Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

arsip

Para Terpidana Vonis Hukum Mati Kasus Narkoba, Terakhir AKP Andri Gustami

AKP Andri Gustami divonis hukum mati karena kasus peredaran narkoba. Berikut sederet terpidana mati lainnya.

4 Maret 2024 | 13.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Vonis hukuman mati yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung kepada Ajun Komisaris Polisi atau AKP Andri Gustami pada Kamis, 29 Februari 2024 menuai perhatian. Bekas Kasat Narkoba Polres Lampung Selatan ini terlibat dalam penanganan kasus narkotika milik jaringan Fredy Pratama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Andri Gustami hanya satu dari seabrek insan bernasib apes divonis hukum mati karena kasus narkoba. Jumlah vonis hukum mati terpidana perkara barang haram ini memang menempati posisi paling wahid di Indonesia. Sepanjang 2021 lalu misalnya, Amnesty International (AI) mencatat dari 114 vonis mati baru, 94 atau 82 persen di antaranya karena narkoba.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tempo.co merangkum sejumlah nama terpidana kasus narkoba yang divonis mati. Mereka antara lain Freddy Budiman, Raheem Agbaje Salami, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran, Rodrigo Gularte, serta Marry Jane.

Kecuali Marry Jane, para narapidana atau napi tersebut telah dieksekusi. Adapun eksekusi Jane ditunda sejak 2015.

Berikut sejumlah nama terpidana kasus narkoba yang divonis mati:

1. Freddy Budiman

Freddy Budiman lahir di Surabaya dan memulai kariernya di dunia kejahatan sebagai pencopet. Ia kemudian merantau ke Jakarta dan terlibat dalam kasus narkoba pertamanya pada 1997. Pada 2009, Freddy kembali ditangkap karena menyimpan 500 gram sabu-sabu dan divonis hukuman penjara. Meski telah divonis penjara, Freddy tak kapok dan kumat terlibat dalam peredaran narkoba.

Pada 2011, ia kembali ditangkap karena memiliki ratusan gram sabu-sabu dan bahan pembuat ekstasi. Setelah melalui proses persidangan yang panjang dan bukti yang cukup kuat, Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis hukuman mati pada 2012. Dia terbukti terlibat dalam kasus impor 1,4 juta butir pil ekstasi dari Tiongkok. Aksi itu dilakukan Freddy dari dalam penjara.

Salah satu hal yang mengejutkan dalam kasus ini adalah kemampuannya untuk terus mengendalikan operasi narkoba bahkan ketika berada di dalam penjara. Meski bakal diganjar hukuman mati, Freddy tidak berhenti dari aktivitas kriminalnya. Pada 2013, ia membuat pabrik sabu-sabu di dalam Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Cipinang. Bisnis ini mampu menghasilkan dua kilogram sabu-sabu siap edar setiap kali produksi.

Pada 29 Juli 2016, Freddy Budiman dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah. Ia merupakan satu dari empat orang yang dieksekusi mati terkait kasus narkotika. Tiga orang lainnya adalah warga negara asing. Setelah dieksekusi mati, jenazah Freddy dimakamkan di kampung asalnya di Surabaya, sesuai dengan keinginannya beberapa hari sebelum eksekusi.

2. Raheem Agbaje Salami

Raheem Agbaje Salami adalah warga Nigeria bernama asli Jamiu Owolabi Abashin. Dia ditangkap di Surabaya pada 1999 saat menyelundupkan heroin seberat 5 kilogram. Setelah diadili pada tingkat pertama, Abashin divonis penjara seumur hidup. Ia lalu mengajukan banding. Oleh majelis hakim pengadilan tinggi, hukuman Abashin diringankan menjadi penjara 20 tahun.

Namun Abashin tak puas. Ia pun mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Malang ia dapat, Hakim Agung justru memperberat hukuman Abashin menjadi vonis mati. Tak terima, Abashin lantas mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Upayanya mencari keadilan kandas. Ia tetap diganjar hukuman mati. Grasi yang ia ajukan ke Presiden Joko Widodo atau Jokowi ditolak.

Narapidana Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan yang dieksekusi mati pada 2015. Permintaan terakhir Abashin adalah dimakamkan di Madiun, Jawa Timur dan organ tubuhnya agar didonorkan. Namun niat tersebut gagal dilakukan. Upaya pendonoran organ tubuh Abashin terkendala teknis kedokteran.

3. Andrew Chan dan Myuran Sukumaran

Andrew Chan dan Myuran Sukumaran adalah warga Australia anggota Bali Nine. Keduanya ditangkap pada April 2015. Chan ditangkap bersama empat orang di Bandara Ngurah Rai Denpasar. Mereka: Scott Rush, Michael Czugaj, Renae Lawrence, dan Martin Stephens yang membawa 8,3 kilogram heroin. Myuran ditangkap bersama Tan Duc Thanh Nguyen, Si Yi Chen, dan Matthew Norman di Kuta saat bersiap mengirim heroin tahap dua.

Pada September 2005, kesembilan warga Australia tersebut dikenakan tuduhan kepemilikan dan perdagangan heroin, ancaman maksimal hukuman mati. Pada 24 Januari 2006, jaksa menuntut hukuman mati untuk Sukumaran. Dua hari berselang, pada 26 Januari 2006, tuntutan serupa juga dilayangkan kepada Chan. Kemudian pada 14 Februari 2006 vonis mati kepada keduanya dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Denpasar.

Chan dan Sukumaran mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi (PT) menolaknya pada April 2006. Upaya bebas masih terus dilakukan dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun Hakim Agung pada Mei 2011 justru menguatkan putusan PN dan PT. Tak putus asa, Keduanya mengajukan grasi kepada Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden RI kala itu.

Pada Desember 2014 ketika jabatan presiden dipegang Jokowi, pihaknya menjelaskan bahwa dirinya tak akan memberikan grasi atau ampunan sanksi hukum kepada terpidana terkait kejahatan narkotika. Seiring dengan pernyataan itu, pada Januari 2015, kepala negara kemudian menolak grasi yang diajukan Sukumaran dan Chan.

Setelah berbagai upaya hukum hingga permohonan grasi presiden gagal, sinar harapan Chan dan Sukumuran terhindar dari hukum mati ditempuh dengan mengajukan PK. Tapi lagi-lagi perjuangan itu padam. Pada Februari 2015, PK keduanya ditolak. Tak puas, Hakim yang memvonis mati Chan dan Sukumaran dilaporkan ke Komisi Yudisial atas dugaan pelanggaran Kode Etik Pedoman dan Perilaku Hakim (KEPPH).

Bahkan Jokowi pun mereka gugat karena tak mau memberikan grasi. Namun, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gugatan Chan dan Sukumaran terhadap keputusan presiden yang menolak memberikan grasi tersebut. Mereka lalu menggugat keputusan itu karena merasa keberatan. Terapi, gugatan kembali ditolak oleh Pengadilan Tinggi PTUN. Setelah berbagai upaya tersebut runtuh, Chan dan Sukumaran akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 29 April 2015.

4. Rodrigo Gularte

Rodrigo Gularte tinggal di Florianópolis, Brasil sejak 1999. Dia ditangkap pada Agustus 2004 bersama dua orang lainnya di Bandara Internasional Soekarno-Hatta karena membawa 6 kilogram kokain. Barang haram itu disembunyikan di delapan papan selancar. Dia dijatuhi hukuman mati pada 7 Februari 2005.

Setelah divonis mari, Gularte mencoba bunuh diri di penjara pada 2006. Kesehatan jiwanya memburuk dan diagnosis skizofrenia paranoid dengan delusi dan halusinasi terdeteksi. Ada rekomendasi bahwa ia harus dipindahkan ke rumah sakit jiwa. Namun pihak berwenang Indonesia menolak lantaran para ahli disewa oleh pihak pembela.

Keluarga Gularte mencoba mendapatkan grasi untuknya dengan mengatakan bahwa dokter telah mendiagnosisnya sebagai skizofrenia paranoid, yang biasanya akan memungkinkannya dipindahkan ke fasilitas psikiatri. Pemerintah Brasil bahkan menyerukan agar beliau terhindar dari hukuman mati karena alasan kemanusiaan. Namun upaya itu tetap membuat pemerintah Indonesia bergeming.

Gularte dieksekusi pada 29 April 2015 di Nusa Kambangan. Jenazahnya dibawa ke Rumah Sakit Santo Carolus, di Jakarta. Sehari setelah kematian Gularte, sebuah Misa Katolik dirayakan untuk menghormatinya. Jenazah Rodrigo disemayamkan dan dimakamkan di Curitiba, Paraná, pada 3 Mei 2015.

5. Mary Jane

Mary Jane Fiesta Veloso ditangkap saat mendarat di Bandara Adi Sutjipto, Yogyakarta, pada April 2010. Saat itu, dia datang dari Kuala Lumpur, Malaysia, menggunakan pesawat Air Asia. Petugas Bea Cukai menemukan heroin seberat 2,6 kilogram yang diselipkan di dinding kopernya. Mary pun digelandang polisi dan menghadapi persidangan.

Dalam persidangan, Mary membantah mengetahui keberadaan barang haram tersebut. Dia mengaku dijebak oleh seorang temannya yang bernama Maria Cristina Sergio. Maria, menurut Mary, menjanjikannya pekerjaan di Kuala Lumpur, Malaysia. Akan tetapi dia justru disuruh bepergian ke Yogyakarta setelah tiba di Kuala Lumpur.

Mary juga mengatakan bahwa Cristina merupakan orang yang memberikan koper itu kepadanya. Dia menuturkan bahwa teman sekampungnya di Desa Esguerra, Distrik Talavera, Provinsi Nueva Ecija, Filipina tersebut juga memerintahkannya untuk menghubungi seseorang bernama Ibon setibanya dia di Yogyakarta.

Akan tetapi pembelaan Mary itu tak digubris oleh hakim. Dia pun mendapatkan vonis mati hingga kasusnya berkekuatan hukum tetap. Mary nyaris dieksekusi oleh regu tembak pada April 2015. Beruntung saat itu Presiden Jokowi memberikan penangguhan eksekusi terhadap perempuan berusia 38 tahun itu.

Jokowi rupanya telah bertemu dengan Presiden Filipina Benigno Aquaino III yang meminta agar eksekusi Mary Jane ditunda. Alasannya, Aquaino meyakini Mary merupakan korban perdagangan orang. Aquaino juga menyatakan bahwa otoritas hukum negaranya telah menangkap Cristina yang disebut sebagai perekrut Mary.

Pada Juni 2023, keluarga Mary Jane mendatangi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk meminta rekomendasi grasi. Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan pihaknya akan memberikan rekomendasi agar Presiden Jokowi mengabulkan permohonan grasi kepada Mary Jane. Pasalnya, kata Anis, ditemukan fakta bahwa Mary Jane merupakan korban dari sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan sindikat narkoba.

“Nanti kuasa hukum akan mengajukan grasi kepada Presiden terkait kasus Mary Jane komnas akan memberikan rekomendasi agar ini diberikan grasi atas dugaan kuat dia sebagai korban TPPO,” kata Anis dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta Pusat.

Kasus Andri Gustami

Diberitakan sebelumnya, Mantan Kepala Satuan Narkoba (Kasat Narkoba) Polres Lampung Selatan Andri Gustami divonis hukuman mati oleh majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanjungkarang, Bandarlampung. Andri divonis mati dalam perkara peredaran narkotika jaringan Fredy Pratama.

“Menjatuhkan hukuman mati terhadap terdakwa Andri Gustami,” kata ketua majelis hakim Lingga Setiawan dalam amar putusan yang dibacanya dalam persidangan, Kamis, 29 Februari 2024 seperti dilansir dari Antara.

Dalam amar putusan tersebut, majelis hakim menyatakan terdakwa di antaranya sama sekali tidak mendukung program pemerintah dalam memusnahkan peredaran narkotika, selaku anggota kepolisian telah melakukan pengkhianatan terhadap institusi Polri, melakukan pemanfaatan terhadap orang untuk menghasilkan uang, dan jumlah yang diloloskan sangat besar.

“Hal yang meringankan sama sekali tidak ada yang meringankan,” kata dia.

Vonis mati tersebut sama seperti tuntutan JPU agar Andri Gustami dihukum dengan hukuman mati. JPU mempertimbangkan bahwa terdakwa sebagai petugas telah menjadi perantara peredaran narkotika jaringan internasional. Selain itu, terdakwa secara tanpa hak atau melawan hukum telah melakukan permufakatan jahat untuk menawarkan, dijual dan menjual, membeli, menukar, menyerahkan atau menerima, narkotika golongan I.

HENDRIK KHOIRUL MUHID | MUTIA YUANTISYA | MUHAMMAD RAFI AZHARI | ACHMAD HANIF IMADUDDIN | NOFIKA DIAN NUGROHO | RAYMUNDUS RIKANG | EKA YUDHA SAPUTRA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus