Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Ancaman Isis: Deja Vu Afgan?

6 April 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Tito Karnavian

Kelahiran Negara Islam Irak dan Suriah atau ISIS di Suriah tidak lepas dari dinamika politik internasional. Sejak kekhalifahan Ottoman di Turki jatuh pada 1923, upaya mendirikan kembali kekhalifahan sebagai pusat pemerintahan Islam dunia sudah banyak dilakukan. Awalnya gerakan ini bersifat lokal karena memang situasi politik internasional belum mampu membentuk jaringan antarnegara.

Baru pada 1980-an, dengan adanya invasi Soviet ke Afganistan, gerakan Islam radikal yang dikenal sebagai "islamis" mendapat panggung dan angin segar. Kekhawatiran akan ekspansi Soviet di Asia Tengah dan Selatan membuat Barat, Pakistan, dan negara-negara Arab membuka jalan para "islami" atau "jihadis" masuk ke Afganistan. Mereka ber-"jihad" melawan "kafir komunis" Soviet. Hasilnya, pada 1989, Soviet mundur.

Semangat jihad yang telah mencapai puncak dan kepercayaan diri tinggi setelah keberhasilan melawan Soviet membuat para jihadis mencari "tempat jihad baru". Bagi mereka, jihad qital, seperti yang disampaikan Sayyid Qutb—the father of modern jihadists—dan pengikutnya, Muhammad Abdal Salam Faraj, dalam tulisannya, "The Neglected Duty", adalah rukun Islam keenam. Kembali ke negara masing-masing, para jihadis mulai membangun kekuatan. Mereka berjihad di negara masing-masing yang dianggap sekuler atau ke tempat lain yang dianggap cocok.

Al-Qaidah didirikan oleh Usamah bin Ladin dan Ayman Zawahiri untuk menampung para jihadis dan sekaligus menjadi platform perjuangan global, kali ini melawan kekuatan Barat. Bagi mereka, Barat layak diperangi karena menjadi ancaman bagi eksistensi Islam dan sekaligus menjadi penghambat untuk kejayaan Islam. Sistem demokrasi liberal yang dibawa oleh Barat—pemenang Perang Dingin melawan komunis Soviet—dianggap tidak selaras dengan nilai dan sistem politik Islam versi mereka yang mengutamakan prinsip tauhid. Segala sesuatu yang bukan berasal dari Tuhan adalah haram, termasuk sistem demokrasi liberal buatan manusia.

Pada 1989-1999, jaringan Al-Qaidah dan afiliasinya di berbagai belahan dunia mulai membangun kekuatan. Globalisasi telah memberi ruang luas bagi mereka untuk menciptakan jaringan radikal internasional. Sejak 1999, operasi militer mereka dimulai. Semua serangan dapat diatasi cukup baik melalui kerja sama internasional, regional, dan internal negara.

Fenomena "Arab Spring" dan dampak keterlibatan Amerika Serikat di Timur Tengah, terutama di Irak, menyediakan lahan yang subur bagi gerakan ini untuk makin berkembang. Diawali dari kelompok Tawhid Wal Jihad, yang berideologi Takfiri—boleh mengkafirkan orang, termasuk muslim yang pemikiran dan tindakannya tidak berasal dari Tuhan—lalu menjadi bagian dari Al-Qaidah dengan membentuk Al-Qaidah Irak (AQI). Mereka lalu mendeklarasikan Negara Islam Irak (ISI). Akhirnya, pada April 2013, Abu Bakr al-Baghdadi masuk ke Suriah dan mendirikan ISIS sebagai kekhalifahan Islam. Ia menyatakan diri sebagai khalifahnya.

Pertanyaannya: apakah ISIS adalah ancaman? Mereka akan mengancam stabilitas internasional, regional, dan nasional. Agenda mereka bukanlah agenda lokal, melainkan internasional. ISIS ingin menjadi "qoidah aminah" atau cikal-bakal kekhalifahan dunia sehingga akan menarik para simpatisan ideologi ini di seluruh dunia. Bagi penganut ideologi ini, kehadiran kekhalifahan dengan khalifahnya akan melegitimasi panggilan jihad atau "mobilisasi umum" untuk berperang "menegakkan kekhalifahan".

Panggilan jihad tidak sah antara lain karena dikeluarkan seorang ulama yang tidak kredibel. Jihad semacam ini tidak dijamin masuk surga. Kehadiran "Negara Islam" juga memberi arti penting karena dapat dipandang sebagai tempat yang tepat bagi simpatisannya untuk melaksanakan fase "hijrah" atau pindah, yang merupakan tahapan penting dalam berjihad. Para penghijrah menganggap mereka sebagai kaum "muhajirun", seperti ketika Nabi Muhammad melakukan hijrah dari Mekah ke Madinah. Mereka yang sudah ada di wilayah ISIS dianggap sebagai kaum Anshor yang harus melindungi penghijrah.

Di tempat ini, mereka bebas melaksanakan ajaran mereka, dan tentunya berjihad qital. Negara asal mereka dianggap seperti Madinah zaman Quraisy, yang pemerintah dan penduduknya "memusuhi" mereka. Inilah yang membuat simpatisan dari berbagai negara dengan anggota keluarganya, termasuk anak-anak, mau bergabung dengan ISIS.

Fenomena ISIS berbeda dengan Afganistan. Di Afganistan, gerakan jihadis hanya datang untuk melaksanakan kewajiban jihad dan membebaskan "saudara muslim" dari komunis Soviet. ISIS telah mendirikan negara yang ada pemerintahannya, rakyatnya, dan wilayah yang dikuasai. Hanya unsur pengakuan dari negara lain yang membuatnya tidak dikenal sebagai suatu "negara". Perang Afganistan telah melahirkan jaringan radikal internasional pimpinan Al-Qaidah yang kemudian melakukan serangan di berbagai negara dan mengubah peta politik internasional setelah 11 September. Dapat dibayangkan, ancaman lahirnya ISIS.

Setidaknya pengikut militan aktif ISIS berjumlah 20 ribu orang, belum termasuk simpatisan puluhan kelompok radikal di berbagai negara. Tidak ada jaminan ISIS dan simpatisannya hanya akan membatasi operasi militan mereka di Suriah dan Irak. ISIS menjadi "melting pot" yang dapat melahirkan jaringan baru terorisme global. Iklim globalisasi juga dapat memfasilitasi terbentuknya jaringan internasional kembali melalui interaksi dunia maya—déjà vu seperti halnya pasca-perang Afganistan.

Sel-sel yang independen tapi terkoneksi dapat terbentuk di banyak negara dan dapat bermuara pada serangan sporadis di berbagai belahan dunia. Sementara pasca-Afgan komunitas dunia menghadapi non-state actor dalam suatu perang yang disebutkan oleh James Der Derian sebagai "The War of Networks", keberadaan ISIS selain melahirkan perang konvensional oleh state actor dan sekaligus "war of networks" oleh non-state actor sel pendukungnya sekaligus.

Indonesia tidak lepas dari ancaman ini. Keberadaan ISIS telah membawa angin segar bagi jaringan radikal di Indonesia yang sudah meredup dengan operasi kontraterorisme negara setelah bom Bali 2002. Semangat jihad membara kembali dengan adanya kekhalifahan dan khalifah yang dianggap sah. Mereka meyakini Suriah dan Irak sebagai tempat jihad yang tepat saat ini.

Mereka juga mulai terkoneksi dengan jaringan regional dan internasional baik yang lama maupun yang baru terbentuk. Good news bagi kita, mayoritas warga Indonesia tidak mendukung ISIS. Jaringan radikal juga terbelah karena faktor ideologis dan politis.

Menghadapi ancaman ini, Indonesia perlu mengintensifkan kerja sama internasional di bidang intelijen, hukum, dan investigasi, termasuk peningkatan kemampuan. Selain dengan mitra lama, kerja sama yang lebih erat perlu dilakukan dengan Turki, Yordania, Arab Saudi, Mesir, Pakistan, dan Cina. Kerja sama yang intensif juga harus dilakukan dalam skala regional dengan Malaysia, Thailand, Filipina, Singapura, dan Australia. Simpatisan ISIS terdapat di negara-negara itu.

Pada tataran lokal, penguatan kerja sama intelijen di komunitas intelijen termasuk imigrasi dan komunitas transportasi udara untuk mendeteksi, merekonstruksi jaringan, serta menggalang dan memecahkan jaringan perlu dilakukan. Demikian pula upaya penegakan hukum dengan koordinasi erat aparat keamanan dan penegak hukum, termasuk revisi aturan yang lebih kuat. Upaya sinergi untuk kontra-radikalisasi dengan melibatkan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Agama, serta stakeholder lain, baik pemerintah maupun non-pemerintah, dilaksanakan guna mencegah masyarakat terpengaruh ISIS dan, sebaliknya, berpartisipasi aktif menetralisasi ISIS. Demikian pula kerja sama pemerintah dan non-pemerintah dengan BNPT sebagai koordinator perlu untuk menyelenggarakan deradikalisasi yang didasarkan pada konsep yang teruji dan sistematis.

Satu hal lagi yang lebih penting: naiknya gerakan Islam radikal ini, bagi mereka, merupakan respons terhadap "ancaman demokrasi liberal". Mengutip pernyataan Lee Kuan Yew, "Ujian sebenarnya dari sistem politik adalah kemampuannya meningkatkan taraf hidup rakyat." Maka keberhasilan untuk menghadapi ISIS juga amat ditentukan oleh kemampuan sistem demokrasi di Indonesia.

Jika sistem itu efektif dan dapat menaikkan kualitas hidup rakyat serta menciptakan kehidupan yang aman dan nyaman, dukungan terhadap ISIS akan mati dengan sendirinya. Jika terjadi sebaliknya, kita harus bersiap menghadapi hari-hari panjang menghadapi ancaman mereka. l

Asisten Perencanaan dan Anggaran Kepala Kepolisian RI

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus