Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Orang-orang di bawah tanah

Para buruh tambang batu bara ombilin (tbo) di sawah lunto jarang menikmati matahari pagi, semua berlangsung di kegelapan. (sd)

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NOTA kuali", julukan Kota Sawahlunto yang dikelilingi bukit, masih kelam diliputi kabut. Sebagian duduk masih lelap tidur berkelambu udara dingin. Tapi para buruh Tambang Batubara Ombilin (TBO) pada saat-saat seperti itu sudah harus meninggalkan rumah masing-masing. Sebab pukul 05.00 pagi mereka harus berada di pinggir jalan tempat menunggu bis yang membawa para pekerja itu ke lokasi penambangan. Menyelusuri jalan sepanjang 7 km di luar Kota Sawahlunto, mengikuti liku-liku di lereng pebukitan, bis karyawan TBO itu sampai di sebuah areal sekitar 4 km2. Beberapa bangunan yang dikitari tanah lapang yang luas dengan beberapa buldozer mulai tampak. Bangunan-bangunan itu adalah kantor penambangan TBO. Tapi di ujung sana, di kaki bukit, dua buah terowongan menganga seperti selalu siap menelan apa pun yang ada di depannya. Salah satu dari terowongan itu ada yang mencapai 5 km ke perut bukit. Di halaman kantor, sekitar 1.500 buruh tambang itu pun menyebar. Ada yang langsung menujun lapangan luas, tempat penambangan terbuka yang memakai buldozer-buldozer. Ratusan buruh lainnya mendekati mulut terowongan. Tapi para pekerja itu sudah sulit dikenali. Sebab semua sudah mengenakan celana monyet dengan kantung mengembung karena berisi rantang nasi, memakai helm yang ditempeli senter, bersepatu lars serta masker. Masing-masing juga menyandang kantung tempat baterai senter. Sebelum memasuki terowongan, petugas keamanan mengabsen para pekerja. Semua peralatan yang mereka bawa juga dicatat. ukul 07.00. Selesai semuanya. Mereka pun merayap bagai semut, di tengah kilatan-kilatan lampu senter menuju tempat bekerja masing-masing di dalam tanah itu. "Setiap hari begitu, jarang sempat menikmati matahari pagi dan siang -- tapi hari selalu terasa sangat singkat," tutur Supangat salah seorang pekerja di terowongan tambang TB0 itu. Jam kerja di TB0 berakhir pada pukul 14.00. Tapi 17 tahun bekerja di bawah tanah, tidak membuat Supangat, 40 tahun, bosan. Malahan, kata laki-laki tamatan SMP di Purwokerto, Jawa Tengah itu, "di dalam lubang sana tak ada godaan." Kalau sudah memasuki lubang terowongan, para pekerja memang enggan keluar jika belum waktunya pulang. Kalaupun harus meninggalkan dunia di bawah tanah itu, hanya untuk suatu keperluan mendesak, misalnya menukar batu baterai senter. Makan siang mereka berlangsung di dalam terowongan. Istirahat 15 menit untuk menikmati sebuah telur yang dibagi-bagikan juga di perut bumi. Udara segar di dalam terowongan itu memang cukup rupanya. Sebuah alat selalu menghembuskan angin berkekuatan tinggi dari pintu masuk, lembus melalui sebuah lubang di pinggir Surgai Ombilin. "Karena itu, udara dalam terowongan tidak begitu pengap atau panas," ucap-Supangat, ayah empat anak. Supangat adalah salah seorang mandor di TBO yang membawahkan 40 pekerja. Ia mengontrol kerja anak buahnya hanya dengan senter. Bila ada perkelahian atau bahaya, seperti tanah longsor atau gas beracun, dapat ia ketahui dari nyala senter pekerja lainnya. Karena, menurut laki-laki itu, pada jarak 5 meter saja suara panggilan sulit terdengar. "Jadi cukup dengan nyala senter untuk segala keperluan," kata Supangat pula. Selama sekian belas tahun bergulung di bawah permukaan bumi, Supangat mengaku tak pernah mengalami kecelakaan. Selain karena semua pekerja selalu mendapat peringatan agar berhati-hati, juga, katanya, setiap sudut bumi yang akan digali sebelumnya sudah dideteksi petugas penyelamatan. Bila Supangat sendiri tak menyaksikan pendeteksian itu, ia selalu mencegah anak buahnya terjun. Para pekerja tambang batubara itu sudah mengenal tanda-tanda bahaya itu kalaupun akhirnya muncul juga. Gas beracun, misalnya, segera dapat dihindari begitu tercium bau telur busuk. Tanah longsor: bila terdengar suara seperti gerimis. "Bila ada tanda-tanda itu, kami segera menghindarkan diri," kata Supangat lagi. Mandor berstatus pegawai negeri golongan II A itu mengaku tak pernah sakit berat selama bekerja di tambang itu. Katanya, kalau sedikit saja merasa tak enak badan atau keluarganya jatuh sakit, poliklinik TBO siap mengobati. "Semua biaya ditanggung perusahaan," tambahnya. Tapi ketika ditanyakan cukup atau tidak gajinya yang Rp 96.000 plus 94 kg beras, Supangat hanya tersenyum-senyum. Di TBO Sawahlunto, batubara berada pada lapisan setelah lapisan batu-batuan yang cukup keras. Untuk menghindari bahaya longsor, pada bagian-bagian yang baru dibuka atau dikorek, selalu dipa sang kayu-kayu penyangga. Menurut Supangat, terowongan itu berliku-liku, mendaki, menurun--sesuai dengan arah penambangan. "Agar tidak tersesat kami selalu sedia peta," ungkap Supangat. Salah seorang yang bertugas mema sang kayu penyangga adalah Lasim. Laki-laki berusia 45 tahun ini, sudah menghabiskan 20 tahun usianya di dalam lubang tambang batubara. "Karena itu sekarang saya tak tahan lama kena sinar matahari," ia mengaku. Dari dulu sampai sekarang tugasnya memasang kayu-kayu penyangga. Alat kerjanya yang utama adalah kapak, untuk memotong ataupun mematok penyangga. Bapak lima anak itu mengaku tak punya pengalaman istimewa selama menjalankan tugasnya. Hanya, tuturnya, satu ketika lampu senternya kurang sinar. Teman-temannya bekerja di tempat yang agak berjauhan. Selesai memasang pengaman, ia meraba-raba mencari temannya. "Gelap dan sepi sekali waktu itu -- perasaan saya agak waswas," katanya. Pada sebuah tikungan ia melihat satu sosok bayangan. Ia memanggil, karena menduga salah seorang temannya. Tapi tak terdengar sahutan. Ia mengira, tentulah itu onggokan batubara yang siap diangkut dengan gerobak ke luar. Namun karena masih ada perasaan waswas ia lempari sosok itu dengan batu. Tiba-tiba Lasim mendengar suara mengaduh. Dan memang benar, itu salah seorang temannya yang rupanya sedang buan air kecil. Menurut laki-laki bertubuh pendek itu di dalam terowongan memang suli dibedakan antara manusia dan batu kecuali bila senter benar-benar didekat kan. Lagi pula, bila manusia, siap orang itu juga tak mudah dikenali Sebab sekujur tubuh penuh debu, sementara mulut dan hidung tertutu masker. Sebagai pegawai bergolongan I-A dengan gaji Rp 45.000 ditambah beras 76 kg, Lasim termasuk buruh yan merasa hidupnya segelap terowongan tempat dia bekerja. "Coba kalau istri saya tidak! berjualan, mana mungkin anak saya yang tertua dapat belajar terus di SMA," katanya. Satu-satunya yang ia banggakan adalah anak tertuanya itu, "dan saya sudah punya rumah sendiri." Para pekerja terowongan terdiri dari beberapa bagian. Seperti tukang gali, pengaman, tukang indang (pemuat batubara ke dalam gerobak sebelum diangkut dengan lori ke luar). Tapi pekerja yang paling penuh tantangan adalah tukang tembak, yaitu petugas yang meledakkan dinamit untuk membongkar bagian bumi yang berbatubara. Karim adalah salah seorang tukang tembak di TBO sejak 13 tahun lalu. Setiap hari laki-laki tamatan SD itu memasuki terowongan sambil menenteng bahan peledak dan alat mengebor. Dia adalah orang pertama yang menjamah sudut-sudut baru yang hendak dibongkar di perut bumi itu: membuat beberapa lubang dengan bor, meletakkan dinamit, menyulut sumbunya sambil berteriak sekuat-kuatnya "awaaas" untuk memperingatkan kavan-kawannya. Dan bila selesai satu ledakan, teman-temannya yang lain pun berdatangan memasang penyangga agar aman dan selanjutnya mengeruk kepingan-kepingan batu hitam itu. Maka Karim, 3 3 tahun, pun beranjak untuk mengebor di tempat lain. Setiap hari paling sedikit lima kali laki-laki bertubuh kekar itu menembak. Sebanyak itu pula ia berteriak "awaaaas" kepada teman-temannya dengan suara sekeras mungkin. Ia mengaku selama bertugas sebagai juru tembak belum pernah mengalami kecelakaan. "Yang penting harus selalu tenang dan melakukan semuanya dengan hati-hati," tutur bapak lima anak itu. Untuk tugasnya sebagai tukang tembak Karim mendapat tunjangan khusus Rp 8.500 sebulan. Walaupun demikian, dengan gaji Rp 41.500 ditambah 84 kg beras, Karim merasa nafkah keluarganya selalu terancam. Karena itu setiap pulang kerja, ia masih harus terjun ke ladangnya. "Itulah satu-satunya cara saya mencari tambahan nafkah," ungkap putra seorang bekas buruh TBO itu. Kesehatan dan perumahan (meskipun sebagian ada yang sudan memiliki rumah sendiri) yang disediakan TBO memang sudah dapat dinikmati para pekerja dengan cukup. Tapi akhir-akhir ini ada keluhan mereka: tentang sekolah. "Anak-anak makin besar, biaya sekolah tambah tinggi," kata seorang pekerja yang tak mau disebutkan namanya, "dan untuk meringankan beban sebaiknya juga mendirikan sekolah khusus untuk anak-anak karyawan TBO." Dan itu, menurut seorang pekerja lainnya, tak sulit bagi perusahaan. "Sebab produksi batubara sekarang jauh meningkat, ada lagi permintaan dari luar negeri," kata pekerja itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus