RESTORAN Cebol, Hobbit House, berdiri di bawah atap berbentuk
daun semanggi. Tempatnya: Jalan Mabini 1801 A, Mabini, Malate,
Manila, Filipina, demikian persisnya. Huruf-huruf melingkar di
papan nama berwarna hijau putih berbunyi The Feltowship of the
Ring . . . A Hobbit House . . .Restaurant. . . The Original
Mabini Folkhouse.
Berdirinya tempat unik ini merupakan paduan dari khayalan
seorang profesor Oxford, J.R.R. Tolkien, dan kerja keras seorang
guru bekas anggota Korps Perdamaian, Jim Turner Demikian ditulis
Peter O'Donnel dalam majalah PHP. Hobbit House, atau Wisma
Hobbit, memang seperti umumnya restoran. Di sini juga bisa
terdengar alunan musik rakyat. Toh masih ada segi yang khas:
manajer, koki dan pelayan, semuanya kate alias cebol.
Profesor Tolkien, dalam dongeng triloginya Lord of the Rings,
mengisahkan penduduk Pertengahan Bumi yang sebagiannya orang
cebol (hobbit), ditambah jin dan peri serta pohon yang bisa
bicara. Hobbit digambarkannya bertubuh pendek tapi pemberani.
Meski kakinya besar dan berbulu, daun telinga agak lancip pula,
ia mirip manusia dengan wajah lebih eksprerimen.
Dongengnya ini mula-mula terbit tahun 1937 sebagai cerita
anak-anak. Tapi ketika sambungannya muncul 1954, karya itu tak
lagi digolongkan cerita anak-anak karena kisahnya "yang
sekaligus heroik dan bersifat mitos sesuai dengan imajinasi yang
umum." Buku itu sendiri sudah diterjemahkan ke 20 bahasa.
Nah. Suasana dongeng orang cebol segera terasa begitu memasuki
restoran ini. Tegur-sapa yang hangat menyambut kedatangan kita.
Si penjaga pintu yang kate, Manuel, mengelu-elukan dengan kaus
oblongnya yang di punggungnya tertulis A Place for Unique People
(Tempat untuk orang-orang Unik). Melintasi meja dan kursi kayu,
di balik cahaya lilin dan lampu temaram yang diletakkan rendah,
pandangan anda akan tertumbuk pada lukisan di tembok besar yang
memancar kan wajah para jagoan penghuni Pertengahan Bumi dalam
dongeng Tolkien. Ada Frodo Baggins dan Sam Gamgee, Strider
dengan pasukan perinya yang dipimpin ahli sihir Gandalf yang
bijak, semuanya berhimpun di bawah pohon oak yang rindang.
Begitu duduk, anda segera dikerumuni. Lengan mereka yang kecil
menjulur di bawah dagu mereka, siap melayani.
"Anda mau apa?" kata Vilma yang mukanya nongol di balik menu.
Gadis 18 tahun ini baru dua hari bekerja sebagai pelayan.
Tingginya tak lebih dari satu meter. Menu yang tersedia
menawarkan 65 jenis makanan, mulai dari masakan Irlandia,
Meksiko, Italia, Amerika dan Eropa, dan tentu saja Filipina.
Hidangan khas mereka kopi Irlandia, bir hitam Guinness serta
beberapa jenis minuman lagi.
Vilma di malam pertama saja telah dapat mengumpulkan tip
sebanyak 45 pesos (ñ Rp 3.825), suatu jumlah yang lebih dari
lumayan bagi seorang pemula.
Setelah berkali-kali mengunjungi restoran cebol itu, si wartawan
berkesempatan mengenal lebih akrab mereka. Dan ia merasakan
kehangatan yang menyenangkan.
Siapa sesungguhnya kaum hobbit ini? Pidoy Fitalino, 29 tahun dan
tingginya lebih sedikit dari satu meter, adalah asisten manajer
restoran itu. Matanya yang besar bersinar-sinar ketika bercerita
kepada Peter: "Saya sudah di sini sejak permulaan. Saya selalu
merasa bahagia dengan Hobbit House karena saya bisa bekerja
bersama orang-orang senasib. Saya mengenal paling sedikit
seratus orang cebol. Di tempat ini bekerja 24 orang, 20 di
Mabini sini dan empat orang lagi di cabang Puerto Galera, di
Pulau Mindoro. Dapat saya katakan, semua kami senang bekerja di
sini."
Keadaan di restoran itu makin lama makin baik, begitu tutur
Fitalino. Gaji permulaan yang ia terima hanya empat peso (Rp
350) sehari, ditambah tip. Sekarang gaji itu sudah 65 peso (Rp
5.450) sehari, belum termasuk penghasilan tambahan di luar walau
jumlahnya tak seberapa. Karena itu ia menganggap Hobbit House
tempat yang khusus bagi dirinya. Selama tiga tahun di sana,
antara lain ia dibantu majikannya mengambil kursus manajemen,
sehingga kedudukannya bisa naik.
Yang membuat betah para hobbit memang hubungan baik dan bantuan
cukup besar yang diberikan majikan.
Setiap pegawai diberi tempat tinggal cuma-cuma, makan cuma-cuma,
di samping tentunya kesempatan bergaul dengan sesama cebol.
Selama jam kerja pegawai pria diberi barong tagalog, kemeja khas
Filipina. Untuk peristiwa khusus mereka mengenakan kaus oblong
Hobbit House. Di samping itu mengumpulnya para cebol di satu
tempat rupanya memudahkan orang-orang tertentu--produser film,
misalnya --untuk menghubungi mereka jika memerlukan.
Theresa Reyes, wanita 27 tahun dengan tinggi tak sampai 1,50
meter, adalah salah seorang pelayan Hobbit House yang pernah
main film. Kawan bermainnya tak tanggung-tanggung, bintang
Hollywood terkenal Peter Fonda, dalam film Dance with a Dwaff.
Untuk film itu ia bekerja tiga hari seminggu, dan malam harinya
di Hobbit House. Pendapatannya dari film kurang lebih Rp 6.800
(sehari?) dan telah ikut main dalam tiga film lagi. Ia tahu
Hobbit House dari sebuah majalah setempat. Dan begitu tiba di
restoran itu, ia "merasa bahagia, karena ketemu rekan-rekan
senasib."
Jim Turner membangun Hobbit House ini delapan tahun yang lalu.
Biasanya ia duduk mengawasi para tamu dan anak buahnya di kursi
dekat ujung bar di tingkat dua. Ia maklum kalau orang-orang
cebol itu senang di sana. "Mereka semua punya mata pencaharian,
dan keadaannya jauh lebih baik dari banyak orang lain di Manila.
Lagi pula saya memperlakukan mereka secara adil," katanya.
Meski ia mencoba menyembunyikan sikap kebapakannya terhadap
orang-orang cebol itu, suaranya yang serak-serak basah
menunjukkan sifatnya yang hangat. "Tiap pegawai dapat libur dua
malam dalam seminggu. Sebagian lagi ada yang kerja hanya di
waktu mereka suka. Jika terlibat kontrak film atau kegiatan
sejeriis, mcreka boleh libur. Dalam urusan seperti itu kami tak
begitu ketat." Memang, sebagian besar cebol itu sudah main film.
Si penjaga pintu Manuel malah sudah membintangi lebih dari 20
film. Kelakarnya menyambut tamu sudah cukup terkenal, karena itu
pula tempatnya di pintu masuk.
Untuk buka restoran tiap malam, menurut Jim, diperlukan paling
sedikit 10 orang cebol: seorang penjaga pintu, beberapa orang
yang menjual kaus oblong kepada tamu, sejumlah pelayan wanita
dan pria. Di dapur ada enam wanita juru masak, dua pengatur umum
dan empat pesuruh. "Suasananya lebih merupakan keluarga di
sini," kata Jim lagi. "Kami tak terlalu pusing siapa mengerjakan
apa. Yang penting semunya lancar."
Ngobrol dengan Jim Turner, si wartawan minum bir San Miquel
buatan Filipina itu. Acara minum bir ini sudah merupakan
kebiasaan di Hobbit House.
Pengeluaran terbesar bagi Jim ialah gaji pegawai. Ini sekitar
40%. Untuk honor para penyanyi, tiap tamu dikenai music charge
Rp 850. Secara tetap Jim mengetes penyanyi baru dan dari
restorannya itu telah diorbitkan beberapa bintang rekaman.
Honor penyanyi menghabiskan 30% anggaran restoran. Demikian pula
biaya listrik dan air conditioning, cukup besar. Sewa tempat Rp
682.000 sebulan, artifya 20% anggaran. Tapi Jim tak begitu
menghiraukan berapa banyak uang masuk Yang penting semua
pengeluaran liis terbayar.
Jim sudah tinggal di Filipina 20 tahun la datang bersama
kelompok pertama Korps Perdamaian, sebagai guru bahasa Inggris.
Kemudian mengajar Sejarah dan llmu Politik di Manila untuk
Universitas Yesuit.
Ketika berlaku undang-undang darurat perang, saya menganggur,"
tuturnya. "Saya tak bisa lagi mengajar Ilmu Politik sesudah itu.
Lalu kami memutuskan membuka sebuah tempat yang unik, dan
mencari orang-orang cebol. Mula-mula hanya berupa sebuah tempat
di mana kami bisa makan dan datang. Tentu saja saya dibantu
rekan-rekan Filipina."
Dongeng trilogi Tolkien telah dibacanya tiga atau empat kali. Ia
menganggap ceritanya bagus, tapi tak lebih dari itu. Ia pun tak
merasa dirinya salah satu tokoh manusia normal dalam dongeng
itu, meski dongeng tersebut memang telah mengilhami restorannya.
Ketika sedang ngobrol seekor anjing putih berbulu kasar
meliuk-liuk di kakinya. Ternyata ia punya sembilan atau sepuluh
anjing di rumahnya, semuanya pemberian orang. Ia termasuk orang
yang tak sampai hati untuk mengusir anjing tak bertuan yang
datang ke rumahnya.
Di depan Hobbit House ada tiga calesa, kereta kuda yang sengaja
ditempatkan Jim. Dimulai tahun lalu untuk memikat turis dengan
mengantar pulang mereka ke hotel setelah makan llham kereta kuda
ini diperoleh dari masa kanak Jim, ketika ia bersama kakeknya
berlibur di Irlandia beberapa kali di musim panas. Mereka
mengelilingi pedesaan di selatan Irlandia dengan kereta kuda.
"Kuda selalu tak lupa jalan yang sudah dikenalnya, jadi kita tak
perlu membimbingnya selama perjalanan."
Menurut Jim 50% tamunya terdiri dari para turis dan 50% lagi
orang Filipina yang bekerja di Manila. Restoran itu dibuka
mula-mula sebagai tempat pertunjukan musik rakyat, tapi kini
segala macam musik ada: rock and roll, blues, country dan
western. Mulanya semata-mata usaha komersial, "tapi setelah ber
jalan banyak turis yang memuji apa yang kami lakukan untuk
orang-orang cebol," kata Jim.
Perry Berry, manajer restoran yang berusia 25 tahun dan
tingginya kurang lebih 1,50 meter, ditanya bagaimana rasanya
jadi orang cebol. Sambil tersenyum ia menjawab: "Keluarga saya
memanjakan saya karena saya cebol. Apa saja keinginan saya
mereka penuhi. Saya memperoleh terlalu banyak kasih-sayang dan
perhatian."
Baru pada usia 16 Perry untuk pertama kali melihat orang lain
yang senasib. Ia terkejut setelah berbicara dengan orang
tersebut, dan menyadari bagaimana perlakuan dunia normal
terhadap orang seperti dia. "Yang kami minta hanya agar orang
lain menghargai kami secara wajar," katanya. "Mereka harus
melihat bagaimana kami memperlakukan diri kami sendiri dan
menilai diri berdasar kemampuan. Sakit rasanya melihat dunia
normal menuding-nuding dan memperolok-olokkan kami. Orang-orang
itu gila, tentunya."
Menurut Perry, orang cebol yang pertama datang ke restorannya
akan terkejut. Tetapi setelah datang lagi, ia merasa menemukan
dunianya dan sahabatnya. Tentang tamu-tamu yang datang untuk
pertama kali, "umumnya gembira melihat kami. Mereka bersyukur
kami bisa kumpul dan mengurus diri bersama-sama. Sikap ini
membuat kami merasa seperti orang normal."
Perry punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Ia sudah menikah
dengan wanita cebol, tapi anaknya lahir normal. Ia masih tetap
berambisi untuk jadi penyanyi. Ia berkenalan dengan istrinya,
Jovina yang sedikit lebih tinggi dari dia, ketika sedang
menyanyi di Jakarta.
Di luar Hobbit House ia punya usaha sendiri, berpatungan dengan
beberapa orang. Usaha tersebut, dalam urusan antar barang dan
distribusi majalah, mempekerjakan 22 pegawai -- semuanya orang
bertubuh normal. Tiga tahun lalu Perry lulus dari kursus dagang
selama enam bulan. Biaya kursus ditanggung sepenuhnya oleh Jim
Turner. Berdasar taksiran Perry, restorannya itu berpenghasilan
5.000 sampai 6.000 pesos setiap malam (lebih kurang Rp 511.500).
"Tapi jumlah ini tak seberapa artinya dibanding dengan 45
pegawai yang harus digaji."
Terhadap para tamu, orang-orang cebol ini cukup besar
pengaruhnya. Kata Perry: "Para langganan datang kemari karena
sikap kami yang ramah. Mereka tak bisa banyak ulah karena kami
cebol. Kami memang cebol, tapi kami juga tak suka keributan."
Jim Turner membenarkan: "Orang yang suka mengganggu orang cacat,
atau para pemabuk, memang segan datang ke sini."
Apa yang jadi impian orang-orang kate ini? Perry Berry sendiri
sudah lama mendambakan akan bisa punya usaha sendiri yang sudah
dimulainya. "Kini saya ingin membuktikan kepada diri sendiri,
saya bisa nyopir mobil seperti orang normal," katanya. Mungkin
ia harus punya mobil khusus yang dilengkapi alat pengatur yang
digerakkan dengan tangan, bukan dengan kaki. Perry tak akan
pernah bisa melupakan Hobbit House, dan ia masih memimpikan
berdirinya Perhimpunan Internasional Restoran Orang Cebol.
Impian itu nampaknya bukan tak mungkin terwujud. Perry sendiri
sudah mengorganisasi 60 orang cebol dalam suatu himpunan. Jim
Turner sedang menghubungi Singapura tentang kemungkinan buka
cabang, kata Saturnino "Johnny" Moldero, yang tinggi semampai,
dan rekan patungan Jim di Hobbit House selama delapan tahun.
Hobbit House sebenarnya sudah dibuka di tujuh tempat di
Filipina, tapi tinggal tiga yang bisa jalan. Yang di Baguio,
sebelah utara Manila, terpaksa tutup karena soal izin. Johnny
mengajak orang-orang cebol itu mendatangi Dewan Kota Baguio,
mengajukan protes, tapi tak berhasil. Alasannya, bahwa
pencabutan izin itu akan menyebabkan orang-orang cebol-yang
dikatakannya sebagai 'orang cacal '--kehilangan mata
pencaharian, ditolak.
Tapi Johnny masih tetap optimistis Hobbit House akan berkembang.
Orang-orang cebol yang bekerja di restorannya itu sudah merasa
sebagai satu keluarga besar. Dan ini gampang menarik pendatang
baru yang cebol. Sedang bagi orang 'besar (berukuran normal)
yang baru kenal, restoran itu tetap merupakan tempat yang tak
ada duanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini