Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SITI Hardijanti Rukmana tetap terlelap ketika pesawat Fokker 28 Transwisata terguncang-guncang melewati cuaca buruk menjelang mendarat di Bandar Udara Halim, Jakarta, selepas petang Selasa pekan lalu. Di ruangan bisnis itu, putri kesayangan bekas presiden Soeharto ini tampak kelelahan.
Mbak Tutut—begitu dia disapa—memang memeras tenaga sepekan terakhir ini. Setiap hari ia terbang pagi dari Jakarta dan sore harinya sudah tiba kembali di Halim. Ia agaknya all-out berkampanye untuk Partai Karya Peduli Bangsa, partai yang didirikan bekas Kepala Staf Angkatan Darat, Hartono, yang hampir pasti akan mencalonkannya sebagai presiden. Hari itu ia baru pulang dari Situbondo, setelah pada 4 Maret lalu menyambangi pengungsi Aceh di Medan dan korban gempa bumi di Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Esoknya, bos grup bisnis Citra itu dan rombongannya muncul dan memberikan bantuan untuk masyarakat empat kabupaten yang terkena banjir di Pontianak, Kalimantan Barat. Dua hari itu, tak kurang dari Rp 175 juta dia sumbangkan.
Masuk masa kampanye 11 Maret, daftar perjalanan andalan Partai Karya Peduli Bangsa ini bertambah panjang. Sepekan lalu ia berada di Singaraja, Bali, esoknya di Kupang. Hanya pada hari Kamis, 18 Maret, ia bisa beristirahat di rumahnya, sebelum kembali terbang ke Medan, Lubuk Pakam, dan Sibolga. Setelah itu, Batam dan Bukit Tinggi sudah menunggunya.
Perjalanan yang memeras daya—dan tentu saja dana. Tapi jangan khawatir. Dalam urusan dana, semua orang pasti mafhum bahwa Tutut tergolong orang yang tidak akan "mumet" memikirkan sumbernya. Coba saja hitung berapa dana yang dia habiskan untuk berkeliling.
Untuk dua jam terbang saja, sewa pesawat yang ditumpanginya US$ 2.400 hingga US$ 4.000 atau sekitar Rp 20 juta-Rp 34 juta dengan kurs sedolar AS sama dengan Rp 8.500. Ambillah rata-rata Rp 27 juta untuk tiap dua jam terbang, jika sehari dia terbang lima sampai enam jam, itu berarti sudah Rp 65 juta sampai Rp 81 juta dihabiskannya. Taruhlah selama kampanye dia sepuluh kali terbang, itu berarti sudah Rp 650 juta sampai Rp 800 juta dikeluarkan untuk sewa pesawat.
Jangan lupa, kalau partainya meraih lebih dari tiga persen suara, Tutut akan berkampanye lagi sebagai calon presiden. Artinya, setidaknya sejumlah yang sama akan keluar dari kantongnya. Itu baru sewa pesawat. Di berbagai kota itu Tutut juga membagikan kaus berwarna hitam, jaket hijau, serta jam yang biasa ditaruh di pinggang dengan gambar dirinya dan juga Soeharto di angka 7. Salah satu kaus hitam yang dibagikannya bertuliskan, "Numpang tanya, rumah Mbak Tutut nomor berapa? 14!" Kebetulan rumah Tutut di Jalan Yusuf Adiwinata, Jakarta, memang bernomor 14, persis sama dengan nomor urut pemilu Partai Karya Peduli Bangsa.
Kebetulan atau tidak, itu soal lain. Yang penting, duit besar memang dikerahkan untuk mendongkrak partai ini dan popularitas Tutut. Sejak Februari lalu, Tutut sudah tampil dalam iklan di hampir semua koran milik Grup Jawa Pos di seluruh Indonesia. Hitunglah untuk sekali tampil digelontorkan Rp 100 juta, tentu bilangan dana yang harus disiapkannya juga tidak sedikit. "Target kita memang langsung ke daerah," kata Amal al-Ghozali, salah seorang yang berada di balik kerja besar tim Tutut, akhir Februari lalu, tentang strategi memilih Jawa Pos.
"Serangan" juga dilakukan lewat radio. "Sampai kini, memang hanya iklan PDIP dan Partai Karya Peduli Bangsa yang sudah masuk," kata Joko Sutam Aji, Manajer Iklan Radio Retjo Buntung Yogyakarta. Pihaknya mematok harga Rp 95 ribu per iklan yang berdurasi 60 detik.
Baiklah, jumlah itu mungkin tergolong kecil. Tapi Partai Karya juga tampil di iklan televisi swasta dan TVRI. Bila satu slot iklan berdurasi 30 detik saja rata-rata dihargai Rp 15 juta, dan sehari di setiap televisi iklannya ditampilkan lima kali, itu berarti sehari dikucurkan sekitar Rp 300 juta. Taruhlah sepanjang kampanye iklan itu hadir 15 hari, jumlah duit untuk iklan televisi saja sudah Rp 4,5 miliar.
Itu bukan duit kecil. Dari mana Partai Karya berdana sebanyak itu? Adakah berbagai yayasan yang ditinggalkan Soeharto, seperti Dakab, Dana Mandiri, dan Dharmais, turut menyuplai kebutuhan logistik tim Partai Karya ini? "Semua dana gotong-royong, dari teman-teman di partai," kata Tutut menjawab TEMPO. Hal yang sama dinyatakan sang ketua umum, Hartono.
Namun, santer terdengar, yang menjadi "bendahara" semua kegiatan tersebut tak lain dari Soehardjo, mantan Direktur Jenderal Bea Cukai, yang masih memiliki hubungan keluarga dengan mendiang Ibu Tien. Soehardjolah, kabarnya, yang mencukongi pesawat dan berbagai keperluan selama kampanye. Soehardjo sendiri membantah hal itu. "Siapa bilang? Mana saya mampu, Mas," katanya merendah, "Itu isu saja. Rumah saja masih di Pejompongan sejak 36 tahun lalu."
Demikian juga pihak yayasan. "Tidak, tidak ada hubungan apa pun dengan partai," kata Kepala Biro Administrasi dan Umum Yayasan Dana Mandiri, Mulyono Dani Prawiro. "Kami lebih konsen pada pemberdayaan masyarakat melalui dana bergulir," katanya.
Yang jelas, duit itu tidak bergulir dari langit.
Darmawan Sepriyossa, Jobpie Sugiharto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo