NOTA kuali", julukan Kota Sawahlunto yang dikelilingi bukit,
masih kelam diliputi kabut. Sebagian duduk masih lelap tidur
berkelambu udara dingin. Tapi para buruh Tambang Batubara
Ombilin (TBO) pada saat-saat seperti itu sudah harus
meninggalkan rumah masing-masing. Sebab pukul 05.00 pagi mereka
harus berada di pinggir jalan tempat menunggu bis yang membawa
para pekerja itu ke lokasi penambangan.
Menyelusuri jalan sepanjang 7 km di luar Kota Sawahlunto,
mengikuti liku-liku di lereng pebukitan, bis karyawan TBO itu
sampai di sebuah areal sekitar 4 km2. Beberapa bangunan yang
dikitari tanah lapang yang luas dengan beberapa buldozer mulai
tampak. Bangunan-bangunan itu adalah kantor penambangan TBO.
Tapi di ujung sana, di kaki bukit, dua buah terowongan menganga
seperti selalu siap menelan apa pun yang ada di depannya. Salah
satu dari terowongan itu ada yang mencapai 5 km ke perut bukit.
Di halaman kantor, sekitar 1.500 buruh tambang itu pun
menyebar. Ada yang langsung menujun lapangan luas, tempat
penambangan terbuka yang memakai buldozer-buldozer. Ratusan
buruh lainnya mendekati mulut terowongan. Tapi para pekerja
itu sudah sulit dikenali. Sebab semua sudah mengenakan celana
monyet dengan kantung mengembung karena berisi rantang nasi,
memakai helm yang ditempeli senter, bersepatu lars serta masker.
Masing-masing juga menyandang kantung tempat baterai senter.
Sebelum memasuki terowongan, petugas keamanan mengabsen para
pekerja. Semua peralatan yang mereka bawa juga dicatat. ukul
07.00. Selesai semuanya. Mereka pun merayap bagai semut, di
tengah kilatan-kilatan lampu senter menuju tempat bekerja
masing-masing di dalam tanah itu. "Setiap hari begitu, jarang
sempat menikmati matahari pagi dan siang -- tapi hari selalu
terasa sangat singkat," tutur Supangat salah seorang pekerja di
terowongan tambang TB0 itu. Jam kerja di TB0 berakhir pada pukul
14.00.
Tapi 17 tahun bekerja di bawah tanah, tidak membuat Supangat, 40
tahun, bosan. Malahan, kata laki-laki tamatan SMP di Purwokerto,
Jawa Tengah itu, "di dalam lubang sana tak ada godaan." Kalau
sudah memasuki lubang terowongan, para pekerja memang enggan
keluar jika belum waktunya pulang. Kalaupun harus meninggalkan
dunia di bawah tanah itu, hanya untuk suatu keperluan mendesak,
misalnya menukar batu baterai senter. Makan siang mereka
berlangsung di dalam terowongan. Istirahat 15 menit untuk
menikmati sebuah telur yang dibagi-bagikan juga di perut bumi.
Udara segar di dalam terowongan itu memang cukup rupanya. Sebuah
alat selalu menghembuskan angin berkekuatan tinggi dari pintu
masuk, lembus melalui sebuah lubang di pinggir Surgai Ombilin.
"Karena itu, udara dalam terowongan tidak begitu pengap atau
panas," ucap-Supangat, ayah empat anak.
Supangat adalah salah seorang mandor di TBO yang membawahkan 40
pekerja. Ia mengontrol kerja anak buahnya hanya dengan senter.
Bila ada perkelahian atau bahaya, seperti tanah longsor atau
gas beracun, dapat ia ketahui dari nyala senter pekerja lainnya.
Karena, menurut laki-laki itu, pada jarak 5 meter saja suara
panggilan sulit terdengar. "Jadi cukup dengan nyala senter untuk
segala keperluan," kata Supangat pula.
Selama sekian belas tahun bergulung di bawah permukaan bumi,
Supangat mengaku tak pernah mengalami kecelakaan. Selain karena
semua pekerja selalu mendapat peringatan agar berhati-hati,
juga, katanya, setiap sudut bumi yang akan digali sebelumnya
sudah dideteksi petugas penyelamatan. Bila Supangat sendiri tak
menyaksikan pendeteksian itu, ia selalu mencegah anak buahnya
terjun.
Para pekerja tambang batubara itu sudah mengenal tanda-tanda
bahaya itu kalaupun akhirnya muncul juga. Gas beracun, misalnya,
segera dapat dihindari begitu tercium bau telur busuk. Tanah
longsor: bila terdengar suara seperti gerimis. "Bila ada
tanda-tanda itu, kami segera menghindarkan diri," kata Supangat
lagi.
Mandor berstatus pegawai negeri golongan II A itu mengaku tak
pernah sakit berat selama bekerja di tambang itu. Katanya, kalau
sedikit saja merasa tak enak badan atau keluarganya jatuh sakit,
poliklinik TBO siap mengobati. "Semua biaya ditanggung
perusahaan," tambahnya. Tapi ketika ditanyakan cukup atau tidak
gajinya yang Rp 96.000 plus 94 kg beras, Supangat hanya
tersenyum-senyum.
Di TBO Sawahlunto, batubara berada pada lapisan setelah lapisan
batu-batuan yang cukup keras. Untuk menghindari bahaya longsor,
pada bagian-bagian yang baru dibuka atau dikorek, selalu dipa
sang kayu-kayu penyangga. Menurut Supangat, terowongan itu
berliku-liku, mendaki, menurun--sesuai dengan arah penambangan.
"Agar tidak tersesat kami selalu sedia peta," ungkap Supangat.
Salah seorang yang bertugas mema sang kayu penyangga adalah
Lasim. Laki-laki berusia 45 tahun ini, sudah menghabiskan 20
tahun usianya di dalam lubang tambang batubara. "Karena itu
sekarang saya tak tahan lama kena sinar matahari," ia mengaku.
Dari dulu sampai sekarang tugasnya memasang kayu-kayu penyangga.
Alat kerjanya yang utama adalah kapak, untuk memotong ataupun
mematok penyangga.
Bapak lima anak itu mengaku tak punya pengalaman istimewa selama
menjalankan tugasnya. Hanya, tuturnya, satu ketika lampu
senternya kurang sinar. Teman-temannya bekerja di tempat yang
agak berjauhan. Selesai memasang pengaman, ia meraba-raba
mencari temannya. "Gelap dan sepi sekali waktu itu -- perasaan
saya agak waswas," katanya.
Pada sebuah tikungan ia melihat satu sosok bayangan. Ia
memanggil, karena menduga salah seorang temannya. Tapi tak
terdengar sahutan. Ia mengira, tentulah itu onggokan batubara
yang siap diangkut dengan gerobak ke luar. Namun karena masih
ada perasaan waswas ia lempari sosok itu dengan batu. Tiba-tiba
Lasim mendengar suara mengaduh. Dan memang benar, itu salah
seorang temannya yang rupanya sedang buan air kecil.
Menurut laki-laki bertubuh pendek itu di dalam terowongan memang
suli dibedakan antara manusia dan batu kecuali bila senter
benar-benar didekat kan. Lagi pula, bila manusia, siap orang
itu juga tak mudah dikenali Sebab sekujur tubuh penuh debu,
sementara mulut dan hidung tertutu masker.
Sebagai pegawai bergolongan I-A dengan gaji Rp 45.000 ditambah
beras 76 kg, Lasim termasuk buruh yan merasa hidupnya segelap
terowongan tempat dia bekerja. "Coba kalau istri saya tidak!
berjualan, mana mungkin anak saya yang tertua dapat belajar
terus di SMA," katanya. Satu-satunya yang ia banggakan adalah
anak tertuanya itu, "dan saya sudah punya rumah sendiri."
Para pekerja terowongan terdiri dari beberapa bagian. Seperti
tukang gali, pengaman, tukang indang (pemuat batubara ke dalam
gerobak sebelum diangkut dengan lori ke luar). Tapi pekerja yang
paling penuh tantangan adalah tukang tembak, yaitu petugas yang
meledakkan dinamit untuk membongkar bagian bumi yang
berbatubara.
Karim adalah salah seorang tukang tembak di TBO sejak 13 tahun
lalu. Setiap hari laki-laki tamatan SD itu memasuki terowongan
sambil menenteng bahan peledak dan alat mengebor. Dia adalah
orang pertama yang menjamah sudut-sudut baru yang hendak
dibongkar di perut bumi itu: membuat beberapa lubang dengan bor,
meletakkan dinamit, menyulut sumbunya sambil berteriak
sekuat-kuatnya "awaaas" untuk memperingatkan kavan-kawannya.
Dan bila selesai satu ledakan, teman-temannya yang lain pun
berdatangan memasang penyangga agar aman dan selanjutnya
mengeruk kepingan-kepingan batu hitam itu. Maka Karim, 3 3
tahun, pun beranjak untuk mengebor di tempat lain.
Setiap hari paling sedikit lima kali laki-laki bertubuh kekar
itu menembak. Sebanyak itu pula ia berteriak "awaaaas" kepada
teman-temannya dengan suara sekeras mungkin. Ia mengaku selama
bertugas sebagai juru tembak belum pernah mengalami kecelakaan.
"Yang penting harus selalu tenang dan melakukan semuanya dengan
hati-hati," tutur bapak lima anak itu.
Untuk tugasnya sebagai tukang tembak Karim mendapat tunjangan
khusus Rp 8.500 sebulan. Walaupun demikian, dengan gaji Rp
41.500 ditambah 84 kg beras, Karim merasa nafkah keluarganya
selalu terancam. Karena itu setiap pulang kerja, ia masih harus
terjun ke ladangnya. "Itulah satu-satunya cara saya mencari
tambahan nafkah," ungkap putra seorang bekas buruh TBO itu.
Kesehatan dan perumahan (meskipun sebagian ada yang sudan
memiliki rumah sendiri) yang disediakan TBO memang sudah dapat
dinikmati para pekerja dengan cukup. Tapi akhir-akhir ini ada
keluhan mereka: tentang sekolah. "Anak-anak makin besar, biaya
sekolah tambah tinggi," kata seorang pekerja yang tak mau
disebutkan namanya, "dan untuk meringankan beban sebaiknya juga
mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak karyawan TBO." Dan
itu, menurut seorang pekerja lainnya, tak sulit bagi perusahaan.
"Sebab produksi batubara sekarang jauh meningkat, ada lagi
permintaan dari luar negeri," kata pekerja itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini