Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MEREKA duduk takzim mengitari meja pertemuan. Di kepala meja, tercagak Jusuf Kalla. Tak tampak satu pun pengurus pusat Partai Golkar di sana. Kamis pagi dua pekan lalu, para Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Golkar dari seluruh Indonesia itu memang hanya ingin bicara dengan ketua umumnya. Mereka sudah berkumpul di kediaman pribadi Jusuf Kalla di Jalan Diponegoro, Menteng, Jakarta Pusat, sejak pukul setengah delapan pagi.
”Sejak awal kami menolak didampingi satu pun anggota Dewan Pimpinan Pusat,” kata Ketua Golkar Yogyakarta, Gandung Pardiman, pekan lalu. Gandunglah yang mengatur pertemuan itu. Tanpa kehadiran pengurus pusat, dia yakin pengurus Golkar daerah akan lebih leluasa mengungkapkan isi hati. Apalagi sejak Kalla terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar lima tahun lalu, baru kali ini ketua umum dan pengurus daerah duduk satu meja tanpa didampingi pengurus pusat.
Setelah pengantar singkat dari Kalla, para petinggi daerah menyampaikan unek-unek satu per satu. Setelah lima pertanyaan, Kalla memberikan tanggapan. Kekecewaan atas koalisi Golkar-Partai Demokrat mendominasi pembicaraan. ”Kasus pemilihan Gubernur Maluku Utara dan Lampung disinggung terus,” kata Gandung mengutip koleganya.
Kandidat Golkar dalam pemilihan Gubernur Maluku Utara, Abdul Gafur, kalah dari calon Partai Demokrat, Thaib Armayn, dalam penghitungan ulang yang kontroversial pada Maret 2008. Di Lampung, kemenangan kasasi kandidat gubernur dari Golkar, Alzier Dianis Thabranie, pada Juli 2005 tak berarti apa-apa. Pemerintah menolak melantik Alzier karena sudah kadung melakukan pemilihan ulang.
Kasus-kasus itu membuat petinggi Golkar di daerah meradang. ”Kami makin panas mendengar pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok tentang prediksi perolehan suara Golkar yang hanya 2,5 persen,” kata Gandung geram. Permintaan maaf Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dianggap tak cukup. Puncaknya, para pengurus daerah Partai Beringin menuntut Golkar memiliki calon presiden sendiri. ”Apakah Pak Jusuf siap menjadi calon presiden Golkar?” begitu para ketua menantang Kalla.
Ketika itu Kalla tak langsung mengiyakan. ”Dia bilang mau salat tahajud dan salat istikarah dulu,” kata Gandung. Kepastian kesediaan Kalla baru muncul Kamis malam, ketika semua pengurus daerah Golkar diundang lagi ke kediaman Wakil Presiden untuk makan bersama. ”Saya tidak bisa menolak karena ini adalah amanah,” kata Kalla disambut senyum lebar hadirin. Keesokan harinya, di Istana Wakil Presiden, kepada pers Kalla mengumumkan kesediaannya menjadi calon presiden.
DIAM-DIAM Kalla menghitung kekuatannya. Dalam sejumlah survei, tingkat elektabilitasnya sebagai calon presiden memang tak mencorong. Dia bahkan disebut-sebut sempat meminta bantuan sebuah lembaga survei melakukan jajak pendapat khusus untuk menguji tingkat popularitasnya dibanding calon presiden lain.
Kalla membantah kabar itu. Dia menegaskan semua survei tentang calon presiden selama ini punya satu kekeliruan mendasar. ”Jika survei dilakukan hanya atas tiga calon presiden yang memenuhi persyaratan dukungan 20 persen suara seperti yang ditentukan undang-undang, dan calon Golkar ada di antara tiga orang itu, saya yakin hasil surveinya akan berbeda,” kata Kalla kepada Tempo akhir pekan lalu.
Berulang kali Kalla menegaskan keyakinannya bahwa peserta pemilihan presiden pada Juli mendatang tak akan lebih dari tiga calon—meski Undang-Undang Pemilihan Presiden membuka peluang munculnya empat pasang. Matematika Kalla sederhana. ”Sudah pasti nanti bakal terjadi koalisi,” kata Kalla. Jika itu yang terjadi, dia yakin, setiap blok akan menghimpun dukungan sampai 25-30 persen. Itu artinya, tak akan ada calon keempat.
Ketiga calon yang bakal muncul, menurut hitung-hitungan Kalla, adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla sendiri. Dua pekan lalu sumber Tempo yang dekat dengan Kalla menguraikan lebih jauh kalkulasi politik sang saudagar Bugis itu. Pertaruhannya ada pada putaran pertama pemilihan. Jika lolos, selebihnya urusan gampang. ”Kalau Kalla maju berhadapan dengan SBY (di putaran kedua), skornya dua-satu untuk Kalla,” kata si petinggi Golkar sambil membuat hitung-hitungan di papan tulis.
Skenarionya kurang lebih begini. ”Jika Megawati versus Yudhoyono, Megawati akan kalah karena suara pendukung Jusuf Kalla mengalir ke kubu Yudhoyono. Jika Megawati versus Jusuf Kalla, yang kalah juga Megawati karena suara pendukung Yudhoyono akan masuk ke kantong Kalla.”
Jika Kalla melawan Yudhoyono? Kubu Kalla juga yakin jagonya yang menang. ”Semua suara pendukung Megawati akan mengalir ke Kalla.” Kubu saudagar Bugis itu yakin, kunci kemenangan Kalla adalah pada perseteruan menahun antara Yudhoyono dan Megawati.
Untuk memenangi kursi RI-1, Jusuf Kalla yakin bisa mengandalkan kantong-kantong pendukung Golkar, basis massa Islam, dan dukungan cukup di beberapa daerah di Pulau Jawa. ”Saya ini orang Nahdlatul Ulama dan ibu saya tokoh Muhammadiyah. Suara mereka pasti ke saya,” kata sumber Tempo menirukan penuturan Kalla. Di Jawa, Kalla yakin bisa meraup suara di kota besar seperti Jakarta dan Bandung, juga di sebagian Jawa Barat. ”Kemungkinan yang agak sulit dipegang adalah Jawa Tengah,” katanya. ”Sedangkan untuk menang di Jawa Timur, tinggal pegang Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Bangsa, atau Partai Kebangkitan NU”.
PETA politik Partai Golkar berubah cepat. Awal Februari lalu, suara pengurus daerah Golkar sebenarnya belum bulat mendukung Jusuf Kalla sebagai calon presiden tunggal partai itu. Ketika dihubungi sebelum Rapat Konsultasi Nasional Golkar dua pekan lalu, Ketua Golkar Sumatera Utara Ali Umri, misalnya, bahkan menolak bicara tentang pencalonan presiden. ”Kami masih fokus pada pemilihan legislatif,” katanya.
Wakil Ketua Golkar Yogyakarta, Deddy Suwadi Siregar, menyatakan hal senada. ”Sampai saat ini kami belum punya keputusan resmi soal pencalonan presiden,” katanya pada Februari lalu. ”Sesuai dengan konsensus partai, kami baru bicara tentang calon presiden setelah pemilihan legislatif, April depan,” kata Ketua Badan Pemenangan Pemilihan Umum di Golkar Jawa Tengah Soejatno Pedro.
Tapi semua berubah dalam semalam. Muladi, tokoh senior Partai Golkar, menduga hasil survei yang menempatkan Partai Golkar di urutan bawah membuat sejumlah pengurus Beringin panik. ”Gesekan terjadi salah satunya karena hasil survei,” katanya pekan lalu.
Jajak pendapat Lembaga Survei Indonesia yang diumumkan Jumat pekan lalu menyebut perolehan suara Golkar hanya 15,9 persen. Ini jauh di bawah Partai Demokrat yang mencapai 24,3 persen dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan 17,3 persen. Padahal survei internal Partai Golkar yang diumumkan dalam rapat konsultasi nasional partai itu dua pekan lalu masih memasang perolehan suara Beringin di urutan wahid dengan 19 persen.
Selain faktor itu, Muladi juga menengarai ada unsur elite Golkar yang berperan memanaskan suasana di tingkat pengurus daerah. ”Ada tokoh Golkar yang mulai pasang kuda-kuda untuk menjadi ketua umum dalam musyawarah nasional pada akhir 2009,” katanya. Persaingan internal inilah yang membuat konstelasi politik di dalam tubuh Golkar menjadi amat cepat berubah.
Muladi menilai saat ini ada setidaknya tiga calon kuat yang sedang berebut menggantikan posisi Kalla sebagai ketua umum. Mereka adalah Aburizal Bakrie, Surya Paloh, dan Agung Laksono. ”Mereka yang berhasil merebut kursi ketua umum akan berperan besar dalam pemilihan presiden 2014 nanti,” katanya.
Seorang sumber Tempo menuturkan hal lain. Dia khawatir, gerilya politik mendukung pencalonan Kalla sengaja diembus-embuskan dengan motif mendorong koalisi Golkar-PDIP. Sejak dua tahun lalu, ide ini memang getol diusung Surya Paloh.
Dihubungi terpisah, Surya Paloh membantah tuduhan itu. ”Mana mungkin saya ada di belakang pernyataan kesediaan Pak Kalla,” katanya. Sebagai politikus, kata Surya, Jusuf Kalla sudah punya jam terbang tinggi, sehingga tak mungkin disetir politikus lain yang punya agenda terselubung. ”Jangan meremehkan pengalaman Jusuf Kalla,” katanya.
Namun dia mengakui pernyataan Kalla membuat kemungkinan opsi koalisi Merah-Kuning makin nyata. ”Kedua partai ini sudah makin seia-sekata dan siap saling mendukung di dalam ataupun di luar pemerintahan nanti,” katanya.
Patut diingat bahwa suara yang mempersoalkan kemungkinan koalisi Beringin-Banteng umumnya berasal dari elite partai yang merasa nyaman dengan kedekatan Golkar-Demokrat saat ini. Lihat saja bagaimana hanya selang sehari setelah Kalla diberitakan siap menjadi calon presiden, tiga petinggi Beringin—Muladi, Firman Soebagyo, dan Yamin Tawary—langsung menemui petinggi Demokrat, yakni Sekjen Marzuki Alie dan Ketua Fraksi Demokrat di DPR Syarief Hassan. Di sebuah tempat yang dirahasiakan, mereka berembuk mengatur strategi untuk mendinginkan suasana panas dalam Golkar.
Muladi membenarkan adanya pertemuan itu. ”Kami mengingatkan Partai Demokrat agar jangan ada lagi kasus Mubarok kedua,” katanya. Marzuki tidak membantah, ”Kami berkomunikasi agar dwi-tunggal, duet two in one SBY-JK, terus bertahan sampai akhir masa pemerintahannya.”
Soal masa depan pasangan ini, Marzuki mengaku yakin pada saatnya Kalla akan memakai kalkulasi politik yang realistis untuk menentukan pilihan politiknya. Sumber Tempo di Golkar membenarkan. ”Kalla setuju maju jika Golkar menang pemilihan umum,” katanya. ”Kalau suara Golkar jatuh, pilihannya kembali maju bersama SBY.”
Wahyu Dhyatmika, Wahyu Muryadi (Jakarta),S. Monang Hasibuan (Medan), Sohirin (Semarang), M. Syaifullah (Yogyakarta), Irmawati (Makassar).
Mengayuh di Antara Tiga Karang
Di tengah kompetisi antarfaksi di internal Beringin, Jusuf Kalla harus pandai meniti buih. Salah langkah sedikit, karier politiknya bisa tamat. Di Golkar saat ini ada tiga kelompok besar yang berebut pengaruh.
Pertama
Sikap: Mendukung Jusuf Kalla kembali berpasangan dengan Susilo Bambang Yudhoyono.
Pertimbangan: Menjaga stabilitas nasional, melanjutkan momentum pembangunan yang dinilai sudah berjalan dengan baik. Pasangan SBY-JK dinilai sudah ideal karena saling melengkapi.
Pendukung: Antara lain Muladi (tokoh senior), Firman Subagyo, Burhanuddin Napitupulu, Muhamad Yamin Tawary (Ketua Golkar Pusat).
Kedua
Sikap: Mendukung Jusuf Kalla menjadi calon presiden dari Partai Golkar.
Pertimbangan: Sebagai ketua umum partai pemenang Pemilihan Umum 2004, Jusuf Kalla harus menjaga kebesaran partai dengan maju sebagai calon presiden dalam pemilihan 2009 ini.
Pendukung: Ketua Dewan Penasihat Golkar Surya Paloh dan 33 Ketua Dewan Pimpinan Daerah (dimotori Ketua Golkar Yogyakarta, Gandung Pardiman, dan Ketua Golkar Jawa Barat, Uu Rukmana).
Ketiga
Sikap: Mendukung tokoh Golkar di luar Jusuf Kalla menjadi calon presiden.
Pertimbangan: Tokoh lain seperti Sultan Hamengku Buwono X atau Akbar Tandjung dinilai memiliki peluang lebih besar untuk menang dalam pemilihan presiden, dibanding Kalla yang keok di sejumlah survei.
Pendukung: Anggota Dewan Penasihat Golkar Sultan Hamengku Buwono X, Mantan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung, Ketua Golkar Syamsul Muarif, dan Pengurus Golkar Pusat Anton Lesiangi.
Kalla Naik, Kalla Turun
”Soal (calon) presiden dari Partai Golkar, itu nanti, setelah pemilu legislatif, kita ambil keputusan.”
September 2008
”Saya sekarang sudah bersama-sama dengan beliau. Saya bahagia dapat bersama SBY membangun bangsa. Saya pikir, selama empat tahun terakhir, kemajuan yang telah dicapai cukup baik. Saya sudah cocok saja (dengan SBY)”.
30 September 2008
”Golkar belum mencalonkan siapa-siapa, karena kami lihat saat ini belum waktunya.”
9 Februari 2009
"Mereka bertanya, kalau Bapak diajukan (menjadi calon presiden), Bapak keberatan atau tidak. Saya bilang, bagaimana saya bisa keberatan sama Anda. Saya tidak bisa keberatan, karena itu adalah suatu amanah".
18 Februari 2009
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo