Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SPANDUK hitam, kuning, puÂtih itu mengganggu Ketua Umum Partai Golkar Jusuf Kalla. Di situ tertulis: ”Ke Arah Mana Koalisi Pasca-Pemilu Legislatif 2009?” Ia mengatakan diundang tuan rumah, Partai Keadilan Sejahtera, buat membahas konsolidasi partai politik menjelang pemilu. ”Bukan koalisi. Tapi tak mengapalah,” ujarnya.
Datang ke kantor Partai Keadilan ÂSejahtera di kawasan Mampang PraÂpatan, Jakarta Selatan, Kamis malam pekan lalu, Kalla kemudian berÂujar, ”Ini silaturahmi. Tapi silakan: bisa multitafsir.” Hadirin tersenyum, termasuk Presiden Partai Keadilan Sejahtera Tifatul Sembiring dan Hidayat Nur Wahid, petinggi Partai Keadilan dan Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat, yang menemani Kalla di atas panggung.
Tifatul dan Kalla pun bertukar pantun. ”Jalan-jalan di Kota Padang, mampir ke Solok beli beras. Kalau mampir ke Mampang, maka isyarat sudah jelas,” kata Tifatul memulai. Kalla sigap menjawab, ”Bukan ladang sembarang ladang, tapi ladang penuh jerami. Bukan datang sembarang datang, tapi datang untuk silaturahmi.”
Sepekan setelah Kalla menyatakan siap menjadi calon presiden, Partai Keadilan sigap melangkah. Menurut Tifatul, partainya menunggu kepastian langkah saudagar asal Makassar itu untuk dibahas di sidang majelis syura. Hidayat digadang-gadang menjadi calon wakil presidennya. ”Kami ingin mewujudkan duet ini,” kata Tifatul, Selasa pekan lalu.
Menurut Mardani, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Keadilan, perlu pilihan cadangan jika Jusuf Kalla benar-benar pecah kongsi dengan Susilo Bambang Yudhoyono. Selain punya opsi Kalla-Hidayat, partai ini memiliki skenario Yudhoyono-Hidayat.
Zulkieflimansyah, Wakil Ketua Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan ParÂtai Keadilan, mengatakan dua skeÂnaÂrio itu paling kuat. Namun, ia menamÂbahÂkan, ada opsi lain, yaitu memasangÂkan Yudhoyono dengan Chairul Tanjung, bos Grup Para, atau Akbar TanÂdjung, mantan Ketua Umum Partai ÂGolkar.
Penjajakan duet Kalla-Hidayat oleh ParÂtai Keadilan, menurut sumber Tempo di partai itu, sebenarnya sudah dilaÂkukan diam-diam dalam dua tahun terakhir. Tifatul Sembiring melakukannya melalui Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla yang menjabat Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hubungan Tifatul dan Aksa semakin intens sejak keduanya kerap bekerja sama dalam program kemanusiaan menangani sejumlah bencana alam di Tanah Air.
Tifatul kerap mengontak Aksa, pemilik Grup Bosowa, yang berbasis di Sulawesi Selatan, dan meminta bantuan finansial. ”Partai kami kan tidak punya banyak uang,” kata sumber yang enggan disebutkan identitasnya.
Soal ini, Aksa tak menampiknya. Ditemui di kantornya di Menara Karya, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis pekan lalu, Aksa mengatakan pembicaraan soal itu memang terjadi. ”Yah, mengenai evaluasi kepemimpinan nasionallah,” katanya.
Namun Aksa membantah kabar bahÂwa pembicaraan sudah menyentuh kemungkinan duet Kalla-Hidayat secara spesifik. Menurut dia, reputasi Hidayat sebagai politikus dan negarawan memang telah teruji. Alasannya, Hidayat pernah memimpin partai dan saat ini menjabat Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ia menilai koalisi nasionalis-religius berpotensi besar menang dalam pemilihan Juli nanti.
Aksa mengkalkulasi, jumlah pemilih muslim sekitar 87 persen. ”Sebagai seorang politikus yang juga pengusaha, tentu saya harus memperhitungkan pangsa pasar ini,” katanya. Koalisi ini lebih menarik dibanding menyandingkan calon Golkar dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. ”Kalau nasionalis dengan nasionalis, pada pemilihan presiden 2004 kan kalah.”
Tak ingin menaruh telur di satu keÂranjang, Partai Keadilan juga main mata dengan Yudhoyono. Seorang elite Partai Keadilan mengatakan Yudhoyono pernah mengundang Ketua Majelis Syura Hilmi Aminuddin dan Sekretaris Jenderal Anis Matta untuk membicarakan koalisi sebelum pemilihan. ”Jadi arahnya koalisi diumumkan sebelum pemilihan umum legislatif,” katanya.
Rencana itu dibatalkan karena pengÂurus Partai Keadilan Sejahtera memuÂtuskan pembentukan koalisi baru akan dilakukan sesudah pemilihan umum legislatif. Lagi pula, kata tokoh itu, menegaskan kembali komitmen koalisi dengan Yudhoyono terasa janggal. ”Ibaratnya masih kawin kok mengumumkan kawin lagi dengan orang yang sama,” katanya. Partai ini hanya akan mengundang Yudhoyono berdiskusi pada forum serupa seperti Kalla.
PARTAI Keadilan Sejahtera hanya satu di antara sejumlah pihak yang ”menunggu di tikungan” jika duet Yudhoyono-Kalla pecah. Yang lain adalah Chairul Tanjung, yang juga disiapkan mendampingi Yudhoyono jika opsi SBY-JK batal diwujudkan.
Nama Chairul diusung oleh Dahlan Iskan, pemilik Grup Jawa Pos. Menurut sumber Tempo, Dahlan mengajukan nama ini karena mendapat kesan Yudhoyono sudah emoh berduet dengan Jusuf Kalla.
Kepada Yudhoyono, menurut sumber itu, Dahlan mengatakan duet SBY-JK merupakan pasangan pas. Yudhoyono cenderung hati-hati saat mengambil keputusan. Adapun Kalla lebih cepat bergerak. Di dalam kabinet ada Sri Mulyani, Menteri Keuangan dan penjabat Menteri Koordinator Perekonomian, yang cenderung menginjak rem. ”Tidak ada tim yang lebih ideal dari gabungan ketiga orang ini,” kata Dahlan kepada Yudhoyono, seperti diceritakan sang sumber.
Namun, jika duet SBY-JK tidak lagi bisa dipertahankan, perlu pengganti Jusuf Kalla yang memiliki karakter mirip dengannya. Dahlan pun menyebutkan nama Chairul Tanjung, yang berlatar belakang pengusaha dan berasal dari luar Jawa (Sumatera). Belakangan, sumber yang dekat dengan Dahlan ini bercerita, Chairul selalu diajak ketika Yudhoyono berkeliling ke sejumlah daerah.
Dahlan Iskan, yang dimintai konfirmasi soal ini lewat surat elektronik, tak bersedia berkomentar banyak. ”Saya tak mau banyak bercerita, nanti kesannya saya jadi politikus,” ujar Dahlan, yang mengaku sedang berada di Shanghai, Cina.
Upaya meminta tanggapan Chairul lewat surat elektronik yang dikirimkan ke sekretarisnya belum berbalas hingga tulisan ini diturunkan. Namun, menurut Abdul Aziz, orang dekat pemilik stasiun Trans TV dan Trans 7 itu, Chairul masih enggan berbicara soal pencalonannya.
Akbar Tandjung juga berminat mengisi slot kosong jika duet SBY-JK pisah. Menurut seorang teman dekatnya, Akbar merintis dua jalur: menjadi calon wakil presiden dari Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri atau dari Yudhoyono.
Tapi Akbar mengaku belum membicarakan soal niatnya kepada Yudhoyono. Pembicaraan antara keduanya, menurut Akbar, masih mengambang. ”Yudhoyono lebih banyak berbicara soal pemerintahan, misalnya hubungan kerja dengan Kalla,” kata sumber ini. Kalla mengalahkan Akbar dalam pemilihan Ketua Umum Partai Golkar di Bali pada 2004.
Suatu ketika, Akbar mencoba jalur informal, yaitu melalui Sunarti Sri Hadiyah, ibu mertua Yudhoyono. Tapi Sunarti hanya mengatakan agar Akbar membantu Yudhoyono. Soal ini, Akbar membenarkan pernah bertemu dengan Sunarti di Istana Negara dalam sebuah acara, tahun lalu. ”Kebetulan beliau ada di sana, lalu beliau bersilaturahmi,” katanya. ”Bukan soal kemungkinan duet saya dengan SBY.”
Akbar mengaku komunikasi politiknya dengan Yudhoyono selama ini tidak cukup intens. Menurut bekas Ketua Himpunan Mahasiswa Islam ini, pembicaraan terakhir dengan Yudhoyono terjadi Agustus lalu, saat ia menerima gelar doktor dari Universitas GaÂdjah Mada. ”Ya, beliau kan sibuk,” kata Akbar, yang juga Ketua Dewan Pembina Barisan Indonesia, organisasi yang berafiliasi ke Partai Demokrat.
Budi Riza
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo