DI tengah kelimbungan harga minyak, tidak sedikit upaya untuk tetap menambang "emas hitam" itu dengan cara lebih produktif. Satu di antaranya, teknologi enhanced oil recovery (EOR), yang di seminarkan di Jakarta, 14 Februari lalu. Seminar ini diselenggarakan Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Minyak dan Gas Bumi, Lembaga Minyak dan Gas Bumi (Lemigas), dengan sponsor Mitsui Cyanamid dan Far Eastern Oil Trading Co. (FEOT) - keduanya perusahaan Jepang. Teknologi EOR merupakan upaya menguras minyak bumi dari sumur-sumur tua yang mulai timpas. "Penambangan minyak, seperti kita ketahui, dapat dilakukan dalam beberapa tahap," ujar Akira Nakatsuji assistant representative FEOT di Jakarta, kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Pada tahap pertama, hanya 15%-30% dari persediaan yang ada dapat ditambang. Dengan memompakan air ke dalam sumur, pada tahap kedua bisa dicapai hasil yang sama dengan tahap pertama. Kemudian, dengan memanfaatkan teknologi EOR, masih bisa dikuras 15%-20% minyak dari jumlah persediaan seluruhnya. Untuk itulah FEOT menawarkan Accotrol, sejenis polimer produk Mitsui Cyanamid, yang bisa digunakan dalam teknologi EOR. Berapa jauh sebetulnya teknologi ini dianggap layak untuk Indonesia? Bukankah menurut laporan terakhir Lembaga Inform?si Energi AS (USEIA), Indonesia sedikitnya memiliki 15 milyar barel minyak bumi yang belum terjamah? Tampaknya, faktor geografis dan sarana infrastruktur menimbulkan keseganan membuka ladang-ladang baru. Philips Petroleum Co. of Indonesia, misalnya, tahun lalu mengembalikan ladang minyak Selawati di Irian Jaya kepada Pertamina. Alasannya menurut R.E. Finken, general manager perusahaan tersebut, "Produksinya menurun, tinggal 2.411 barel per hari, dari produksi puncak yang 58.000 barel per hari." Padahal, di Pulau Jawa, ladang yang hanya menghasilkan 6 barel per hari masih layak dioperasikan. Teknologi EOR, seperti dijelaskan Rachmat Sudibjo dan Herlan Adim dari Lemigas di depan seminar, dibagi dalam tiga kelompok. Jenis thermal, kimiawi, danmiscible (pelarutan). Metode thermal, yaitu penyuntikan uap panas atau pemanasan setempat, bertujuan mengurangi kekentalan minyak bumi yang tersisa. Tetapi cara ini hanya tepat untuk sumur dangkal dan berminyak berat. Sedangkan metode pelarutan, biasanya dengan penyuntikan propane, kemudian air dan gas, hanya cocok untuk sumur dangkal dan tipis, dengan penyerapan dan kekentalan rendah. Dengan Accotrol, pilihan kimiawi teknologi EOR, air yang disuntikkan menjadi lebih sulit menembus tanah. Akibatnya, tekanan air lebihterbagi, sehingga minyak yang "tergusur" karena tempatnya digantikan air dan polimer menjadi lebih banyak pula. Biasanya, Accotrol dicampurkan ke dalam air dengan kadar 250 ppm sampai 5.000 ppm, bergantung pada keadaan sumur yang akan digarap. Di AS, American Cyanamid sudah memproduksikan jenis polimer ini sejak awal 1970-an. Dan ternyata menguntungkan pada banyak sumur tua di Negara Bagian Texas. Pada 1976, American Cyanamid bergabung dengan Mitsui Group. Namun,Prof.Dr. Wahyudi Wisaksono, direktur Lemigas, tampaknya tidak gegabah mengambil kesimpulan. "Kami baru akan menyelidiki efektivitasnya," katanya, berhati-hati. Yang jelas, menurut Akira Nakatsuji, RRC sudah menandatangani pembelian Accotrol, 18 Februari lalu. Di Indonesia sendiri, teknologi EOR tidaklah sama sekali baru. Di ladang minyak Duri, Riau, PT Caltex Pacific Indonesia (CPI) mencobakan teknologi ini, 1967 (TEMPO, 8 November 1980). Mula-mula dipakai proses huff and puff, metode thermal dengan menyuntikkan uap panas. Kemudian digabungkan dengan metode kimiawi, menyuntikkan soda api di sisi injeksi uap panas tadi. Di ladang-ladang Minas dan Kotabatak, sejak 1970 dan 1973, program EOR dicobakan dengan memompakan air. Accotrol memang belum pernah dicobakan di sini. Padahal, sumur tua yang bertebaran cukup menggoda. Di sekitar Blora Tuban, dan Bojonegoro saja, misalnya, terdapat sekitar 550 sumur, yang dibangun Belanda pada 1890-an. Sebagian besar terletak di Wonocolo, Bojonegoro, Jawa Timur. "Dulu, pada sekitar 1956, sumur itu bisa menghasilkan 2.000 barel sehari," ujar Ir. Mokhtisar, kepala Pusat Pengembangan Tenaga Migas, Cepu. Kini, dari 129 sumur tua yang masih berproduksi tertatih-tatih, 37 terdapat di Wonocolo. Sumur-sumur yang sudah tidak berfungsi bahkan ditutup dengan semen. Toh, penduduk setempat, dengan "teknologi EOR" sendiri, masih bisa menimba rezeki dari sumur-sumur mubazir itu. Dikoordinasikan lurah Wonocolo,Watah, kini sekitar 700 penduduk "menambang" minyak mentah dari 44 sumur yang dinyatakan ditutup. Caranya cukup praktis. Sebuah sumur digarap 10 penduduk, yang mengerek pipa bergaris tengah 4 dim sepanjang 2 m, dengan tali kawat yang diturunnaikkan. Tiap sumur rata-rata menghasilkan minyak mentah 200 liter per hari. Minyak mentah ini langsung "dimasak", sehingga menghasilkan minyak tanah yang tidak sempurna. Siapa tahu, teknologi EOR mutakhir akan menghidupkan kembali sumur-sumur tua itu, dan membuka lapangan kerja baru bagi penduduk di sekitarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini