Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font color=#CC3300>Jusuf Kalla: </font>Saya Harus Siap

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KESEDIAAN Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, 67 tahun, menjadi calon presiden dari Partai Golkar mengubah peta politik nasional dalam semalam. Berbagai spekulasi merebak soal latar belakang pengumuman yang mendadak itu. Ada yang menilai dia sedang bermanuver demi menyelamatkan biduk Partai Golkar yang sedang digoyang konflik internal. Yang lain meyakini Kalla memang sudah tidak sreg lagi dengan Yudhoyono.

Kalla, seperti biasa, menanggapi semuanya dengan ringan. ”Kalau diiba­ratkan perusahaan, Golkar ini perusahaan terbuka dengan pemegang saham para pengurus daerah,” katanya. ”Kalau pemegang saham sudah meminta, saya tentu harus menerima. Itu tanggung jawab saya sebagai ketua umum.”

Jumat siang pekan lalu, selepas salat di Masjid Baiturrahman di kompleks Istana Wakil Presiden, Ketua Umum Partai Golkar ini menjawab pertanya­an Wahyu Muryadi, Arif Zulkifli, dan Wahyu Dhyatmika dari Tempo. Wawancara berlangsung sambil makan siang dengan lauk udang goreng, dendeng sapi, dan sayur lodeh.

Kesediaan Anda menjadi calon presiden mengejutkan banyak orang. Itu respons normatif atas permintaan pengurus daerah Golkar atau sesuatu yang sudah dipersiapkan lama?

Ada dua permintaan pengurus daerah Golkar yang disampaikan kepada saya: partai harus punya calon presiden sendiri dan ketua umum diminta jadi calon presiden. Soal yang pertama, menurut aturan partai, adalah keha­rusan, tidak mungkin tidak. Permintaan kedua juga sesuatu yang wajar dan berlaku di hampir semua partai. Kalau bukan ketua umum, pasti ketua dewan pembina yang menjadi calon presiden. Kalau saya diminta, saya tentu harus bertanggung jawab mengemban amanah. Saya harus menerima: ini tanggung jawab saya sebagai ketua umum.

Seberapa penting suara pengurus daerah di Golkar?

Partai itu ada dua macam, sama seperti perusahaan. Ada partai yang bersifat tertutup, yang pengambilan keputusannya bergantung pada pendiri atau pemilik. Ada partai yang terbuka seperti Golkar. Keputusan dalam partai terbuka seperti ini ditentukan oleh pemegang saham. Saya tidak punya hak prerogatif untuk melakukan veto. Karena itulah, begitu para ketua Golkar di provinsi mengatakan sesuatu, saya otomatis mengikuti.

Apakah pernyataan Wakil Ketua Umum Partai Demokrat Ahmad Mubarok soal prediksi perolehan suara Golkar yang hanya 2,5 persen jadi salah satu pemicu?

Perasaan tidak enak yang muncul dari pernyataan itu memang mempercepat pengambilan keputusan. Partai akan mengalami demoralisasi kalau saya bilang tidak bersedia dicalonkan.

Kita sering mendengar naik-turunnya hubungan Anda dengan Presiden Yudhoyono. Misalnya soal pembentukan Unit Kerja Presiden untuk Pengelolaan Program dan Reformasi pada 2006, juga soal pengadaan helikopter untuk Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi tiga tahun lalu. Apa benar saat ini kekesalan Anda sudah mencapai puncak?

Saya tidak pernah kesal, tapi mencoba menarik garis batas. Selalu saya katakan: yang nomor satu adalah kepentingan bangsa dan negara. Yang kedua adalah kepentingan partai karena saya bertanggung jawab kepada partai. Kepentingan ketiga baru kepentingan saya pribadi. Tentu semua dipertimbangkan. Tapi, bagi saya, selama tidak mencederai kepentingan bangsa dan negara, akan terus saya jalani.

Meskipun hati kecil atau perasaan Anda cedera?

Saya ini kan suka berterus terang. Kalau ada hal yang penting—sebaiknya begini atau begitu—selalu saya sampaikan kepada Presiden. Presiden juga menyambut dengan baik.

Tapi Anda sempat kesulitan menemui Presiden sepulang dari luar negeri pekan lalu….

Seharusnya kami sudah bertemu hari Senin, tapi ditunda karena Presiden flu. Hari berikutnya, beliau harus ke Jawa Timur. Tapi kan ketemu juga hari Minggu.

Apa reaksi SBY atas pernyataan kesediaan Anda menjadi calon presiden?

Beliau paham bahwa ini adalah suatu keharusan. Tidak ada cara lain, Golkar harus begitu. Beliau tidak terganggu oleh apa yang saya sampaikan dan apa yang menjadi keputusan Golkar. Sebagai sesama orang partai, sebagai mitra, kami harus menghormati pendapat satu sama lain.

Jadi Anda tak ragu lagi menjadi calon presiden?

Harus begitu. Saya harus siap menerima amanah.

Anda yakin dukungan daerah sudah bulat dan tidak akan berubah? Kabarnya masih lonjong?

Masih lonjong dalam artian formal, karena menunggu keputusan rapat pimpinan nasional setelah pemilihan legislatif. Tapi yang nanti mengambil keputusan juga teman-teman pengurus daerah ini. Dan sekarang mereka sudah mengambil kesepakatan secara bersama dalam bentuk pernyataan yang ditandatangani semua pengurus daerah tingkat provinsi. Artinya, ya sudah [sepakat].

Bagaimana dengan faksi-faksi yang bersaing di Golkar?

Golkar selalu solid. Tidak jadi soal ada banyak yang berminat menjadi calon presiden. Setiap lima tahun kami selalu begitu. Pada 2004, lebih banyak lagi yang berminat. Tapi teman-teman di daerah kan sudah mempunyai sikap sendiri. Jadi semua pengurus pusat, Pak Surya Paloh, Pak Agung Laksono, harus mengikuti keinginan peng­urus daerah ini.

Soal persiapan menuju RI-1. Anda tampaknya sangat mengandalkan mesin partai. Bukankah pemilihan presiden ini lebih soal figur?

Figur tentu penting karena ini sistem presidensial. Tapi itu harus diimbangi mesin partai dan tim sukses tersendiri, lewat jaringan formal dan informal. Menurut saya, dalam pemilihan presiden, ada empat faktor yang menentukan pilihan seseorang: pandangan politik, agama, aspek kultural, dan baru aspek figur itu sendiri.

Jadi faktor Jawa atau non-Jawa masih relevan?

Sejak Sumpah Pemuda 1928, seharusnya kita tidak lagi memandang Jawa atau non-Jawa, orang Sumatera, Sulawesi, sebagai bagian yang terpisah-pisah. Beberapa bulan lalu, saya ke Jawa Timur, bertemu dengan seorang kiai yang lalu menegur saya. Rupanya, dia membaca berita yang menyebut JK ragu menjadi calon presiden karena bukan orang Jawa. Kiai itu marah karena menilai pernyataan saya itu sama saja menuduh orang Jawa diskriminatif. Dia mengaku tersinggung. Saya rasa benar juga. Apalagi Jawa itu kan sangat berbeda-beda kulturnya. Orang Jawa Barat berbeda dengan orang Jawa Timur, misalnya.

Tapi tetap saja, dalam sejumlah jajak pendapat, nama Anda tidak menonjol….

Ada satu hal yang keliru dalam survei-survei itu. Penentuan tingkat elektabilitas seseorang harus dihubungkan dengan ketentuan undang-undang. Undang-Undang Pemilihan Presiden menyatakan calon presiden harus didukung minimal 20 persen suara hasil pemilihan legislatif. Karena itu, dapat diperkirakan, hanya akan tampil tiga calon presiden. Kalau tiga calon presiden ini disurvei, dan calon Golkar ada di antara tiga orang ini, hasil survei bisa sangat berbeda.

Tiga calon itu adalah Susilo Bambang Yudhoyono, Megawati Soekarnoputri, dan Jusuf Kalla?

Kurang-lebih begitu.

Jadi sudah tertutup kemungkinan bergandengan lagi dengan SBY?

Dalam politik, semua kemungkinan itu ada. Politik itu dinamis sekali. Tapi keputusan akhir Golkar nanti akan ada di tangan para pengurus daerah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus