Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para pahlawan rumah cebol

Restoran cebol, hobbit house, di jalan mabini, filipina, manajer, koki dan pelayan semuanya orang kate. suasana dongeng orang cebol terasa ketika berada di restoran tersebut. (sel)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RESTORAN Cebol, Hobbit House, berdiri di bawah atap berbentuk daun semanggi. Tempatnya: Jalan Mabini 1801 A, Mabini, Malate, Manila, Filipina, demikian persisnya. Huruf-huruf melingkar di papan nama berwarna hijau putih berbunyi The Feltowship of the Ring . . . A Hobbit House . . .Restaurant. . . The Original Mabini Folkhouse. Berdirinya tempat unik ini merupakan paduan dari khayalan seorang profesor Oxford, J.R.R. Tolkien, dan kerja keras seorang guru bekas anggota Korps Perdamaian, Jim Turner Demikian ditulis Peter O'Donnel dalam majalah PHP. Hobbit House, atau Wisma Hobbit, memang seperti umumnya restoran. Di sini juga bisa terdengar alunan musik rakyat. Toh masih ada segi yang khas: manajer, koki dan pelayan, semuanya kate alias cebol. Profesor Tolkien, dalam dongeng triloginya Lord of the Rings, mengisahkan penduduk Pertengahan Bumi yang sebagiannya orang cebol (hobbit), ditambah jin dan peri serta pohon yang bisa bicara. Hobbit digambarkannya bertubuh pendek tapi pemberani. Meski kakinya besar dan berbulu, daun telinga agak lancip pula, ia mirip manusia dengan wajah lebih eksprerimen. Dongengnya ini mula-mula terbit tahun 1937 sebagai cerita anak-anak. Tapi ketika sambungannya muncul 1954, karya itu tak lagi digolongkan cerita anak-anak karena kisahnya "yang sekaligus heroik dan bersifat mitos sesuai dengan imajinasi yang umum." Buku itu sendiri sudah diterjemahkan ke 20 bahasa. Nah. Suasana dongeng orang cebol segera terasa begitu memasuki restoran ini. Tegur-sapa yang hangat menyambut kedatangan kita. Si penjaga pintu yang kate, Manuel, mengelu-elukan dengan kaus oblongnya yang di punggungnya tertulis A Place for Unique People (Tempat untuk orang-orang Unik). Melintasi meja dan kursi kayu, di balik cahaya lilin dan lampu temaram yang diletakkan rendah, pandangan anda akan tertumbuk pada lukisan di tembok besar yang memancar kan wajah para jagoan penghuni Pertengahan Bumi dalam dongeng Tolkien. Ada Frodo Baggins dan Sam Gamgee, Strider dengan pasukan perinya yang dipimpin ahli sihir Gandalf yang bijak, semuanya berhimpun di bawah pohon oak yang rindang. Begitu duduk, anda segera dikerumuni. Lengan mereka yang kecil menjulur di bawah dagu mereka, siap melayani. "Anda mau apa?" kata Vilma yang mukanya nongol di balik menu. Gadis 18 tahun ini baru dua hari bekerja sebagai pelayan. Tingginya tak lebih dari satu meter. Menu yang tersedia menawarkan 65 jenis makanan, mulai dari masakan Irlandia, Meksiko, Italia, Amerika dan Eropa, dan tentu saja Filipina. Hidangan khas mereka kopi Irlandia, bir hitam Guinness serta beberapa jenis minuman lagi. Vilma di malam pertama saja telah dapat mengumpulkan tip sebanyak 45 pesos (ñ Rp 3.825), suatu jumlah yang lebih dari lumayan bagi seorang pemula. Setelah berkali-kali mengunjungi restoran cebol itu, si wartawan berkesempatan mengenal lebih akrab mereka. Dan ia merasakan kehangatan yang menyenangkan. Siapa sesungguhnya kaum hobbit ini? Pidoy Fitalino, 29 tahun dan tingginya lebih sedikit dari satu meter, adalah asisten manajer restoran itu. Matanya yang besar bersinar-sinar ketika bercerita kepada Peter: "Saya sudah di sini sejak permulaan. Saya selalu merasa bahagia dengan Hobbit House karena saya bisa bekerja bersama orang-orang senasib. Saya mengenal paling sedikit seratus orang cebol. Di tempat ini bekerja 24 orang, 20 di Mabini sini dan empat orang lagi di cabang Puerto Galera, di Pulau Mindoro. Dapat saya katakan, semua kami senang bekerja di sini." Keadaan di restoran itu makin lama makin baik, begitu tutur Fitalino. Gaji permulaan yang ia terima hanya empat peso (Rp 350) sehari, ditambah tip. Sekarang gaji itu sudah 65 peso (Rp 5.450) sehari, belum termasuk penghasilan tambahan di luar walau jumlahnya tak seberapa. Karena itu ia menganggap Hobbit House tempat yang khusus bagi dirinya. Selama tiga tahun di sana, antara lain ia dibantu majikannya mengambil kursus manajemen, sehingga kedudukannya bisa naik. Yang membuat betah para hobbit memang hubungan baik dan bantuan cukup besar yang diberikan majikan. Setiap pegawai diberi tempat tinggal cuma-cuma, makan cuma-cuma, di samping tentunya kesempatan bergaul dengan sesama cebol. Selama jam kerja pegawai pria diberi barong tagalog, kemeja khas Filipina. Untuk peristiwa khusus mereka mengenakan kaus oblong Hobbit House. Di samping itu mengumpulnya para cebol di satu tempat rupanya memudahkan orang-orang tertentu--produser film, misalnya --untuk menghubungi mereka jika memerlukan. Theresa Reyes, wanita 27 tahun dengan tinggi tak sampai 1,50 meter, adalah salah seorang pelayan Hobbit House yang pernah main film. Kawan bermainnya tak tanggung-tanggung, bintang Hollywood terkenal Peter Fonda, dalam film Dance with a Dwaff. Untuk film itu ia bekerja tiga hari seminggu, dan malam harinya di Hobbit House. Pendapatannya dari film kurang lebih Rp 6.800 (sehari?) dan telah ikut main dalam tiga film lagi. Ia tahu Hobbit House dari sebuah majalah setempat. Dan begitu tiba di restoran itu, ia "merasa bahagia, karena ketemu rekan-rekan senasib." Jim Turner membangun Hobbit House ini delapan tahun yang lalu. Biasanya ia duduk mengawasi para tamu dan anak buahnya di kursi dekat ujung bar di tingkat dua. Ia maklum kalau orang-orang cebol itu senang di sana. "Mereka semua punya mata pencaharian, dan keadaannya jauh lebih baik dari banyak orang lain di Manila. Lagi pula saya memperlakukan mereka secara adil," katanya. Meski ia mencoba menyembunyikan sikap kebapakannya terhadap orang-orang cebol itu, suaranya yang serak-serak basah menunjukkan sifatnya yang hangat. "Tiap pegawai dapat libur dua malam dalam seminggu. Sebagian lagi ada yang kerja hanya di waktu mereka suka. Jika terlibat kontrak film atau kegiatan sejeriis, mcreka boleh libur. Dalam urusan seperti itu kami tak begitu ketat." Memang, sebagian besar cebol itu sudah main film. Si penjaga pintu Manuel malah sudah membintangi lebih dari 20 film. Kelakarnya menyambut tamu sudah cukup terkenal, karena itu pula tempatnya di pintu masuk. Untuk buka restoran tiap malam, menurut Jim, diperlukan paling sedikit 10 orang cebol: seorang penjaga pintu, beberapa orang yang menjual kaus oblong kepada tamu, sejumlah pelayan wanita dan pria. Di dapur ada enam wanita juru masak, dua pengatur umum dan empat pesuruh. "Suasananya lebih merupakan keluarga di sini," kata Jim lagi. "Kami tak terlalu pusing siapa mengerjakan apa. Yang penting semunya lancar." Ngobrol dengan Jim Turner, si wartawan minum bir San Miquel buatan Filipina itu. Acara minum bir ini sudah merupakan kebiasaan di Hobbit House. Pengeluaran terbesar bagi Jim ialah gaji pegawai. Ini sekitar 40%. Untuk honor para penyanyi, tiap tamu dikenai music charge Rp 850. Secara tetap Jim mengetes penyanyi baru dan dari restorannya itu telah diorbitkan beberapa bintang rekaman. Honor penyanyi menghabiskan 30% anggaran restoran. Demikian pula biaya listrik dan air conditioning, cukup besar. Sewa tempat Rp 682.000 sebulan, artifya 20% anggaran. Tapi Jim tak begitu menghiraukan berapa banyak uang masuk Yang penting semua pengeluaran liis terbayar. Jim sudah tinggal di Filipina 20 tahun la datang bersama kelompok pertama Korps Perdamaian, sebagai guru bahasa Inggris. Kemudian mengajar Sejarah dan llmu Politik di Manila untuk Universitas Yesuit. Ketika berlaku undang-undang darurat perang, saya menganggur," tuturnya. "Saya tak bisa lagi mengajar Ilmu Politik sesudah itu. Lalu kami memutuskan membuka sebuah tempat yang unik, dan mencari orang-orang cebol. Mula-mula hanya berupa sebuah tempat di mana kami bisa makan dan datang. Tentu saja saya dibantu rekan-rekan Filipina." Dongeng trilogi Tolkien telah dibacanya tiga atau empat kali. Ia menganggap ceritanya bagus, tapi tak lebih dari itu. Ia pun tak merasa dirinya salah satu tokoh manusia normal dalam dongeng itu, meski dongeng tersebut memang telah mengilhami restorannya. Ketika sedang ngobrol seekor anjing putih berbulu kasar meliuk-liuk di kakinya. Ternyata ia punya sembilan atau sepuluh anjing di rumahnya, semuanya pemberian orang. Ia termasuk orang yang tak sampai hati untuk mengusir anjing tak bertuan yang datang ke rumahnya. Di depan Hobbit House ada tiga calesa, kereta kuda yang sengaja ditempatkan Jim. Dimulai tahun lalu untuk memikat turis dengan mengantar pulang mereka ke hotel setelah makan llham kereta kuda ini diperoleh dari masa kanak Jim, ketika ia bersama kakeknya berlibur di Irlandia beberapa kali di musim panas. Mereka mengelilingi pedesaan di selatan Irlandia dengan kereta kuda. "Kuda selalu tak lupa jalan yang sudah dikenalnya, jadi kita tak perlu membimbingnya selama perjalanan." Menurut Jim 50% tamunya terdiri dari para turis dan 50% lagi orang Filipina yang bekerja di Manila. Restoran itu dibuka mula-mula sebagai tempat pertunjukan musik rakyat, tapi kini segala macam musik ada: rock and roll, blues, country dan western. Mulanya semata-mata usaha komersial, "tapi setelah ber jalan banyak turis yang memuji apa yang kami lakukan untuk orang-orang cebol," kata Jim. Perry Berry, manajer restoran yang berusia 25 tahun dan tingginya kurang lebih 1,50 meter, ditanya bagaimana rasanya jadi orang cebol. Sambil tersenyum ia menjawab: "Keluarga saya memanjakan saya karena saya cebol. Apa saja keinginan saya mereka penuhi. Saya memperoleh terlalu banyak kasih-sayang dan perhatian." Baru pada usia 16 Perry untuk pertama kali melihat orang lain yang senasib. Ia terkejut setelah berbicara dengan orang tersebut, dan menyadari bagaimana perlakuan dunia normal terhadap orang seperti dia. "Yang kami minta hanya agar orang lain menghargai kami secara wajar," katanya. "Mereka harus melihat bagaimana kami memperlakukan diri kami sendiri dan menilai diri berdasar kemampuan. Sakit rasanya melihat dunia normal menuding-nuding dan memperolok-olokkan kami. Orang-orang itu gila, tentunya." Menurut Perry, orang cebol yang pertama datang ke restorannya akan terkejut. Tetapi setelah datang lagi, ia merasa menemukan dunianya dan sahabatnya. Tentang tamu-tamu yang datang untuk pertama kali, "umumnya gembira melihat kami. Mereka bersyukur kami bisa kumpul dan mengurus diri bersama-sama. Sikap ini membuat kami merasa seperti orang normal." Perry punya banyak hal yang bisa dibanggakan. Ia sudah menikah dengan wanita cebol, tapi anaknya lahir normal. Ia masih tetap berambisi untuk jadi penyanyi. Ia berkenalan dengan istrinya, Jovina yang sedikit lebih tinggi dari dia, ketika sedang menyanyi di Jakarta. Di luar Hobbit House ia punya usaha sendiri, berpatungan dengan beberapa orang. Usaha tersebut, dalam urusan antar barang dan distribusi majalah, mempekerjakan 22 pegawai -- semuanya orang bertubuh normal. Tiga tahun lalu Perry lulus dari kursus dagang selama enam bulan. Biaya kursus ditanggung sepenuhnya oleh Jim Turner. Berdasar taksiran Perry, restorannya itu berpenghasilan 5.000 sampai 6.000 pesos setiap malam (lebih kurang Rp 511.500). "Tapi jumlah ini tak seberapa artinya dibanding dengan 45 pegawai yang harus digaji." Terhadap para tamu, orang-orang cebol ini cukup besar pengaruhnya. Kata Perry: "Para langganan datang kemari karena sikap kami yang ramah. Mereka tak bisa banyak ulah karena kami cebol. Kami memang cebol, tapi kami juga tak suka keributan." Jim Turner membenarkan: "Orang yang suka mengganggu orang cacat, atau para pemabuk, memang segan datang ke sini." Apa yang jadi impian orang-orang kate ini? Perry Berry sendiri sudah lama mendambakan akan bisa punya usaha sendiri yang sudah dimulainya. "Kini saya ingin membuktikan kepada diri sendiri, saya bisa nyopir mobil seperti orang normal," katanya. Mungkin ia harus punya mobil khusus yang dilengkapi alat pengatur yang digerakkan dengan tangan, bukan dengan kaki. Perry tak akan pernah bisa melupakan Hobbit House, dan ia masih memimpikan berdirinya Perhimpunan Internasional Restoran Orang Cebol. Impian itu nampaknya bukan tak mungkin terwujud. Perry sendiri sudah mengorganisasi 60 orang cebol dalam suatu himpunan. Jim Turner sedang menghubungi Singapura tentang kemungkinan buka cabang, kata Saturnino "Johnny" Moldero, yang tinggi semampai, dan rekan patungan Jim di Hobbit House selama delapan tahun. Hobbit House sebenarnya sudah dibuka di tujuh tempat di Filipina, tapi tinggal tiga yang bisa jalan. Yang di Baguio, sebelah utara Manila, terpaksa tutup karena soal izin. Johnny mengajak orang-orang cebol itu mendatangi Dewan Kota Baguio, mengajukan protes, tapi tak berhasil. Alasannya, bahwa pencabutan izin itu akan menyebabkan orang-orang cebol-yang dikatakannya sebagai 'orang cacal '--kehilangan mata pencaharian, ditolak. Tapi Johnny masih tetap optimistis Hobbit House akan berkembang. Orang-orang cebol yang bekerja di restorannya itu sudah merasa sebagai satu keluarga besar. Dan ini gampang menarik pendatang baru yang cebol. Sedang bagi orang 'besar (berukuran normal) yang baru kenal, restoran itu tetap merupakan tempat yang tak ada duanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus