Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SOSOKNYA pipih. Bobotnya tak sampai 40 kilogram. Tinggi satu setengah meter. Tapi nyalinya, jangan tanya. Ombak jalang di perairan Kepulauan Pangkep, Sulawesi Se-latan, ditempuhnya tenang. Hampir tiga dekade hidupnya habis menerabas dua lusin lebih pulau di wilayah ini.
Pelayaran demi pelayaran ditempuh perempuan bertubuh ringkih ini untuk mengantarkan pelayanan sebagai perawat. Pekat malam, karang tajam, amuk gelombang, atau apalah, tak membikin dia gentar. "Mungkin urat takut saya sudah putus," katanya bergurau.
Dialah suster Rabi'ah, 49 tahun. Di tengah hari terik penuh silang-sengkarut korupsi dan skandal, ternyata negeri ini masih memiliki orang-orang yang bekerja dengan sepenuh hati bagi kemanusiaan. Sebuah film dokumenter berjudul Suster Apung telah dibuat untuk mengabadikan perjuangannya.
Rabi'ah adalah jendela kecil yang indah, sekaligus perkasa, di tengah hiruk dunia yang maskulin. Dia satu dari ribuan contoh yang menunjukkan betapa perempuan mampu melakukan tugas-tugas musykil, yang bukan mustahil bisa membikin jeri lelaki dengan otot gempal.
Mereka inilah yang mengilhami Tempo untuk menurunkan edisi khusus kali ini. Edisi yang dipersembahkan pada Hari Perempuan, 22 Desember, yang juga kita kenal sebagai Hari Ibu.
Kado ini bukan tanpa tujuan. Telah lewat setengah abad negeri ini merdeka, posisi kaum hawa masih jauh dari menggembirakan. "Sebuah fenomena yang wajib kita garisbawahi dengan semangat konstruktif," kata Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta.
Benar. Perjalanan Nusantara diwarnai begitu banyak perempuan (baca: Para Perempuan di Puncak Zaman). Sejarah modern kita juga mencatat Megawati Soekarnoputri, yang pernah menjadi orang nomor satu di negeri ini. Tersebut pula Rini Soewandi dan Mari Elka Pangestu, yang duduk di kursi kabinet untuk posisi kementerian yang hampir selalu dipegang laki-laki. Jangan pula lupakan Sri Mulyani Indrawati, yang terpilih sebagai menteri keuangan terbaik se-Asia versi Emerging Market Forum. Perkembangan terbaru, dua pekan lalu, Ratu Atut Chosiyah terpilih sebagai Gubernur Provinsi Banten.
Tapi, benarkah posisi perempuan kita sudah cerlang-cemerlang?
Badan Pusat Statistik, pada 2002, menyebutkan rata-rata pria Indonesia bersekolah 7,6 tahun sedangkan perempuan bersekolah 6,5 tahun. Data terbaru juga menyebutkan, 2 juta penduduk laki-laki memegang ijazah sarjana dari berbagai strata, minimal diploma IV. Perempuan hanya 1,2 juta orang.
Inilah cermin kesenjangan pendidikan selama berbilang generasi. Kesen-jangan yang telah diprotes keras oleh Raden Ajeng Kartini-lebih dari seabad silam.
Efek kesenjangan pendidikan berabad-abad ini cukup serius. Ekspresi dan keterwakilan perempuan dalam berbagai hal masih jauh dari mencukupi. Polisi wanita, umpamanya, cuma 3,2 persen dari keseluruhan korps polisi. Komposisi perempuan di parlemen pun masih jauh panggang dari api, hanya 11,3 persen, jauh dari target 30 persen.
Maka tak berlebihan jika Nursjahbani Katjasungkana, aktivis yang juga anggota DPR RI, berharap datangnya dunia yang lebih ramah terhadap perempuan. "Andai ada lebih banyak perempuan di parlemen, di bidang hukum, dan di semua sektor pengambilan keputusan, tentu dunia kita akan lebih baik," katanya.
Berbekal semangat mendorong lebih banyak keterlibatan perempuan, Tempo menampilkan belasan srikandi dari berbagai arena. Bagi kami, edisi ini penting. Sebab, kemajuan perempuan bukan hanya bermakna bagi perempuan itu sendiri, melainkan juga bagi kemajuan kemanusiaan secara keseluruhan.
Panjang debat kami menentukan kriteria para srikandi pilihan. Melalui surat elektronik, kami meminta berbagai pihak mengusulkan kandidat. Aneka komunitas, nyata maupun virtual, menjadi tempat bertanya dan melakukan verifikasi kualitas kandidat.
Kami juga mengundang berbagai tokoh untuk berdiskusi. Mereka adalah Menteri Meutia Hatta, Nursjahbani Katjasungkana, Nur Imam Subono (aktivis Demos), Mariana (editor Jurnal Perempuan), Fira Basuki (penulis), dan Monica Tanuhandaru (aktivis hak asasi di International Organization of Migration).
Mereka bukanlah penentu kata akhir tentang tokoh yang tampil dalam edisi khusus ini. Para panelis itu berperan memberikan bingkai pemahaman tentang dunia perempuan Indonesia masa kini. Bekal yang sangat berarti buat kami untuk menentukan pilihan.
Akhirnya, dengan segenap lika-liku dan pertimbangan, kami memilih belasan perempuan yang bergelut di bidang yang membutuhkan "urat lelaki". Mereka perempuan yang berani melintas batas, menjadi segagah Srikandi.
Sebagian panelis sempat mempertanyakan pilihan tema ini. Nur Imam Subono: "Bukankah itu justru mengukuhkan stereotip yang berlaku?" Komentar senada muncul dari Fira Basuki, "Tema ini kan makin menguatkan anggapan masyarakat bahwa bidang ini punya laki-laki dan bidang yang lain milik perempuan."
Tentu saja bukan itu maksud kami. Dengan menampilkan srikandi yang bekerja di sektor yang tidak lazim, yang sarat tantangan khas lelaki, kami justru ingin meruntuhkan tembok stereotip itu. Seperti komentar Meutia Hatta, "Ya, dengan begini kita tunjukkan bahwa perempuan bisa menjadi apa saja yang dia inginkan."
Tema yang kami pilih bukannya tanpa tantangan. Mencari perempuan berpangkat tinggi di tentara, misalnya, ternyata tidak gampang. Sampai saat ini TNI tidak menerima siswa Akademi Militer perempuan. "Sejauh ini perempuan di militer kita masih bersifat tenaga pendukung dan staf kesehatan," kata Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana.
Christina, satu di antara tokoh yang kami pilih, juga mengawali karier militer dari bidang kesehatan. Dengan kesulitan yang berlipat-lipat-dibanding kolega laki-laki-Christina menapak karier hingga menjadi perwira tinggi. "Sejauh ini saya perempuan paling gagah di militer," katanya. Dialah satu-satunya pemegang bintang satu di jajaran tentara.
Kami juga menampilkan Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut. Dia satu-satunya perempuan dalam Kontingen Garuda XIV-3, pasukan penjaga perdamaian di Bosnia-Herzegovina, pada 2000.
Ada juga Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur). Bisa dibilang semua gua kapur di Indonesia telah dia suruki. Kami juga dengan bangga memperkenalkan Dwi Astuti Soenardi, 44 tahun, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007.
Harus kami akui, radar Tempo tidaklah sempurna. Kami yakin masih banyak mutiara yang bersinar terserak di luar sana. Masih banyak perempuan tangguh di pelosok dusun, di jantung rimba, di puncak gunung, bahkan di tengah gedung jangkung perkotaan, yang luput dari pantauan kami.
Dengan penuh hormat, kami juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Suster Rabi'ah salah satunya. Ada pula bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki "Ibu Para Suku". Sosok inilah yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Banggai, kepulauan Sulawesi Tengah.
Jangan pula lupa menengok mutiara di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul-mundak, istilahnya-di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo. Bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak.
Mereka mengingatkan kita pada sepenggal sajak Hartojo Andangdjaja,
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah merekaMereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kotaMereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Selamat Hari Perempuan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo