Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
RAPAT kabinet terbatas di Kantor Presiden pada 16 Maret lalu diselingi protes Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said. Penyebabnya, Deputi Kepala Staf Kepresidenan Darmawan Prasodjo mengomentari paparan yang baru selesai ia sampaikan. Darmawan kemudian bahkan memberikan presentasi mengenai Blok Mahakam dalam rapat para menteri yang dipimpin Presiden Joko Widodo itu.
Begitu pertemuan usai, Sudirman mendekati dan menyalami Darmawan. "We need to talk. Ini soal tata krama," seorang saksi menceritakan peristiwa itu. Menurut pejabat itu, rapat kabinet semestinya hanya untuk presiden, menteri, dan pejabat setingkat menteri. "Bukan staf," ujarnya.
Rapat siang itu antara lain membahas pengelolaan ladang gas terbesar di delta Sungai Mahakam, Kalimantan Timur, tersebut. Setiap hari, dari sumur-sumur di blok ini dihasilkan gas sekitar 1,6 miliar kaki kubik, plus kondensat 67 kilo barel setara minyak. Wilayah kerja itu sejak 1967 dioperasikan Total E&P Indonesie, perusahaan minyak dan gas asal Prancis, dengan kepemilikan 50 persen. Separuhnya lagi dikuasai perusahaan minyak dan gas asal Jepang, Inpex Corporation. Kontrak kerja mereka akan selesai pada akhir 2017.
Dua tahun sebelum kontrak itu berakhir, setiap pembicaraan di pemerintah tentang Mahakam dan perusahaan yang bakal meneruskannya makin sensitif. Berbagai pihak dan kepentingan berlomba meyakinkan pemerintah agar bisa ambil bagian dalam pengelolaan blok yang menjanjikan "rezeki" jumbo itu. Mereka menawarkan berbagai usul dan skenario.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral pun telah merancang pengelolaan Blok Mahakam pasca-2017 sejak November tahun lalu. Sudirman membentuk Unit Pengendali Kinerja Kementerian Energi yang dipimpin Widhyawan Prawiraatmadja, mantan Deputi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi atau SKK Migas. Salah satu tugas pokoknya meninjau ulang 19 kontrak kerja sama blok minyak dan gas yang akan berakhir dua-tiga tahun ke depan, termasuk Blok Mahakam.
Persoalannya, Sudirman menjelaskan, tak ada protokol yang bisa digunakan sebagai acuan untuk memutuskan Mahakam. Kontrak tak mengatur mekanisme perlakuan atas wilayah kerja itu setelah kerja sama berakhir nanti. Hal serupa terjadi di blok migas di seluruh Tanah Air. "Tidak adanya aturan yang mendetail ini berpotensi menimbulkan penyelewengan."
Alternatifnya, begitu kontrak habis, pengelolaan bisa 100 persen diserahkan kepada PT Pertamina atau 100 persen kepada kontraktor yang ada sekarang. "Atau, kalau keduanya menolak, dilelang ulang." Idealnya, menurut Sudirman, aset negara harus dikembalikan kepada negara. Dan sinyal arah kebijakan tentang hal ini sudah mulai jelas tak lama setelah pemerintah baru Joko Widodo terbentuk, akhir Oktober tahun lalu. Sejak awal, Menteri Energi cenderung memilih menyerahkan pengelolaan Mahakam kepada PT Pertamina (Persero).
Kantor Staf Kepresidenan, yang dipimpin Luhut Binsar Panjaitan, ternyata membikin konsep sendiri. Luhut menjelaskan, konsep itu disusun secara intensif dalam sebulan terakhir. "Presiden yang meminta," katanya kepada Tempo, Senin dua pekan lalu. Ia pun memanggil dan meminta penjelasan Total dan Pertamina. Setidaknya masing-masing empat kali perwakilan dua perusahaan itu telah bertemu di kantor Luhut. Berbekal data dari Total dan Pertamina inilah Darmawan Prasodjo mempresentasikan skema yang diusulkan timnya dalam rapat kabinet terbatas itu.
Dalam konsep rancangan kantornya, Luhut menambahkan, Pertamina akan mengambil alih seluruh pengelolaan Mahakam. Selanjutnya, perusahaan minyak dan gas negara itu dipersilakan bernegosiasi dengan calon mitra. Dalam pertemuan, Luhut bercerita, Direktur Total meminta kepemilikannya dipertahankan pasca-2017, menjadi 35 persen. Semula Luhut menawarkan 20 persen saja, tapi akhirnya sepakat di angka 30 persen.
Yang membuat Sudirman kesal, dalam rapat itu muncul Darmawan menyatakan bersedia memfasilitasi dialog antara Total dan Pertamina.
PENGELOLAAN Blok Mahakam juga menjadi isu khusus pemerintah Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe. Ketika bertemu dengan Presiden Joko Widodo di kantornya, Kantei, Tokyo, pada 23 Maret lalu, Abe menyatakan sangat berharap pemerintah Indonesia memperpanjang kontrak kerja sama Inpex di Blok Mahakam.
Jepang sangat bergantung pada pasokan gas Mahakam. Tahun lalu, sedikitnya empat kargo (sekitar 500 metrik ton) gas alam cair atau LNG dari ladang gas di lepas pantai Kalimantan Timur itu dikapalkan ke Negeri Sakura.
Setiba di Tanah Air, Jokowi menyampaikan permintaan Abe kepada Sudirman, yang tak ikut rombongan lawatan Presiden ke Jepang. Menurut Sudirman, Abe tidak menyebutkan persentase kepemilikan Inpex yang hendak dipertahankan. "Dia mengatakan, 'Berapa persen pun kami hargai'," ujar Sudirman mengutip penjelasan Presiden Jokowi.
Bukan kali ini saja Inpex menyampaikan kepentingannya. Pada 2013, usaha yang sama diungkapkan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu, CEO Inpex Corporation Toshiaki Kitamura datang ke Kantor Presiden di Jakarta.
Total tak kalah sibuk melobi. Pada September 2014, Jean-Marie Guillermou, CEO Total Asia-Pasifik, datang menemui Menteri Koordinator Perekonomian Chairul Tanjung. Sebelumnya, Juli 2013, dia juga menemui Menteri Energi Jero Wacik. Ia menanyakan tanggapan pemerintah terhadap proposal yang telah diajukan Total untuk Blok Mahakam. Bahkan pemerintah Prancis sempat turun tangan. Menteri Luar Negeri Prancis Laurent Fabius juga menanyakan nasib Total di Mahakam kepada Jero.
Total sangat berkepentingan mempertahankan Mahakam sebagai salah satu mesin uangnya. Duit yang dihasilkan dari wilayah kerja ini tahun lalu diperkirakan mencapai US$ 5 miliar atau lebih dari Rp 65 triliun. Bandingkan dengan laba bersih PT Pertamina (Persero), yang secara keseluruhan "cuma" US$ 1,57 miliar.
Lobi-lobi perusahaan dan pemerintah asing, menurut kelompok Petisi Blok Mahakam untuk Rakyat, mengintervensi pemerintah. Mereka menuduh "ada begal Istana" yang hendak memuluskan usaha Total tetap bertahan. Koordinator Petisi, Marwan, menganggap usul dari Kantor Staf Kepresidenan membuat Pertamina gagal mendapat 100 persen Blok Mahakam. Sebab, perusahaan pelat merah ini harus berbagi dengan Total.
Darmawan, calon legislator dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan pada Pemilihan Umum 2014, kepada Tempo membantah adanya begal Istana. Dia menjelaskan, timnya justru memperjuangkan BUMN untuk mendapatkan yang sebesar-besarnya. Tapi harus dipertimbangkan kelangsungan produksi migas nasional. "Kalau bisa 100 persen, ya, Pertamina 100 persen, tapi kan produksi nasional harus dipikirkan," ujarnya.
Luhut juga membantah tudingan Marwan. Dia menunjuk rekomendasi timnya yang mengusulkan skema dividen bagi daerah, bukan saham. "Jadi, kalau ada yang bilang Pak Luhut punya kepentingan, kepentingan yang mana?"
Marwan juga menuduh ada pemburu rente yang mengincar Mahakam. Mereka mencoba masuk melalui Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, yakni PT Yudistira Bumi Energi. Perusahaan ini telah meneken nota kesepahaman pada 2010.
Sejumlah praktisi migas mengatakan bahwa PT Yudistira disokong oleh politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Pramono Anung. Tapi hal ini dibantah Pramono. "Saya sudah keluar dari Yudistira pada 1998," ujarnya Selasa pekan lalu. "Tapi itu bukan Yudistira yang sama. Saat itu saya di Yudistira Bumi Bhakti."
Awal 2012, perusahaan daerah Provinsi Kalimantan Timur, PT Migas Mandiri Pratama, berkongsi dengan PT Yudistira, yang diwakili Yulius Isyudianto sebagai direktur utama. "Waktu itu Gubernur Awang Faroek membawa tiga perusahaan, tapi yang paling serius, ya, Yudistira ini," kata Rusman Ya'qub, politikus Partai Persatuan Pembangunan, yang saat itu menjabat Ketua Komisi II Bidang Keuangan DPRD Kalimantan Timur.
Ada beberapa poin komitmen Yudistira dalam kerja sama itu. Pertama, membiayai seluruh kebutuhan investasi di Blok Mahakam. Kedua, menanggung segala risiko yang mungkin terjadi. Ketiga, tidak akan mengagunkan saham perusahaan yang terkait dengan participating interest di Blok Mahakam. Dan keempat, disepakati pembagian keuntungan antara Yudistira dan Migas Mandiri Pratama adalah 70-30 persen. "Itu proporsional. Kami tak mengeluarkan uang, tidak menanggung risiko, dan saham tak akan diagunkan," ujar Rusman.
Perusahaan lain yang disebut-sebut berminat masuk ke Mahakam adalah Samudra Energy. Perusahaan ini diduga terafiliasi dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Samudra memiliki proyek terminal penampung gas di Banten yang akan dibangun di lahan milik kelompok usaha Kalla. Perusahaan ini juga melakukan eksplorasi di Blok Madura Strait bersama Husky—perusahaan minyak dan gas asal Kanada—dan CNOOC milik pemerintah Cina.
Kalla membantah tudingan itu. "Tidak ada kaitan antara Samudra Energy dan Blok Mahakam," ujarnya kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Kalla setuju bahwa pengelolaan Mahakam diserahkan kepada Pertamina dan perusahaan daerah, tapi tidak perlu menutup peluang swasta yang ingin berperan. Syaratnya, kata Kalla, perusahaan swasta itu harus memiliki kemampuan keuangan dan teknologi.
Pintu lebih terbuka bagi Total, operator lapangan yang menguasai teknologi. Alasannya adalah agar produksi nasional tak terganggu selama dua tahun terakhir menjelang kontrak habis atau pada awal tahun pengambilalihan oleh Pertamina. Jumat dua pekan lalu, Menteri Energi mengumpulkan perwakilan Pertamina, Total, dan Inpex di kantornya. Mereka membahas masa transisi 2015-2017 untuk menyiapkan Pertamina sebagai operator Mahakam mulai 2018.
Targetnya, semua keperluan dan mekanisme selama masa transisi bisa disepakati ketiga perusahaan dalam dua pekan ini. "Pergantian harus berjalan mulus. Jangan ada penurunan produksi yang signifikan," kata Sudirman. Pertamina juga harus menyiapkan sumber daya manusia dan eksplorasi, termasuk belanja barang dan jasa.
Direktur Hulu Pertamina Syamsu Alam menepis kekhawatiran pemerintah. Ia meyakinkan, perusahaannya sanggup. "Kami memiliki pengalaman mengelola lapangan Sanga-Sanga di Kalimantan, yang punya karakter mirip Mahakam," ujarnya.
Perusahaan pelat merah ini juga menawarkan skema pendanaan bagi pemerintah daerah untuk menghindari penumpang lain di Blok Mahakam. "Daripada seolah-olah perusahaan daerah padahal sebenarnya swasta, justru berisiko," kata Syamsu. "Kami sanggup carry. Nanti uang langsung masuk kas daerah."
Retno Sulistyowati, Gustidha Budiartie, Ayu Prima Sandi, Bernadette Christina Munthe, Firman Hidayat (Kalimantan Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo