Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kallamatika

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eep Saefulloh Fatah
  • Pemerhati politik dari Universitas Indonesia

    PADA Muhammad Jusuf Kalla kita bersua yang kita rindukan sekaligus kita cemaskan. Ketika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dengan sigap meminta maaf kepada Malaysia karena kiriman asap kebakaran hutan Indonesia mengganggu negeri jiran itu, Kalla berkelit.

    Di tengah kunjungan kontroversialnya ke Malaysia yang merayakan tahun emas kemerdekaan mereka, Kalla didesak menyatakan permohonan maaf serupa. Alih-alih, ia balas menyerang.

    Orang Malaysia, katanya, hanya terserang asap selama sekitar satu bulan. Sementara dalam sebelas bulan sisanya, Malaysia dikirimi udara segar dan sehat dari hutan-hutan Indonesia. Ia menggugat: mengapa Malaysia tak pernah berterima kasih untuk kiriman udara segar-sehat itu, dan hanya sibuk menuntut Indonesia minta maaf karena asap kebakaran hutan yang cuma sebulan?

    Di depan delegasi Uni Eropa yang memuji Indonesia se­bagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Kalla justru menghardik. Indonesia, katanya, tak butuh puji-pujian itu. Yang Indonesia butuhkan adalah pembuktian persahabatan antarnegara demokratis, berupa masuknya investasi dan peningkatan hubungan ekonomi. Tanpa itu, puji-pujian hanya basa-basi.

    Di Tokyo, Kalla digugat karena Indonesia gagal mengelola hutannya dan menjadi negara perusak hutan tercepat di dunia. Kalla menjelaskan, kerusakan hutan itu berkembang tak terkendali sejak Amerika Serikat dan Jepang, pada 1970-an, mengenalkan pada Indonesia teknologi pengolahan bubur kayu, yang antara lain menghasilkan produk olahan semacam tripleks.

    Jepang, katanya, punya kontribusi besar dalam laju perusakan hutan itu. Kalla pun menuntut agar Jepang—sebagaimana masyarakat internasional lainnya—melihat kerusakan hutan itu bukan semata-mata sebagai perkara domestik Indonesia. Kalla justru mengajak Jepang melibatkan diri secara lebih aktif untuk merehabilitasi hutan Indonesia.

    Kita merindukan seseorang yang memadukan keluguan, terus-terang, percaya diri, dan diplomasi yang berkarakter. Untuk sebagian, kita menemukannya pada Kalla. Tapi, kemampuannya mengambil risiko yang di atas rata-rata, ketergesaan langkahnya, pragmatismenya yang kerap kali telanjang, tak urung membikin kita cemas.

    Maka, Kalla adalah sejumlah paradoks. Ia, sekadar misal, adalah politikus yang amat realistis, tapi juga bisa bertindak di luar dugaan karena optimisme dan percaya dirinya yang begitu besar.

    Pilihannya mencelat dari Konvensi Nasional Golkar dan bergabung ke Yudhoyono dalam Pemilihan Presiden 2004 adalah bukti realisme Kalla. Ia lalu secara realistis menjalankan fungsinya sebagai ”the real vice president” di bawah kepemimpinan Presiden yang memiliki gaya kepemimpinan yang berbeda secara diametral dengannya.

    Lepas dari sejumlah ketegangan politik yang sempat menyeruak dari hubungan Yudhoyono-Kalla selama meme­rintah, harus diakui bahwa realisme Kalla (dan Yudhoyono) sejauh ini telah sukses membuat mereka tak terpecah. Atas nama realisme politik itulah keduanya bertahan me­ngelola kohabitasi—berpadunya dua pejabat dari partai berbeda untuk mengelola satu biduk pemerintahan— hingga hari-hari ini.

    Namun, Kalla juga seorang optimistis dengan keperca­yaan diri besar. Ia optimistis mampu mengelola pemerintahan. Ia juga optimistis tentang nasib Golkar dalam Pemilu Legislatif 2009. Ia yakin Golkar bisa meraih hingga 30 persen kursi DPR.

    Perhitungannya: 16 persen pemilih loyal Golkar, 5 persen tertarik karena iklan Golkar yang sekarang sedang digencarkan terutama melalui televisi, 5-7 persen sebagai hasil kampanye para calon anggota legislatif Golkar dari pintu ke pintu, dan sekian persen sisanya merupakan limpahan suara partai-partai kecil yang tak lolos parliamentary threshold, yang kemudian dilimpahkan ke Golkar (partai dengan sebaran dukungan nasional terbaik, menurut dia).

    Atas nama realisme, masuk akal jika Kalla memilih kembali menjadi sekondan Yudhoyono dalam Pemilihan Presiden 2009. Namun optimisme dan percaya dirinya bisa saja mendorong Kalla maju lebih ke depan, mengubah duetnya dengan Yudhoyono menjadi duel.

    Terlebih-lebih, Kalla dikelilingi sejumlah politikus pokok Partai Golkar yang mencita-citakan kekuasaan lebih besar bagi Golkar dalam lembaga eksekutif selepas Pemilu 2009.

    Paradoks lain Kalla: ia sadar akan pentingnya dukungan publik, tapi terlihat enggan mengubah gayanya di depan khalayak. Ia sadar benar bahwa demokrasi menempatkan para pemilih sebagai penentu.

    Demokrasi adalah era persekutuan di antara popular­itas dan elektabilitas. Tetapi, di tengah kesadaran ini, ia terlihat enggan mengubah gaya politiknya di depan khalayak. Ia membiarkan Yudhoyono mematut-matut diri se­bagai seorang presiden yang ”amat presidensial”: berjarak, tertata, terbentengi birokrasi istana. Tapi, ia membiarkan dirinya menjadi bergaya bak orang biasa, seperti tetangga di sebelah rumah kita.

    Lalu, ketika tiba-tiba Kalla mengubah langgam berpolitik, menjadi lebih ofensif, dan menegaskan kesediaannya maju sebagai kandidat presiden, apa yang sesungguhnya terjadi? Bagi saya, jawabannya terletak pada satu frase kunci: matematika politik Kalla—alias Kallamatika.

    Kallamatika adalah rumus sederhana yang memadukan penciuman politik tajam, kalkulasi pragmatis, dan kehendak kuat untuk menang. Penciuman tajam Kalla pertama saya temukan hampir persis lima tahun lalu, tepatnya 11 Maret 2004.

    Dering telepon di apartemen saya di Columbus, Ohio, Amerika Serikat, pada pukul 02.00 dini hari itu, memba­ngunkan saya. Dari seberang terdengar suara Kawiyan, reporter sebuah stasiun televisi swasta di Jakarta.

    Ia memberi tahu saya bahwa Menteri Koordinator Politik dan Keamanan (waktu itu) Susilo Bambang Yudhoyono sudah mengirim surat pengunduran diri dari kabinet kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, dan segera menggelar jumpa pers. Ia juga meminta kesediaan saya untuk wawancara jarak jauh yang ditayangkan langsung tentang isu itu.

    Belum bangun sepenuhnya, saya mengiyakan, dengan satu syarat: diberi waktu menghubungi beberapa narasumber di Tanah Air yang akan membuat saya lebih memahami situasi secara layak. Orang pertama yang saya hubungi tentulah sang hulu hikayat: Yudhoyono.

    Fajar, ajudan Yudhoyono, mengangkat telepon saya dan memberi tahu bahwa Yudhoyono akan menelepon saya balik segera setelah pertemuannya dengan Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (waktu itu) Muhammad Jusuf Kalla.

    Dalam pembicaraan via telepon internasional, beberapa saat kemudian, selain menjelaskan isi surat pengunduran dirinya, Yudhoyono mengapresiasi tinggi Kalla, koleganya dalam pemerintahan yang dinilainya memiliki ruang simpati dan empati paling lapang bagi dirinya.

    Pada dini hari (waktu Columbus atau petang waktu Jakarta) itulah saya untuk pertama kali yakin bahwa Yu­dhoyono-Kalla suatu saat akan maju sebagai pasang­an kandidat presiden-wakil presiden. Dini hari itu pula diam-diam saya mengakui tajamnya daya endus politik Jusuf Kalla.

    Juli 2008. Dalam pertemuan dengan 11 pengamat politik di kediaman resminya di seberang Masjid Sunda Kelapa, Wakil Presiden Kalla memberikan beberapa penegasan. Ia sangat yakin bahwa pemerintahan Yudhoyono-Kalla berada dalam jalur yang benar. Ia yakin, jika diberi kesem­patan lebih panjang, mereka akan mengantar Indonesia pada kelimpahruahan ekonomi pada 2011.

    Di atas segalanya, Kalla mengaku tak terlalu memikirkan mau jadi apa (tafsir saya: jadi wakil presiden lagi pun tak masalah) dan lebih senang memusatkan pikiran dan energi untuk dengan selamat menggapai 2011 itu.

    Dalam beberapa pertemuan pribadi empat mata sebelum dan sesudah diskusi Juli 2008 itu, Kalla memberikan penegasan berulang bahwa ia sadar benar betapa pentingnya berhitung secara cermat sebelum memutuskan ayunan langkah. Ia menegaskan bahwa menghadapi 2009 adalah kesediaan untuk menang, bukan sekadar memaksakan diri mengejar posisi tertentu.

    Lalu, melihat langkah-langkah politik ofensif yang di­ayunnya belakangan ini, sebagian orang bertanya, apakah Kalla sudah siap kalah dan kehilangan segalanya, berhadapan dengan Yudhoyono yang popularitasnya sedang pasang naik. Perhitungan politik apa yang digenggamnya sehingga ia terlihat begitu yakin dengan langkah ofensif barunya itu?

    Langkah ofensif itu dibentuk oleh penciuman tajam Kalla­ mengenai apa yang sedang berkembang di sekitar­nya: Yudhoyono yang dinilainya mulai pasang kuda-kuda, dina­mika dan ketegangan dalam Partai Golkar yang mulai memuncak, dan intuisi politiknya tentang pencarian peluang-peluang alternatif.

    Saya yakin, Kalla hanya akan bersedia maju manakala kalkulasi pragmatisnya ”mengizinkan” itu. Jika tidak, ia bisa saja merasa nyaman kembali bersama Yudhoyono, sekalipun dengan risiko mesti memadamkan gejolak dalam Golkar yang bakal membara karena itu.

    Jangan lupa, cara kerja Kallamatika sejatinya sederhana saja: memadukan penciuman politik tajam, kalkulasi pragmatis, dan kehendak kuat untuk menang.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus