Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Petani dan negara

Masyarakat desa atau petani dapat dikatakan lebih tua daripada negara. negara, menurut ilmu politik & sejarah, terbentuk karena ditaklukannya masyarakat petani lokal. sejak itu negara membebani mereka.

18 Desember 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETANI, menurut J.C. Scott, pengarang buku The Moral Economy of The Peasant yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia itu, hidup dalam keadaan substansi atau pas-pasan. Ibaratnya orang yang terendam dalam air sampai bibirnya: ombak kecil saja pada permukaan air kan menyebabkan dia tenggelam. Dengan kata lain, bagi petani, ancaman kelaparan, gagalnya panen, musim kemarau panjang, dan lain-lain, adalah ancaman nyata, yang dapat menyebabkan bubarnya dia sebagai manusia produktif. 150 sampai 200 tahun yang lalu Jepang dan negara-negara industri di Barat berada pada taraf perkembangan masyarakat yang sama seperti negara berkembang kini. Sebagian besar masyarakat mereka adalah petani pas-pasan. Sementara itu industrialisasi memerlukan konsentrasi modal, penguatan lembaga negara, pengerahan tenaga kerja untuk industri yang dibebaskan dari ,sektor agraria dan seterusnya. Entah apa itu industrialisasi, modernisasi ataupun pembangunan, dua abad ang lalu proses ini mengakibatkan pengorbanan besar para petani: proses itu dilakukan dengan membebankannya pada mereka. Di Indonesia pun kolonialisme dengan perkebunan dan unsur lain dari ekonomi kolonialnya didirikan atas pundak petani. Modal dikumpulkan negara kolonial melalui pajak atas petani. Tanah dan tenaga para petani dikerahkan untuk ekonomi perkebunan. Hasil agraria petani sendiri diberi harga serendah mungkin, guna menekan pembiayaan komoditi kolonial yang ditujukan pada pasaran dunia. Sebenarnya banyak orang sudah mengetahui mengenai ini, tetapi tidak memandang persoalan petani sebagai sesuatu yang penting. Pihak kanan biasanya melihat petani tidak nlmiliki kekuatan politis seperti umpamanya orang kota. Pandangan itu di Barat sedikit banyak diperkuat oleh Marx. Dalam pandangan ini, obsesi kaum petani itu hanyalah di sekitar pemilikan tanah. Mereka itu dianggap oportunis. Sikap mereka dalam politik seperti burjuis kecil, menunggu yang menang dan yang menguntungkan belaka. Pandangan Barat ini, yang melihat perkembangan hanya dengan fokus pada kota, lambat laun berubah setelah revolusi di Asia seperti di Cina, Indonesia, dan Vietnam yang dilihat punya basis masyarakat petani. Dari sini mulailah suatu perhatian para sarjana pada dunia petani. Kemudian dilihat, bahwa juga di Barat masyarakat petani pernah berperan. Bahkan seperti di Amerika Latin (khususnya Meksiko), pernah juga ada peran petani yang penting dalam politik. Ada dua garis penelitian mengenai petani. Yang pertama bersifat teoritis. Dalam penelitian semacam ini lebih banyak perhatian altekankan pada situasi apa yang dihadapi petani baik pada taraf nasional maupun internasional. Penelitian yang kedua bersifat penelitian lokal. Yakni mengenai keadaan para petani. Teori dalam hal kedua ini kurang menonjol. Ia digantikan oleh analisa keadaan. Banyak para sarjana yang meneliti persoalan petani menunjukkan sikap yang propetani. Ada simpati besar terhadap mereka yang biasanya dipandang sebagai korban "modernisasi" atau perkembangan sejarah. Sikap ini sedikit banyak melahirkan pandangan yang romantis tentang petani. Kalau dalam kitab-kitab suci ada cerita mengenai Adam dan Hawa dalam kehidupan tak berdosa di surga, sebelum dijatuhkan dalam dosa oleh iblis, maka para sarjana juga sering menempatkan para petani sebagai masyarakat asli yang belum dirusak, dikorupsi dan dibebani apa pun juga. Masyarakat itu hidup secara gotong royong dan saling bantu membantu. Dengan singkat, masyarakat desa atau petani dilihat sebagai sesuatu yang lebih tua dari negara. Negara, menurut ilmu politik dan sejarah, terbentuk karena ditaklukkannya masyarakat petani lokal. Sejak itu para petani dan desa dipengaruhi secara merugikan oleh negara yang membebani mereka. Juga oleh pasaran dunia yang mengguncangkan hasil desa. Dan oleh pembentukan golongan masyarakat yang menghancurkan solidaritas desa. Dan seterusnya. Reaksi petani terhadap perubahan sejarah itu lalu dikategorikan sebagai "kesadaran petani". Di Malaysia, misalnya, seorang pedagang kaya yang juga meminjamkan uang pada penduduk setempat dikenal oleh penduduk setempat sebagai "Pak Cetiar". Istilah "cetiar" adalah istilah yang dipakai untuk pengijon India di Malaysia. Dengan kata lain, dengan menamakan sang pribumi Haji sebagai ù'Pak Cetiar", penduduk petani setempat menjadikan orang itu sebagai orang asing. Itu sebenarnya mengungkapkan kesadaran para petani dan golongan rendahan akan keadaan masyarakat. Juga secara velbal menunjukkan sikap bermusuhan terhadap perkemhallgan tertentu, yang dilihatnya mengakibatkan pengisapan. Sentimen terhadap yang mengisap itu kadang tidak ditujuhan pada perorangan saja, tetapi juga terhadap bangunan atau pabrik. Secara tradisional bangunan besar seperti jembatan, candi, istana, jalan raya, ataupun pabrik (pabrik gula zaman Tanam-Paksa, misalnya), dilakukan melalui kerja rodi, yang menurut istilah lunaknya juga disebut kerja bakti. Kalau ada bangunan besar yang akan dibangun, maka timbullah di masyarakat setempat desas-desus bahwa bangunan yang akan dibuat itu akan memerlukan tumbal korban manusia, misalnya anak. Pada zaman kolonial Belanda yang memasuki desa yang di dekatnya akan dibangun pabrik, sering disambut oleh para ibu atau bapak petani sambil berteriak "Culik! Culik!" Artinya orang Belanda itu dianggap penculik anak yang mau dipakai sebagai tumbal. Sampai kini desas-desus mengenai diperlukannya tumbal atau korban manusia dapat menyebabkan penduduk mengungsi dari suatu desa ke tempat lain. Banyak orang sekarang mengecam sikap dan desas-desus itu sebagai takhyul dan kebodohan penduduk desa. Namun kini ada salama antropologi yang sebaliknya melihat hal itu sebagai semacam awal kesadaran petani tentang dieksploitasinya mereka bagi bangunan pabrik dan jembatannya. Kebanyakan petani yang hidup di negara berkembang hidup di bawah pemerintahan otoriter. Salah suatu negara Asia Tenggara yang demikian adalah Thailand. Perkembangan otorianisme itu banyak dibandingkan dengan suatu saat perkembangan negara dalam sejarah Eropa, yakni dari berakhirnya zaman feodal (Abad Pertengahan) sampai revolusi Prancis, yang dikenal dalam sejarah Barat sebagai absolutist state (negara mutlak) di abad ke-17 sampai akhir abad ke-18. Di zaman despotisme Barat ini, kekuasaan negara pusat jadi kuat dan kekuasaan lokal atau otonomi masyarakat banyak dikekang olehnya. Negara otoriter memiliki dominasi mutlak atas senjata, ideologi, dan alat-alat pemerintahan. Semua perkembangan masyarakat dikuasai, umpamanya melalui izin, peraturan, dan segala macam campur tangan negara dalam gerak masyarakat. Kadang-kadang demi kepentingan negara itu sendiri, elite lama, dan kadang-kadang demi kepentingan golongan swasta atasannya. Negara pun dapat mengasingkan, praktis mencabut kewarganegaraan warga yang tidak disukainya, umpamanya dengan mengecap dia "komunis", atau "subversi", yang di Eropa dalam abad ke-17 dan 18 dilakukan dengan menyatakan seorang sebagai bid'ah (heretic), dukun ilmu hitam, dan lain-lain. Tetapi negara otoriter ini jauh dari bersifat totaliter. Para sarjana justru melihat adanya banyak jalan keluar dari dominasi negara, mungkin justru karena sifat agrarisnya atau sifat alat penguasaannya yang setengah modern. Di samping ideologi resrni negara dan para pemimpin resmi, ada banyak alternatif lain bagi masyarakat. Dalam ideologi umpamanya ada takhyul mengenai tumbal manusia seperti dikatakan di atas, dan kepercayaan akan Ratu Adil. Ada juga agama. Di Asia Tenggara, seperti dilaporkan berbagai sarjana yang meneliti pemberontakan petani, dilihat munculnya para pemimpin jago, orang suci, ratu adil, dan sebagainya. Pun ada banyak golongan yang dapat melepaskan diri dari ikatan politik, umpamanya para vagabond (pengembara) yang terdapat sepanjang sejarah dan di mana-mana di Asia Tenggara. Tak selamanya alternatif-alternatif itu berhasil secara drastis jadi pengganti. Pemberontakan besar, baik di kota atau di desa, belum tentu dapat menjatuhkan suatu rezim ataupun mengguncangkannya. Pada akhir abad ke-18 misalnya, di Inggris ada jauh lebih banyak pemberontakan daripada di Prancis. Orang mengira bahwa rezim Inggris akan jatuh. Buktinya ia bertahan, dan justru rezim absolut di Prancis ditumbangkan oleh revolusi. Inggris berkembang dan negara mutlak dengan caranya sendiri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus