Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Sobat Lama di Partai Baru

Di antara calon anggota legislatif PKPB, ada mantan ajudan Soeharto dan sejumlah purnawirawan TNI. Juga pengusaha yang dekat dengan Cendana.

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari menengok cuplikan kisah lama, di Gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, 20 Mei 1998. Di sana berkumpul 16 menteri anggota kabinet Soeharto yang melakukan rapat khusus, dipimpin Menteri Koordinator Ekonomi, Keuangan, dan Industri, Ginandjar Kartasasmita. Satu per satu menteri yang hadir berbicara tentang kondisi terakhir negeri ini. Kesimpulannya, karena usia pemerintahan rezim Soeharto hanya akan bertahan dalam hitungan hari, Ginandjar mengajak para menteri yang hadir menulis surat menolak turut serta dalam Kabinet Reformasi yang akan dibentuk Soeharto.

Semua menteri yang hadir diam tanda setuju, kecuali Ary Mardjono. Menteri Negara Agraria dan Kepala Badan Pertanahan Nasional itu terperangah. Ia tak menyangka Ginandjar, yang sekian lama "dibesarkan" Soeharto, justru akan meninggalkannya pada saat-saat kritis. Ary lantas menyarankan agar Ginandjar bersama para menteri koordinator lainnya membicarakan situasi terakhir secara baik-baik dengan Soeharto.

"Tapi, seusai magrib, konsep pengunduran diri sudah siap ditandatangani sesuai dengan abjad nama menteri yang hadir. Saya tak mau teken. Itu pengkhianatan," ujar Ary mengenang peristiwa sehari menjelang lengsernya Soeharto dari kekuasaan Orde Baru itu.

Ia menilai koleganya itu tak punya etika dan moral politik. Saat ditelepon Soeharto untuk duduk di kabinet, semuanya menyatakan siap. Tapi, ketika Jenderal Besar itu berada di pinggir jurang, bukannya dibantu, malah dijerumuskan. "Seharusnya, kalau mau jatuh, ya, jatuh bersama," kata mantan Sekretaris Jenderal Golkar itu kepada TEMPO, Jumat pekan lalu.

Jika Ary begitu loyal kepada Soeharto, itu bisa dipahami. Selepas menjadi Direktur Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat, ia ditarik Soeharto menjadi asisten Menteri-Sekretaris Negara Moerdiono. Selanjutnya, ia juga dipercaya menjadi Kepala Sekretariat Dewan Pembina Golkar, yang berkantor di Jalan Teuku Umar 17, kediaman Presiden Megawati sekarang ini.

Bersama rekan satu angkatan di Akademi Militer (1962), R. Hartono, Ary kini bertekad mengembalikan kejayaan Golkar. Karena baginya Partai Golkar sekarang bukan lagi Golkar yang pernah menjadi tempatnya bernaung, ia keluar dari Partai Golkar pimpinan Akbar Tandjung dan bergabung di Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). "Golkar yang asli itu ya PKPB ini, Dik," ujarnya lirih.

Untuk mewujudkan cita-cita itu, Ary dan Hartono bergerilya mengontak kawan-kawan lama mereka semasa di Akademi Militer, baik dari angkatan darat, laut, udara, maupun kepolisian. Hasilnya? Tercatat 26 purnawirawan kolonel hingga jenderal bintang empat bernaung di bawah bendera "Golkar Hijau".

Sebut saja misalnya mantan Ketua Fraksi ABRI Letjen Abu Hartono, mantan Asisten Sosial dan Politik Kassospol Mayjen H.M. Akip Renatin, dan mantan Panglima Kodam Tanjungpura Mayjen Namuri Anoem. Juga ada yang pernah menjadi ajudan Soeharto, seperti mantan Kepala Kepolisian RI Jenderal Dibyo Widodo, Marsekal Muda Abdullah Syirat, dan Laksamana Muda Yuswadji, yang juga suami dari Pengacara Elza Syarief.

Selain karena faktor pertemanan, menurut Akip Renatin, keputusannya bergabung dengan Partai Karya Peduli Bangsa itu karena merasa lebih tertantang. Sebagai anggota partai baru, ia harus bekerja keras membangun infrastruktur dari bawah. Juga memperkenalkannya ke masyarakat luas. "Kalau di partai besar, biasanya kan kita tinggal ongkang-ongkang kaki," katanya.

Meski sama-sama punya obsesi mengembalikan kejayaan Orde Baru, Akip punya kritik, yakni soal pelaksanaan dwifungsi ABRI yang ketika itu salah kaprah. Menurut Akip, konsep dwifungsi harus dianut sampai kapan pun. Hanya, hal itu tak harus diwujudkan dengan mengisi jabatan gubernur atau bupati.

Sikap itu justru berbeda dengan pernyataan koleganya, Ketua Umum PKPB R. Hartono. Ketika berkampanye di Cilacap, Jumat dua pekan lalu, mantan Menteri Penerangan dan Menteri Dalam Negeri itu justru sesumbar akan memperjuangkan kembali agar orang militer bisa menduduki wilayah politik seperti di era Orde Baru.

"ABRI dan polisi itu kelompok masyarakat yang paling berpengalaman di Indonesia. Itu salah satu target partai kami," ujar arek Madura itu.

Selain merekrut purnawirawan, PKPB merekrut profesional di lingkungan perusahaan milik keluarga besar Cendana untuk menjadi calon anggota legislatifnya. Sebut saja M.S. Ralie Siregar dan istri aktor film Onky Alexander, Paula Ayustina Saroinsong. Selepas menjadi Vice President Citibank, pada 1990 Ralie ditarik Grup Bimantara, perusahaan milik putra Soeharto, Bambang Trihatmodjo, untuk menangani stasiun televisi RCTI. Sedangkan Paula hingga kini masih menjadi Direktur PT Citra Lamtoro Gung Persada, perusahaan milik Tutut, yang bermarkas di Gedung Bank Bumi Daya.

Dari lingkaran Tommy Soeharto, PKPB menempatkan "tangan kanan" putra bungsu Soeharto, Dion Hardi, sebagai calon anggota legislatif nomor 1 di Lampung. Juga Elza Syarief, pengacara yang banyak mendampingi Tommy selama menjalani persidangan, sebagai calon anggota legislatif nomor 6 di DKI 2.

Sebagai calon anggota legislatif, mereka tak kecut bakal dicap sebagai kaki-tangan Orde Baru atau antek Soeharto seperti yang dinyatakan Hartono. Sebab, masyarakat di lapisan bawah, kata Ralie, kini justru merindukan suasana tenteram seperti di era Orde Baru. Sehingga, ketika media massa di Jakarta meributkan pernyataan Hartono, di Sumatera Utara justru tak satu pun media lokal yang memuatnya. "Isu anti-Soeharto tak laku lagi dijual. Masyarakat sudah bosan dengan intrik," katanya. Mari tunggu hasil pemilu 5 April, apa benar begitu.

Sudrajat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus