PETANI, menurut J.C. Scott, pengarang buku The Moral Economy of
The Peasant yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia
itu, hidup dalam keadaan substansi atau pas-pasan. Ibaratnya
orang yang terendam dalam air sampai bibirnya: ombak kecil saja
pada permukaan air kan menyebabkan dia tenggelam.
Dengan kata lain, bagi petani, ancaman kelaparan, gagalnya
panen, musim kemarau panjang, dan lain-lain, adalah ancaman
nyata, yang dapat menyebabkan bubarnya dia sebagai manusia
produktif.
150 sampai 200 tahun yang lalu Jepang dan negara-negara industri
di Barat berada pada taraf perkembangan masyarakat yang sama
seperti negara berkembang kini. Sebagian besar masyarakat mereka
adalah petani pas-pasan. Sementara itu industrialisasi
memerlukan konsentrasi modal, penguatan lembaga negara,
pengerahan tenaga kerja untuk industri yang dibebaskan dari
,sektor agraria dan seterusnya.
Entah apa itu industrialisasi, modernisasi ataupun pembangunan,
dua abad ang lalu proses ini mengakibatkan pengorbanan besar
para petani: proses itu dilakukan dengan membebankannya pada
mereka.
Di Indonesia pun kolonialisme dengan perkebunan dan unsur lain
dari ekonomi kolonialnya didirikan atas pundak petani. Modal
dikumpulkan negara kolonial melalui pajak atas petani. Tanah dan
tenaga para petani dikerahkan untuk ekonomi perkebunan. Hasil
agraria petani sendiri diberi harga serendah mungkin, guna
menekan pembiayaan komoditi kolonial yang ditujukan pada pasaran
dunia.
Sebenarnya banyak orang sudah mengetahui mengenai ini, tetapi
tidak memandang persoalan petani sebagai sesuatu yang penting.
Pihak kanan biasanya melihat petani tidak nlmiliki kekuatan
politis seperti umpamanya orang kota. Pandangan itu di Barat
sedikit banyak diperkuat oleh Marx. Dalam pandangan ini, obsesi
kaum petani itu hanyalah di sekitar pemilikan tanah. Mereka itu
dianggap oportunis. Sikap mereka dalam politik seperti burjuis
kecil, menunggu yang menang dan yang menguntungkan belaka.
Pandangan Barat ini, yang melihat perkembangan hanya dengan
fokus pada kota, lambat laun berubah setelah revolusi di Asia
seperti di Cina, Indonesia, dan Vietnam yang dilihat punya basis
masyarakat petani. Dari sini mulailah suatu perhatian para
sarjana pada dunia petani. Kemudian dilihat, bahwa juga di Barat
masyarakat petani pernah berperan. Bahkan seperti di Amerika
Latin (khususnya Meksiko), pernah juga ada peran petani yang
penting dalam politik.
Ada dua garis penelitian mengenai petani. Yang pertama bersifat
teoritis. Dalam penelitian semacam ini lebih banyak perhatian
altekankan pada situasi apa yang dihadapi petani baik pada taraf
nasional maupun internasional.
Penelitian yang kedua bersifat penelitian lokal. Yakni mengenai
keadaan para petani. Teori dalam hal kedua ini kurang menonjol.
Ia digantikan oleh analisa keadaan.
Banyak para sarjana yang meneliti persoalan petani menunjukkan
sikap yang propetani. Ada simpati besar terhadap mereka yang
biasanya dipandang sebagai korban "modernisasi" atau
perkembangan sejarah. Sikap ini sedikit banyak melahirkan
pandangan yang romantis tentang petani.
Kalau dalam kitab-kitab suci ada cerita mengenai Adam dan Hawa
dalam kehidupan tak berdosa di surga, sebelum dijatuhkan dalam
dosa oleh iblis, maka para sarjana juga sering menempatkan para
petani sebagai masyarakat asli yang belum dirusak, dikorupsi dan
dibebani apa pun juga. Masyarakat itu hidup secara gotong royong
dan saling bantu membantu.
Dengan singkat, masyarakat desa atau petani dilihat sebagai
sesuatu yang lebih tua dari negara. Negara, menurut ilmu politik
dan sejarah, terbentuk karena ditaklukkannya masyarakat petani
lokal. Sejak itu para petani dan desa dipengaruhi secara
merugikan oleh negara yang membebani mereka. Juga oleh pasaran
dunia yang mengguncangkan hasil desa. Dan oleh pembentukan
golongan masyarakat yang menghancurkan solidaritas desa. Dan
seterusnya. Reaksi petani terhadap perubahan sejarah itu lalu
dikategorikan sebagai "kesadaran petani".
Di Malaysia, misalnya, seorang pedagang kaya yang juga
meminjamkan uang pada penduduk setempat dikenal oleh penduduk
setempat sebagai "Pak Cetiar". Istilah "cetiar" adalah istilah
yang dipakai untuk pengijon India di Malaysia. Dengan kata lain,
dengan menamakan sang pribumi Haji sebagai ù'Pak Cetiar",
penduduk petani setempat menjadikan orang itu sebagai orang
asing.
Itu sebenarnya mengungkapkan kesadaran para petani dan golongan
rendahan akan keadaan masyarakat. Juga secara velbal menunjukkan
sikap bermusuhan terhadap perkemhallgan tertentu, yang
dilihatnya mengakibatkan pengisapan.
Sentimen terhadap yang mengisap itu kadang tidak ditujuhan pada
perorangan saja, tetapi juga terhadap bangunan atau pabrik.
Secara tradisional bangunan besar seperti jembatan, candi,
istana, jalan raya, ataupun pabrik (pabrik gula zaman
Tanam-Paksa, misalnya), dilakukan melalui kerja rodi, yang
menurut istilah lunaknya juga disebut kerja bakti. Kalau ada
bangunan besar yang akan dibangun, maka timbullah di masyarakat
setempat desas-desus bahwa bangunan yang akan dibuat itu akan
memerlukan tumbal korban manusia, misalnya anak.
Pada zaman kolonial Belanda yang memasuki desa yang di dekatnya
akan dibangun pabrik, sering disambut oleh para ibu atau bapak
petani sambil berteriak "Culik! Culik!" Artinya orang Belanda
itu dianggap penculik anak yang mau dipakai sebagai tumbal.
Sampai kini desas-desus mengenai diperlukannya tumbal atau
korban manusia dapat menyebabkan penduduk mengungsi dari suatu
desa ke tempat lain. Banyak orang sekarang mengecam sikap dan
desas-desus itu sebagai takhyul dan kebodohan penduduk desa.
Namun kini ada salama antropologi yang sebaliknya melihat hal
itu sebagai semacam awal kesadaran petani tentang
dieksploitasinya mereka bagi bangunan pabrik dan jembatannya.
Kebanyakan petani yang hidup di negara berkembang hidup di bawah
pemerintahan otoriter. Salah suatu negara Asia Tenggara yang
demikian adalah Thailand.
Perkembangan otorianisme itu banyak dibandingkan dengan suatu
saat perkembangan negara dalam sejarah Eropa, yakni dari
berakhirnya zaman feodal (Abad Pertengahan) sampai revolusi
Prancis, yang dikenal dalam sejarah Barat sebagai absolutist
state (negara mutlak) di abad ke-17 sampai akhir abad ke-18.
Di zaman despotisme Barat ini, kekuasaan negara pusat jadi kuat
dan kekuasaan lokal atau otonomi masyarakat banyak dikekang
olehnya. Negara otoriter memiliki dominasi mutlak atas senjata,
ideologi, dan alat-alat pemerintahan. Semua perkembangan
masyarakat dikuasai, umpamanya melalui izin, peraturan, dan
segala macam campur tangan negara dalam gerak masyarakat.
Kadang-kadang demi kepentingan negara itu sendiri, elite lama,
dan kadang-kadang demi kepentingan golongan swasta atasannya.
Negara pun dapat mengasingkan, praktis mencabut kewarganegaraan
warga yang tidak disukainya, umpamanya dengan mengecap dia
"komunis", atau "subversi", yang di Eropa dalam abad ke-17 dan
18 dilakukan dengan menyatakan seorang sebagai bid'ah (heretic),
dukun ilmu hitam, dan lain-lain.
Tetapi negara otoriter ini jauh dari bersifat totaliter. Para
sarjana justru melihat adanya banyak jalan keluar dari dominasi
negara, mungkin justru karena sifat agrarisnya atau sifat alat
penguasaannya yang setengah modern.
Di samping ideologi resrni negara dan para pemimpin resmi, ada
banyak alternatif lain bagi masyarakat. Dalam ideologi umpamanya
ada takhyul mengenai tumbal manusia seperti dikatakan di atas,
dan kepercayaan akan Ratu Adil. Ada juga agama.
Di Asia Tenggara, seperti dilaporkan berbagai sarjana yang
meneliti pemberontakan petani, dilihat munculnya para pemimpin
jago, orang suci, ratu adil, dan sebagainya. Pun ada banyak
golongan yang dapat melepaskan diri dari ikatan politik,
umpamanya para vagabond (pengembara) yang terdapat sepanjang
sejarah dan di mana-mana di Asia Tenggara.
Tak selamanya alternatif-alternatif itu berhasil secara drastis
jadi pengganti. Pemberontakan besar, baik di kota atau di desa,
belum tentu dapat menjatuhkan suatu rezim ataupun
mengguncangkannya. Pada akhir abad ke-18 misalnya, di Inggris
ada jauh lebih banyak pemberontakan daripada di Prancis. Orang
mengira bahwa rezim Inggris akan jatuh. Buktinya ia bertahan,
dan justru rezim absolut di Prancis ditumbangkan oleh revolusi.
Inggris berkembang dan negara mutlak dengan caranya sendiri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini