terlihat menggelandang di pasar-pasar pusat kota. Ada beberapa dari mereka yang terbunuh dalam tahun-tahun terakhir ini. Dan yang menjadi kambing hitam pembunuhan tak lain kaum Ikhwanil Muslimin - dalam hampir setiap kericuhan. Para pejabat kedutaan Amerika, anehnya, bebas berse-liweran di sekitar Damaskus. Umumnya mereka menyenangi negeri itu. Intervensi Assad di Libanon dipokroli para pejabat Syria dengan berbagai cara. Pertama, ada maksud nyata yang berkaitan dengan kepentingan tak terbantah terhadap tetangganya - bagian dari gagasan Syria Raya. "Satu bangsa dua negara" adalah slogan yang sering diulang-ulang. Kemudian ada pula maksud lain yang menganut doktrin Brezhnev, yang antara lain dijadikan dasar untuk mengesahkan invasi Soviet ke Cekoslovakia dulu, yaitu kedaulatan terbatas. Dengan jalan pikiran itulah Syria merasa punya dalih untuk campur tangan di Libanon (atau di mana pun) jika keamanan dirinya dianggapnya terancam. Ketiga, Assad menganggap dirinya punya hak mendominasi negara lain tanpa minta permisi lebih dulu kepada adidaya mana pun, terutama AS. Hubungan Syria yang paling rumit mungkin dengan Ayatullah. Sebenarnya, saat Assad mencanangkan dirinya sebagai pemimpin Dunia Arab, Khomeini tiba-tiba melibatkan dirinya dalam perang hancur-hancuran dengan Arab Irak. Namun ketika semua negeri Arab antre mendukung Irak, Assad tiba-tiba mendukung Khomeini. Ini mengungkapkan kenyataan lain: Betapa jijiknya ia pada pemimpin Irak, Saddam Hussein, yang memimpin kubu lain partai Pan-Arab, Baath. Sebagai balasan, Iran membagi kepada Syria minyak murah senilai US$ 600 juta. Nah. November tahun silam Assad digotong gapah-gopoh ke rumah sakit. Ia muntah darah. Seorang juru bicara yang bingung mengumumkan bahwa Presiden menderita radang usus buntu. Musuh bebuyutannya, Israel, menyiarkan lewat pemancar radio mereka bahwa usus buntu Assad sebenarnya telah dipotong bertahun-tahun sebelumnya. Ia diperkirakan menderita sakit dada hebat (angina pectoris) yang diparahkan oleh kelelahan, akibat krisis berkepanjangan di Libanon. Assad sebenarnya baru berusia 53 tahun, dan muntah darah itu adalah ancaman pertama terhadap tali nyawanya. Pada gilirannya itu membikin shock seluruh establishment di Syria dan, yang paling demam panas, adiknya sendiri, Rifaat. Rifaat telah lama mengidam-idamkan menggantikan kedudukan abangnya sebagai presiden Syria berikutnya. Di Damaskus, tiap orang yang membicarakan Rifaat akan menjadi kreatif dengan cerita tak habis-habis. Tapi umumnya mereka berkisah sambil menggigil keras. Menumpang taksi melintasi rumah mewah Rifaat pada suatu hari, aku menunjuk-nunjuk ke arah rumah itu. "No, no," kata si sopir buru-buru mencegah sambil menggeleng, dan menatap dengan muka pucat. "Polisi," katanya sambil membuat gerakan tangan yang terbelenggu. Di desa tempat kelahirannya, Hafez Assad membangun sebuah rumah pribadi - kecil saja. Tapi di dekatnya berdiri sebuah -'istana". Itulah milik sang adik, Rifaat. Hafez berbini satu. Sedangkan Rifaat paling sedikit empat, dan gundiknya satu pasukan. Setiap cewek yang menarik hatinya ia sabet. Terutama daun-daun muda. Begitu kata pergunjingan. Hafez kabarnya jujur. Rifaat? Well, Rifaat senilai tebusan seorang Arab Saudi. Ia punya rekening bank di Swiss dan Texas. Seorang bankir Amerika setahun silam mengungkapkan bahwa Rifaat pada tahun 1983 saja mendepositokan uangnya sebesar US$ 100 juta di Texas - "dan itu hanya sejentik pucuk gunung es". Ia tidak saja punya bank rekening, tapi juga harta benda. Di Eropa, di Amerika, di Syria. Di Damaskus, ia memiliki tempat penyimpanan yang luas bagi mobil-mobil paling mahal di dunia. Dan beberapa di antara anak-anaknya - katanya, kira-kira 17 orang belajar di Amerika. Begitu kata gosip. Sebenarnya ini bukan kejutan. Anak-anak para pejabat senior dan orang kaya kelas menengah atas Syria dididik di AS dan di Eropa. Sementara itu, yang hubungannya baik dengan Uni Soviet beramai-ramai ke Moskow. Semua hubungan luar negeri yang emosional di Syria dengan Barat sebenarnya menggambarkan cita-cita masyarakat kapitalis bukan komunis. Itulah salah satu permasalahan Syria, sehingga orang-orang mudanya berusaha tinggal jauh dari tanah tumpah darahnya. Terdapat sekitar 15.000 tentara dalam satuan keamanan negeri. Dan mereka adalah korps elite dalam angkatan bersenjata Syria yang menerima hampir semua persenjataan modem Soviet - teoretis. Tapi pada kenyataannya, tentara reguler acap kali menerima warisan barang bekas pakai dari centeng-centeng Rifaat - karena korupsi, tentu. * * * Ikut campurnya para negara adidaya tidak cuma sekali menjadikan Timur Tengah kubangan darah. Bashir Gemayel, pemimpin Kristen Falangis, yang dibantu Israel untuk menjadi presiden terpilih dibunuh. Pasukan Israel menyerbu Beirut Barat, bertentangan dengan janji pemimpin mereka kepada Washington. Dan dengan kesembronoan kriminal, mereka biarkan milisi Kristen membantai kaum sipil Palestina, yang sama sekali tak kuasa memDertahankan diri, di Sabra dan Shatila. Kala saja pasukan multinasional masih tinggal di Beirut, peristiwa Sabra dan Shatila tentunya dapat di cegah. Pasukan marinir dan kontingen lainnya dikirim pulang. Atas motif apa? Rasa bersalah. Tugas merekai Secara teori, mencegah pembunuhan masal lainnya. Tetapi penugasan mereka dirancang dengan buruk, dan merupakan tindakan kurang perhitungan dari kenyataan yang lebih gelap pertarungan di Libanon sendiri. Pasukan marinil AS tinggal cuma 500 hari di sana, dan mengalami pukulan yang membawa banyak korban. Kemudian mereka pergi ... tanpa hasil apa pun. Itulah riwayat tragis yang menunjukkan betapa sulitnya berperan sebagai pasukan adidaya yang memelihara perdamaian. Semula, marinir cukup populer di Beirut Barat. Setelah peristiwa Sabra dan Shatila, kebanyakan orang Islam memandang mereka sebagai pelindung. Hampir-hampir tidak terbayangkan bahwa pasukan itu ternyata akan menjadi korban kebijaksanaan politik Gedung Putih sendiri. Sekali marinir kembali ke Beirut, AS harus menekan habis Israel agar segera meninggalkan Libanon. Itu akan membawa manfaat bagi pengendalian kesemrawutan Libanon. Jika tidak, huru-hara yang lain akan datang menyusul. Setelah serbuan Israel di Libanon, sebenarnya Syria nyaris porak-peranda. Kekuatan udaranya berkeping-keping dalam satu kali serangan Yahudi itu. Tapi Assad lalu terbang ke Moskow: la dan para jenderalnya mempersalahkan mutu persenjataan yang diberikan Soviet. Orang Rusia sebaliknya menuding ketololan penerbang dan teknikus Syria. Hasil ketegangan itu: Moskow tidak lagi menabur senjata barunya di sana, dan membiarkan orang Syria mengatasi kesulitannya sendiri - sehingga orang-orang Assad merasa terkatung-katung. Pada musim panas dan awal musim gugur, orang Syria jelas tampak khawatir pada suatu keputusan yang diambil Amerika Serikat. Mereka tiba-tiba menerima uluran tangan Washington dalam perundingan penarikan pasukan Israel. Tapi AS, yang masih bingung, tidak tanggap. Padahal jika AS cepat-cepat berusaha mencegah timbulnya efek-efek penarikan pasukan Israel, banyak kekecewaan mungkin bisa dihindari. Karena Israel bersikap menunda-nunda, perundingan tidak juga dimulai sampai berakhirnya tahun 1982. Israel sebenarnya sudah bisa mengakhiri pendudukannya di Libanon tahun itu juga. Dan, ketika perundingan akhirnya dimulai, Israel mengirimkan perunding yang paling liat. "Mereka, bertingkah seperti J.R. Ewings," kata seorang diplomat Barat di Damaskus. Orang-orang Libanon ambruk, dan kondisinya mundur terus-menerus, karena AS tidak juga mendukung mereka. Beberapa pejabat AS memang menyesalkan kelambatan tindakan William Clark, yang waktu itu penasihat bidang keamanan Reagan. Dan, lagi, saat perundingan beringsut maju, Washington memutuskan untuk tidak terlibat. Bahkan tak mau menyuplai informasi kepada Syria. Walaupun pembi-caraan melibatkan pula penarikan pasukan Syria - di samping tentara Israel - dari Libanon, satu hal yang menjadi kekhawatiran Syria. Banyak pejabat Amerika di kawasan itu menganggap tindakan ini absurd. Yang lain menimpali: orang Libanon telah berhasil membangun janji untuk membuat orang Syria au courant (tepat waktu), tapi AS menghancurkannya dengan meri-butkan bahwa Arab Saudi telah berjanji mengajak orang Syria serta. Karena orang Arab Saudi, seperti rezim konservatif Arab lainnya, sering terluka oleh Syria, gagasan menjadi pengajak itu tidak mendapat sambutan di kalangan peja-bat Arab Saudi. Belakangan AS mengeluh. "Kami terlalu banyak menaruh kepercayaan kepada Arab Saudi," kata salah seorang pejabat Amerika mengakui. "Mereka menyuap seluruh dunia Arab yang berlumuran darah, tetapi pengaruhnya nol." Sementara itu Breznev meninggal, dan digantikan oleh Andropov, yang memerin-tahkan peninjauan kembali seluruh kebijaksanaan politik negeri itu. Kremlin memutuskan: Syria "barang vital" bagi Uni Soviet. Pada Januari 1983, pengapalan senjata Soviet ke Damaskus dilakukan kembali secara besar-besaran, dengan persyaratan kredit yang sangat ringan. SAM-5 dan SS-21 dipunggah ke Damaskus. Sekitar 3.000 "teknikus" Soviet tiba, banyak di antaranya ahli strategi yang bertugas memeriksa kebijaksanaan dan taktik AS di kawasan itu. Aku diceritai: para penerbang Soviet mulai menerbangkan pesawat pengintai MIG Syria di atas kapal-kapal AS di Laut Tengah. Kebangkitan kembali Syria pun terjadi. Sementara itu pemerintah Libanon, yang dipimpin Amin Gemayel, mulai bergantung pada AS dan tidak berusaha melakukan perbaikan dalam negeri. Inilah pertama kalinya sebuah faksi mendominasi penuh pemerintahan negara. Seperti koresponden The New York Times, Thomas L. Friedman, mencatat: "Gabungan antara pelatih AS, pasukan marinir yang ditempatkan di lapangan udara, Armada ke-7 yang lalu lalang di lepas pantai, dan pernyataan dukungan umum pemerintahan Reagan memberikan kesempatan pada Amin Gemayel untuk membangun kesan berlebihan tentang dukungan AS itu. Dan pada gilirannya muncul kesan agak kelewatan tentang kekuasaannya sendiri." Ketimbang mengurus keluhan mayoritas Islam, rezim Gemayel malah bersikap semakin pongah terhadap kelompok ini. Ternyata, oposisi kaum Muslim ini kepada rezim Gemayel dan tonggak utamanya, AS, mulai muncul. Ini dikipasi lagi oleh persetujuan yang dicapai antara Israel dan Libanon. Persetujuan itu jelas-jelas menyenangkan Israel, sementara di mata orang Syria, Libanon semakin tersisih dari Dunia Arab dan dianggap semakin masuk ke kubu Yahudi - seperti Mesir dalam perjanjian Camp David dulu. Assad sudah tentu tak dapat menerima keadaan ini - seperti setiap diplomat Amerika di Damaskus meramalkannya. Mengapa hal ini tidak terlihat sebelumnya, di Washington? "Masalahnya adalah Washington memandang kami lewat teropong Israel dan kebijaksanaan politik Israel. Dan bukan dengan policy AS," kata Assad Elias, penasihat Presiden Assad, kepadaku. Ini sebuah pendapat yang tidak terlalu salah. Banyak diplomat AS di kawasan itu yang ikut frustrasi melihat politik Washington. Di Damaskus aku mendengar, dengan perasaan kaget, saat seorang diplomat AS mengucapkan salam perpisahan kepada seorang sahabatnya, pedagang karpet. "Begitu aku mendarat di landasan J.F. Kennedy pada hari Selasa nanti, kau boleh tak percaya, mereka akan langsung mengelompokkan aku ke dalam golongan anti-Arab murni. Mereka akan membawaku ke ruang kecil bandar udara dan memasang electrode ke kepalaku, untuk memprogramkan cara berpikir yang benar kembali mengenai kawasan ini." Banyak pejabat AS di sana menyaksikan kedutaan besar Amerika di Beirut diledakkan golongan Islam pada April 1983. Terjadi persis setelah persetujuan Israel-Libanon disepakati. Sebuah sinyal nyata ketidaksenangan Syria. Menteri luar negeri AS, Shultz, pergi ke Damaskus pada awal Mei 1983 dan harus kaget mendengar orang Syria berkata tidak terhadap kesepakatan yang sudah disetujui resmi. Toh Shultz dengan bersemangat tetap menganggap persetujuan itu oke. Dan minta Israel plus Libanon membubuhkan tanda tangannya masing-masing pada 17 Mei 1983. Justru sejak itulah Assad meng uras tenaganya untuk memaksa Libanon membatalkan perjanjian itu, dan berusaha keras mempermalukan AS. Ia ternyata mampu memberikan tekanan berat kepada Beirut, sementara Washington - sebaliknya - hampir tidak memperoleh peluang secuil pun. Maka para pejabat AS di Beirut menjadi "gila" - bukan karena kedutaannya dibom, melainkan karena kedunguan Washington. Pada September tahun itu juga orang Israel berangsur-angsur keluar dari kawasan kontrol mereka di sekitar Beirut dan di Pegunungan Shouf di belakang kota. Gencatan senjata memang tercipta. Perang saudara antara kaum Kristen yang dikendalikan tentara Libanon dan laskar Falangis, di satu pihak, milisi Druze yang didukung Syria, di pihak lain, pun berhenti. Masing-masing sudah menguasai sejumlah posisi. Sementara itu, tentara Libanon terperangkap di dalamnya. Banyak pejabat AS di Beirut berpendapat, orang Israel justru sengaja menciptakan huru-hara tidak terkendalikan dalam keadaan itu. Tapi Washington tidak percaya. Para pejabat Amerika di Beirut dan Damaskus tak henti-hentinya bicara dengan nada pahit tentang para utusan Gedung Putih yang ditugasi ke wilayah itu. Para utusan ini umumnya bebal: tinggal di menara gading kediaman resmi duta besar AS yang tenang di pebukitan di luar Beirut Timur. Akibatnya mereka tidak tahu apa-apa tentang kehidupan nyata di jalan-jalan kota, lalu memberikan perintah yang membingungkan. Sementara itu, para pejabat AS di Beirut sebaliknya sering terlalu keras. Robert McFarlane misalnya. Dia ini, seperti yang acap terjadi dalam setiap birokrasi, dianggap gagal bertugas di luar negeri, lalu ditarik pulang. Padahal dialah yang "berjasa"-atau bertanggung jawab - memerintahkan para serdadu AS membuka serangan terhadap serbuan orang Arab. Kini McFarlane menjadi penasihat keamanan nasional - dalam negeri - Presiden Reagan. Kebijaksanaan AS melalui McFarlane dan sejumlah pembantu berlangsung pada tahun 1983. Di antara para pembantu itu Donald Rumsfeld, yang dinilai beberapa diplomat lebih pintar sedikit dari McFarlane. Keduanya bergiliran menyumpalkan nasihat kepada dubes AS di Beirut, Robert Dillon, yang sebenarnya lebih memahami uap ketegangan di kawasan itu daripada para atasannya di Washington. Mirip Alexander Haig dalam masa heboh Skandal Watergate, McFarlane terus-menerus mengimbau agar para pejabat menunjukkan loyalitas yang lebih kepada the commander-in-chief. Ia dengan semangat meluap-luap mencanangkan bahwa Libanon akan menjadi ajang pembuktian berhasilnya AS menanggalkan post-Vietnam syndrome-nya. Ada anggapan, militer AS cepat naik darah. Tetapi bila dibanding oknum sipilnya, ternyata tidak selamanya begitu. Di Libanon, seperti di mana saja, kaum militer AS terus-menerus menentang penggunaan kekuatan militer. Dan justru orang sipil seperti McFarlane yang selalu mendesak-desak agar Amerika unjuk otot. Dalam dua minggu pertama September pertempuran di Pegunungan Shouf memburuk, dan Amin Gemayel mengirimkan pasukan Libanon ke daerah kaum Syiah di Beirut Barat. Marinir AS datang di bawah serangan artileri Druze, dan beberapa di antara mereka segera terbunuh, walau mereka membalas menembak gencar dalam upaya membela diri. Pasukan Libanon ketika itu terus-menerus minta pada McFarlane agar memerintahkan dukungan tembakan meriam dari armada AL AS, agar posisi mereka tidak tergusur. McFarlane setuju, dan tak menggubris penolakan Dillon. Reagan sementara itu menerima rekomendasi McFarlane. Tapi komandan pasukan marinir, Kolonel Timothy Geragty, menolak perintah sampai beberapa hari. Baru pada 17 September USS Virgiriia membuka tembakan ke posisi Druze di Pegunungan Shouf. Keputusan itu menyimpang dari prinsip bela diri pasukan marinir. "Pertempuran itu didukung dan bahkan menjadi taruhan orang Syria yang jelas-jelas dicekoki kekuatan Soviet," kata Reagan pada 20 September. "Telah saya perintahkan agar pasukan marinir mempertahankan diri." Pengeboman dari laut ke arah Pegunungan Shouf ini menurut penilaian lain berpengaruh buruk pada keadaan. "Dengan cepatnya menjadi jelas bahwa kita telah salah hitung, dengan terlibat langsung ke dalam perang saudara," kata Dubes Dillon - ia memang tak setuju. "Dalam beberapa hari saja, kita semua jatuh waswas." Toh Washington tidak menarik pasukan marinir. Malahan pada jam-jam pertama 23 Oktober, 241 orang di antaranya tewas dalam keadaan tidur ketika sebuah truk bermuatan bahan peledak seberat 2.500 pon meletup. Kontingen Prancis juga kena sasaran bom: 58 nyawa melayang. Para pejabat AS di Beirut berbicara tentang serangan itu, masih dalam keadaan termangu-mangu. "Bom nonnuklir terbesar sejak Perang Dunia II," kata mereka. Mereka yang bertanggung jawab terhadap serangan itu, baik serangan lebih awal terhadap kedubes AS maupun ulangan kejadian pada September 1984, sampai kini secara resmi belum terungkap. Tetapi banyak orang di kawasan itu yakin bahwa semua serangan tersebut dilakukan bersama oleh anggota angkatan bersenjata Syria, Palestina, dan Iran. Mereka dibantu oleh para intel yang beraksi melalui serangkaian cara terselubung, yang kesemuanya berakhir dengan tindakan nekat sopir truk yang ingin mati syahid itu. Sejumlah orang Amerika di Beirut membisikkan sesuatu yang cukup membikin orang Barat termangu. Bahwa anggota marinir yang bertugas jaga di bandar udara sempat melihat tampang sopir truk maut, ketika ia menunduk beberapa meter dan terjerembab, yang tersenyum bahagia persis sedetik sebelum bom meledak. Pembantaian itu mendorong McFarlane dan Reagan untuk tidak memperhitungkan kembali kebijaksanaan AS. Kecuali memperseru retorikanya tentang keterkaitan AS dengan Libanon, Reagan menyatakan bahwa AS mempunyai "kepentingan vital" di sana dan bahwa itu adalah "pusat kredibilitas AS", yang diinginkan ditarik-tarik oleh Syria maupun Israel. "Saya tidak punya persneling mundur di Libanon," kata presiden itu kepada salah seorang politikus. Ketika perang saudara di Beirut memburuk pada minggu-minggu terakhir 1983 dan minggu-minggu pertama 1984, listrik dan air mati. Jam malam diberlakukan. Pertempuran tak henti-hentinya, dan lagi-lagi orang Kristen Libanon menaruh kepercayaan kepada kebijaksanaan AS. Padahal negara adidaya itu tidak punya policy sama sekali. Lalu, di Damaskus, Assad hanya menunggu waktu. "Mereka akan lari tunggang langgang," katanya singkat. Ia benar: Reagan kembali merepet tentang komitmennya. Tetapi kenyataan bicara lain. Beirut jatuh berkeping-keping pada awal Februari (1984), karena sebagian pasukannya berontak. Kota terbelah. Reagan menarik marinir. Amerika tidak memperoleh apa-apa. Kini Syria menunggu giliran. Dan Assad berbuat lebih bagus. Itu terjadi tidak lama sebelum Amin Gemayel, atas tekanan Assad, membatalkan persetujuan 17 Mei. Rujuk dalam negeri sulit dipaksakan oleh Syria, toh tekanan Syria mereka berlanjut. Amin Gemayel tetap menjadi presiden, tetapi ia harus memasukkan ke dalam pemerintahannya para pemimpin Islam Suni dan Syiah yang sebelumnya ia depak. Seorang pemimpin Kristen yang lemah, yang bertahun-tahun dibelit utang Damaskus, diminta membentuk pemerintahan persatuan nasional. Pada awal Juli, angkatan bersenjata dirombak untuk memuaskan kelompok Islam. Sejumlah paramiliter pun setuju menyimpan senjata mereka di gudang, dan menyerahkan rumah-rumah blok di tepi jalan kepada pasukan pemerintah. Bandar udara dibuka kembali sejak lima bulan. Dan banyak jalur hijau dibongkar. Kalau ini disebut juga perdamaian, ini perdamaian dari jenis yang diatur. Karena itu rapuh. Namun, tak ayal, pada pertengahan musim panas 1984 semangat kehidupan orang Beirut tampaknya meningkat. Dulunya hampir tanpa harapan, kini sedikit-sedikit mulai tumbuh. Dan untuk itu tidak ada pujian tertuju kepada pemerintahan Reagan. Kegagalan kebijaksanaan politik AS telah memungkinkan Syria kembali masuk dan mendominasi Libanon. * * * Beratus ribu orang Libanon mulanya didorong Reagan untuk mencari keselamatan pada Amerika. Tapi belakangan permohonan bantuan itu ditolak sendiri oleh AS. Setelah menambah keruwetan, Amerika pun dengan enak melenggang pulang. Pada pertengahan 1984 pemerintah negara adidaya itu justru mengalihkan bantuan ekonomi dari Libanon ke El Salvador. Dan sisanya bukannya diserahkan kepada pemerintah, yang pernah terengah-engah melayani Syria. Malah bantuan restan itu jatuh kepada Universitas Amerika di Beirut. Mereka yang di Beirut, orang Libanon atau orang Amerika, tidak berharap lagi AS akan dapat memainkan peranan penengah di Timur Tengah. Memang itulah yang dinyatakan Raja Hussein dari Yordania. Dan pada Agustus, Kuwait, salah satu negeri Teluk yang konservatif, menandatangani - untuk pertama kalinya - perjanjian kerja sama dengan Moskow. Semua itu bukti ketidaksanggupan AS menangani Dunia Ketiga secara keseluruhan. Di Libanon, Syria selalu - malahan secara mendasar - memiliki kepentingan. Kepentingan AS justru lebih lemah. Syria telah bersiap mengambil langkah apa pun untuk mencapai sasarannya. AS tidak tidak dapat. Ini menyangkut cara berpolitik yang dijalankan Beirut. Sejumlah orang Libanon mengisyaratkan kepadaku bahwa kegagalan Washington diperkeras oleh dua peristiwa: pengeboman di kedubes AS dan pembantaian anggota marinir. Sehingga, kata mereka, itu merontokkan sama sekali kebijaksanaan Paman Reagan di Libanon. "Orang Syria tahu persis, hanyalah soal waktu bahwa AS harus hengkang," kata salah seorang di antara mereka. Pada akhir musim panas muncul keterangan lain. Yakni bahwa pemerintahan Reagan mulai mengakui hak dan kepentingan Syria - seperti yang diperagakan Syria dalam sepak terjangnya selama ini. Seorang pejabat senior AS konon menyatakan, peranan Syria belakangan ini positif saja adanya. Tetapi keterikatan Washington pada Yahudi membuat semua usaha perdamaian jadi terseok-seok. Pada September, AS memveto resolusi Dewan Keamanan PBB yang mengecam pendudukan Israel di Libanon Selatan. Dan ancaman pun berkembang menjadi makin dalam, berpangkal pada kawasan pendudukan Israel itu. Jihad Islam bangkit - khususnya dari kalangan Syiah fundamentalis, yang ingin menyerang bukan saja "Setan Besar" Amerika Serikat, tetapi juga sekutunya, Israel. Mereka mempunyai jalur, atau paling tidak kesetiaan ideologis, kepada Ayatullah. Beberapa di antara mereka boleh jadi dilatih Pengawal Revolusi Iran yang radikal, yang mempunyai pangkalan di Baalbek, daerah Syria yang berbatasan dengan garis gencatan senjata. Mereka sekarang mencari rekrutan baru di kalangan penduduk Syiah di Libanon Selatan - tempat perang sabil disyiarkan justru di bawah kekuasaan pasukan pendudukan Israel. Ini adalah buah tekanan Israel jua - baik melalui pasukan Israel sendiri maupun memakai tangan sekutu Libanon mereka, yaitu Tentara Pembebasan Libanon Selatan (SLA) yang juga semakin biadab. Upaya tentara pembebasan itu berlama-lama mengangkangi Libanon Selatan, dan menolak menyerahkannya kepada PLO, pada gilirannya membuat penduduknya jadi lebih radikal. Malah menciptakan ancaman lebih serius terhadap Israel sendiri. Bahkan kehadiran SLA terbukti telah mencabik-cabik jalinan masyarakat setempat. Pada hari berlangsungnya pengeboman kedutaan besar AS, pasukan SLA membantai 13 orang Syiah sebagai balasan terhadap pembunuhan empat serdad-SLA. Robert Fisk, wartawan terkenal The Times of London, berkomentar, "Barang-barang panas mulai digudangkan di kawasan Libanon Selatan." Toh tetap panas. Dan begitulah, bagai tanpa akhir, lingkaran kekerasan berlanjut - dan lebih buruk. Mungkin belum bisa dihentikan sekarang. Syria juga mengisyaratkan tanda-tanda meningkatnya tindakan radikal kaum Syiah Libanon. Menghadapi itu Syria telah mencoba mengekang aktivitas Pengawal Revolusi Iran. Dan, dalam jangka panjang, sudah tidak ada jalan mengakhiri kekerasan. Soalnya kaum radikal Islam berhasil membentuk kerja sama secara mendunia untuk menciptakan tanah air bagi orang Palestina. Dan pemecahannya tidak akan mungkin terwujud, selama Amerika terus memandang Syria dan bagian Timur Tengah lainnya "melalui kaca teropong Israel". * * * Ketika aku pulang bermobil melalui desa-desa yang ditinggalkan, di Pegunungan Shouf, dan melintasi Lembah Bekaa menuju Damaskus, taksiku tibatiba dipaksa berhenti di luar jalur jalan. Iring-iringan kendaraan bermotor yang diapit jip-jip militer Syria berpacu dengan kecepatan tinggi. Semua dengan rasa bangga yang meluap-luap, dalam seragam dan senJata otomatis yang tampaknya siap tembak. Semua bagai berlomba berteriak-teriak meminta jalan, dengan rasa penting diri. "Siapa mereka?" tanyaku pada sopir taksi. "Rifaat Assad," katanya sedikit kesal. Itulah orang yang meratakan Kota Hama di bawah aturan abangnya. Ia baru pulang dari wilayah protektorat setelah menginspeksi panen ganjanya, barangkali. Dewasa ini Rifaat berada di pembuangan yang mewah di Eropa. Toh aturan Hama juga yang tetap cocok diterapkan di Syria, tampaknya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus