Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perempuan adalah pria yang tak lengkap,” kata Aristoteles. Menurut filsuf Yunani Kuno itu, secara fisik dan psikologis, perempuan lemah, emosional, dan tak mandiri. Tapi pendapat itu jelas tidak benar. Dalam sejarah Nusantara ini, para perempuan tercatat di puncak-puncak zaman.
674 Sima ditabalkan sebagai Ratu Kerajaan Kaling dan dikenal sebagai pemimpin yang adil. Selain mengontrol 28 kerajaan kecil, Kaling juga memiliki pasukan perempuan yang kuat. Semuanya ada dalam catatan kekaisaran Cina, Chi’iu T’ang-Shu dan Hsin T’ang-shu, 618-906.
842 Pramodawardhani diangkat menjadi Ratu Dinasti Syailendra, yang Buddha, bergelar Cri Kahulunan. Dia dikenal sebagai ratu yang memiliki toleransi beragama tinggi. Dia, misalnya, memberikan tanah untuk pembangunan candi Hindu.
1328-1350 Tribuana Tungga Dewi menjadi Ratu Majapahit ketika kerajaan tersebut bergolak. Namun, Tribuana berhasil membawa Majapahit ke kejayaan, salah satunya dengan mengangkat Gajah Mada dari kasta terendah, sudra, sebagai patih. Setelah turun takhta, Tribuana menjadi bhiksuni hingga wafat pada 1372.
1429-1447 Sekali lagi Majapahit dipimpin perempuan, Ratu Suhita, anak Raja Wikramawardhana. Dia juga menyatukan kembali Majapahit yang pecah akibat perang saudara.
1554-1574 Retno Kencono, putri raja ketiga Demak, Sultan Trenggono, menjadi Ratu Kalinyamat (kini Jepara), setelah suaminya tewas dibunuh Bupati Jipang, Arya Penangsang. Jepara berkembang menjadi pusat perdagangan.
1590 Laksamana Keumalahayati ditunjuk Sultan Alaudin Riayatsyah al Mukammil (1589-1604) sebagai pimpinan armada Aceh untuk mengusir tentara kolonial Belanda.
1641-1699 Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah diangkat menjadi Sultan Kerajaan Aceh (1641-1675). Dia membentuk pasukan khusus perempuan, Si Pai’ Inong, untuk melawan Portugis. Ia dikenal sebagai peletak dasar peran perempuan dalam politik. Dan setelah wafat, penggantinya juga perempuan, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah (1675-1678) dan Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah (1678-1688). Inayat-lah yang menjadikan Banda Aceh sebagai kota bertaraf internasional. Inayat digantikan Ratu Kumala Syah (1688-1699).
1817 Martha Christina Tiahahu bersama ayahnya, Paulus Tiahahu, memberontak terhadap Belanda dan merebut benteng Beverwijk.
1825 Nyi Ageng Serang (1752-1828) adalah pemimpin tangguh di masa Perang Diponegoro pada 1825. Di usia 73 tahun, ia mendapat kepercayaan memimpin pasukan dengan memprakarsai penggunaan daun talas sebagai taktik penyamaran.
1850-1908 Cut Nyak Dien adalah pejuang dalam Perang Aceh melawan Belanda. Bahkan setelah suaminya, Teuku Umar, gugur di Meulaboh pada 1899, Cut terus berjuang. Selain itu, satu lagi perempuan pemimpin Perang Aceh: Cut Meutia (1870-1910).
1900 R.A. Kartini (1879 -1904), putri Bupati Jepara, dikenal sebagai peletak dasar emansipasi perempuan atau kesetaraan gender.
16 Januari 1904 Dewi Sartika di Jawa Barat mendirikan sekolah untuk perempuan, Sakola Istri.
1909 Majalah pertama perempuan, Putri Hindia, terbit di Bandung. Pemrakarsanya R.A. Tjokroadikusumo.
10 Juli 1912 Koran Sunting Melayu, yang diterbitkan di Padang, merupakan harian bertema politik dan kebangkitan perempuan.
1912 Yayasan Kartini di Semarang mendirikan ”Sekolah Wanita Kartini” atas prakarsa keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
1913 Surat kabar Wanito Sworo yang berbahasa Jawa dan Melayu terbit di Pacitan, Jawa Timur. Pemimpinnya Siti Sundari.
1914 Majalah bulanan Putri Mardika terbit di Jakarta. Artikel-artikel berbahasa Belanda, Melayu, dan Jawa di dalamnya menyoal perlunya kelonggaran gerak bagi perempuan, kesempatan pendidikan, dan pengajaran.
1917 Maria Walanda Maramis (1872-1924) mendirikan PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya), organisasi pemberdayaan perempuan di Sulawesi Utara.
1918 dan 1920 Beberapa media perempuan terbit, seperti Penuntun Istri, edisi Sunda dari Putri Mardika, Bandung; Istri Utomo, Semarang; Suara Perempuan di Padang; dan Perempuan Bergerak di Medan.
1923 Berdiri sekolah formal khusus perempuan muslim, Diniyah Putri, di Padang Panjang.
1925 Terbit koran Suara Aisyah.
22-25 Desember 1928 Kongres Perempuan Indonesia I di Yogyakarta, dihadiri 30-an organisasi perempuan dari 12 kota di Jawa dan Sumatera. Seluruh organisasi peserta membentuk badan federasi yang demokratis, Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI).
1930 Perempuan diterima sebagai santri di Pesantren Denanyar, Jombang, Jawa Timur.
1932 Hajah Rasuna Said membentuk Partai Muslimin Indonesia
1945 Aruji Kartawinata mendirikan Lasjkar Wanita Indonesia (Lasjwi) di Bandung.
1946 Maria Ulfah Soebandio, Menteri Sosial pada Kabinet Sjahrir (1946-1947), adalah wanita pertama Indonesia yang menjabat menteri.
1950 Berdiri GERWIS (hingga 1954), yang selanjutnya dikenal sebagai Gerwani.
1970 Pemerintah Orde Baru membentuk organisasi istri pegawai negeri sipil dan militer, yaitu Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, serta Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK).
29 Oktober 1985 Doktor Pratiwi Soedarmono adalah astronaut pertama Indonesia. Dia ikut dalam misi satelit Palapa B-3 pada 24 Juni 1986.
4 Oktober 1990 Jeanne Mandagie S.K., Kepala Dinas Penerangan Polri, adalah perempuan Indonesia pertama yang masuk ke jenjang jenderal sebagai brigadir jenderal polisi.
14 November 1990 Tim pendaki gunung Putri Patria Indonesia mencetak prestasi tingkat dunia karena berhasil mencapai puncak Annapunna IV (7.525 meter), Himalaya.
24 Januari 1992 Entin Kartini, dengan KM Awu, adalah nakhoda perempuan pertama yang mengarungi samudra 9.133 mil dari Papenburg (Jerman) ke Tanjungpriok. Pelayaran berlangsung 26 hari 3 jam 45 menit.
23 Juli 2001 Megawati Soekarnoputri adalah presiden perempuan pertama di Indonesia.
18 Februari 2003 Agnes Supraptiningsih perempuan pertama di Indonesia yang menjabat kepala kepolisian resort (kapolres). Dia bertugas di Subang, Jawa Barat.
5 Juni 2003 Ellen Harprilenny Bareno Soebiantoro perempuan pertama yang meraih jabatan tertinggi di kejaksaan Indonesia. Ellen menjabat Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo