Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Partai Antek dan Dagangan Orde Baru-nya

Partai Karya Peduli Bangsa menjual Soeharto dan "madu-madu" Orde Baru dalam kampanye. Adakah partai dengan dana besar ini mengembalikan orde yang banyak dinilai telah gagal itu?

22 Maret 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANGGUNG kampanye, massa yang riuh-rendah, pembicara dengan voltase tinggi adalah tempat lahirnya kata-kata kontroversial. Kombinasi suasana itu juga yang terjadi di Gedung Graha Vidi di Yogyakarta, Minggu pekan lalu, ketika Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) mengadakan kampanye tertutup. Gedung itu memang hanya terisi separuh, tapi ratusan orang terus berteriak memberikan semangat kepada tokoh di panggung yang bicara dengan lantang dan sangat percaya diri. R. Hartono, ketua umum partai berlambang bintang dan padi kapas dalam bingkai segi lima itu, sejak menjabat Kepala Staf Angkatan Darat dulu selalu menyimpan kejutan-kejutan dalam bicaranya. Kali ini pun Hartono menyiapkan kejutan itu. Setelah memuji bekas bosnya, yaitu Presiden Soeharto, ia berkata dengan sangat jelas:"Kalau kalian merasa sebagai orang Yogya dan bangga menjadi orang Yogya, marilah jadi antek Soeharto." Massa gegap-gempita. Sebagian memekikkan "Hidup Mbak Tutut" berkali-kali, menyambut putri Soeharto yang "berduet" dengan Hartono hari itu.

Menjadi antek Soeharto di zaman ketika mahasiswa dan aktivis prodemokrasi di seantero negeri berkali-kali menggelar demonstrasi untuk mengadili presiden yang berkuasa 32 tahun itu? Apa pun alasan yang ada di kepala R. Hartono, ini sungguh ucapan yang provokatif—dan sedikit "menantang". Dan ia tidak kepeleset bicara. Kepada pers yang mewawancarainya, pensiunan jenderal berbintang empat ini menjelaskan bahwa kata "antek" dalam konotasi negatif sudah dilekatkan orang pada dirinya sejak lima tahun lalu. Jenderal asal Pamekasan yang lahir tahun 1941 itu mengaku tidak peduli. (baca Hartono: "Saya Bukan Brutus")

Malah, Hartono menegaskan bahwa jasa Soeharto terhadap bangsa Indonesia sangat besar. Untuk itu, ia siap membela Soeharto, bekas penguasa Orde Baru yang kini banyak berdiam di Jalan Cendana, Jakarta. Apalagi, "Pak Harto itu agamanya Islam. Jadi, kalau beliau dizalimi, akan saya bela," tuturnya tegas. Ia melihat sejak lengser pada 1998, Soeharto banyak dicerca dan dizalimi. Padahal, "Pak Harto telah menyejahterakan bangsa Indonesia. Buktinya, Indonesia dulu berhasil mengekspor beras," katanya. Semua ini kemudian menggerakkannya mendirikan partai. Dia tidak ragu untuk mengatakan bahwa Partai Karya Peduli Bangsa didirikan atas petunjuk dan arahan Soeharto.

Untuk apa? Membangkitkan kembali kejayaan Indonesia. Anda boleh setuju atau tidak. Tapi petunjuk Soeharto itulah yang lima tahun lalu dipegang erat-erat oleh R. Hartono—kabarnya, "dawuh" Soeharto itu didengar juga oleh Siti Hardijanti Rukmana (Tutut) dan suaminya, Indra Rukmana. "Pak Harto ingin seluruh rakyat bisa memiliki rumah, bisa menyekolahkan anak, bisa beribadah dengan tenang," ujar Hartono tentang ukuran kemakmuran yang di masa Soeharto dulu pun tidak dapat diwujudkan itu.

Tapi ini masa kampanye. Sudah biasa di masa ini para petinggi partai selalu menjual "kecap nomor satu". Rayuan dan bujukan berhamburan. Soalnya tinggal si pemilih akan percaya atau malah kesal. Untuk meyakinkan "jualan"-nya itu Hartono dan Siti Hardijanti serius menggalang kekuatan partai dan rajin mencari simpati ke berbagai daerah. Tutut bahkan masuk ke pesantren-pesantren Nahdlatul Ulama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia juga mengundang para kiai NU di Jawa Timur untuk datang ke Cendana bertemu Soeharto. "Saya minta didoakan...," kata Tutut tentang undangannya itu.

Soeharto dan "kejayaan Indonesia di masa pemerintahannya" sengaja diusung partai Hartono dan Tutut ini sebagai daya tarik untuk mencari dukungan. Simak saja iklan partai itu di stasiun televisi swasta yang sebagian sahamnya dimiliki oleh Keluarga Cendana. Bayangan gambar Soeharto menjadi latar belakang spot iklan kampanye partai yang juga menampilkan Tutut dan Hartono itu. "Kami angkat nama Pak Harto karena ada kerinduan masyarakat terhadap kondisi pada zaman beliau," ujar Ary Mardjono, sekretaris jenderal partai, yang dulu pernah menjadi Sekretaris Jenderal Golongan Karya.

Kerinduan? Hartono menyebut adanya gejala "SARS" di masyarakat. "Sindrom amat rindu Soeharto" itu diakui Hartono sudah diketahuinya sejak empat tahun yang lalu—setahun setelah Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie. Ary Mardjono melihat SARS ini bisa dilihat dari melimpahnya dukungan terhadap Tutut.

Maka, jargon-jargon kampanye partai didesain sedemikian rupa dengan menonjolkan berbagai "sukses" Orde Baru. Menurut ketua pengurus daerah Jawa Timur, Abdulloh Faqih, partainya melempar program utama yang dulu dipakai Orde Baru, yaitu pemulihan ekonomi, pengembangan pendidikan, dan pembangunan agama. "Saya yakin ketiganya akan mendapat dukungan rakyat," ujar Faqih kepada Adi Mawardi dari TEMPO.

Kebijakan pemerintahan partai itu juga akan banyak merujuk pada "Orde Soeharto"—kalau partai itu menang pemilu dan Tutut meraih jabatan presiden. Misalnya, sistem politik dengan multipartai seperti sekarang—yang dinilai Hartono membingungkan rakyat—akan dihapuskan. Partai hanya akan ada beberapa buah. Kebijakan lain: UUD 1945 akan dikembalikan seperti teks ketika disusun pertama kali. Hartono mengaku tak setuju amendemen UUD 1945. "Perubahan itu membuat makna UUD 1945 menjadi bergeser dari apa yang diinginkan oleh founding fathers kita," ujarnya.

Sebagai tentara, Hartono juga menyatakan tekadnya untuk memperjuangkan agar tentara bisa kembali berkiprah di wilayah politik seperti di masa Orde Baru. Tentara, di mata Hartono, adalah kelompok masyarakat paling berpengalaman di Indonesia. "Itu salah satu target partai kami," kata bekas Kepala Staf Sosial Politik ABRI itu.

Tentu semua niat Hartono dan partainya untuk kembali ke masa Soeharto itu perlu menunggu hasil pemilu—itu pun kalau rakyat setuju. Tapi Partai Karya rupanya tidak sekadar lihai merumuskan jargon. Partai itu juga tidak segan-segan bermain-main dengan gaya kampanye Orde Baru: membagi-bagi "sumbangan", sembako dan memberikan beasiswa (baca Partai Karya dan Duit Besarnya). Di Kabupaten Karangasem, Bali, misalnya, simpatisan mereka begitu terkesan dan memberikan pujian dengan mengatakan "partai lain datang membawa janji, tapi Partai Karya Peduli Bangsa datang membawa koper".

Koper yang dibawa tentu bukan berisi batu bata. Di Desa Timbrah, Karangasem, kucuran dana dirasakan oleh enam banjar yang masing-masing menerima bantuan Rp 3 juta-Rp 5 juta. Karena itu, Partai Karya Bali optimistis akan masuk tiga besar dalam pemilu nanti. Selain Karangasem, Kabupaten Klungkung dan Buleleng adalah target perolehan suara mereka. "Rakyat Bali menyambut gegap-gempita partai kami," kata I Putu Gede Jaya, ketua dewan pengurus daerah Bali. Di sana, dalam tiga kali pertemuan partai, yel-yel "Hidup Soeharto" beberapa kali membahana.

Kampanye Partai Karya di Surabaya juga berhamburan uang. Jumat siang dua pekan lalu, partai itu mendapat giliran kampanye di Jalan Flores, Kelurahan Tegalsari. Usai salat Jumat, kampanye dimulai dengan dihadiri 200 orang. Sebagai juru kampanye, tampil Hidayatullah Nilam, ketua dewan pengurus Kota Surabaya, dan Abu Hartono, mantan Duta Besar Indonesia di Italia. Setelah mengajak massa menyelamatkan Indonesia dengan cara-cara Soeharto, sejumlah pengurus partai menaburkan uang Rp 250 ribu pecahan Rp 50 ribuan kepada peserta. Massa lalu berebutan meraup rezeki nomplok yang beterbangan itu. Sebagian massa naik ke atas panggung, dan panggung pun roboh.

Lalu, siapa yang tidak tertarik datang bila duit begitu gampang disebarkan? Di pusat penampungan pengungsi Timor Timur di Tuapukan, Kupang Timur, Hartono dan Tutut juga dielu-elukan. "Tujuh puluh ribu jiwa pengungsi Tim-Tim di Timor Barat siap mendukung Mbak Tutut," kata mantan Komandan Pasukan Pejuang Integrasi (PPI) Sektor A, Joanico Cesario Bolo. Tutut kemudian menyampaikan salam ayahandanya yang meminta pengungsi itu tetap setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tak lupa, Tutut menggelar gebyar beasiswa senilai Rp 1 juta untuk 14 siswa SD dan SLTP asal Timor Timur. Saat berkampanye di Jalan Raden Saleh, Jakarta, partai ini juga menebar sumbangan beras kepada masyarakat. Sebuah sinyal bahwa dana yang dimiliki Tutut dan partainya memang seperti tiada duanya.

Di mana-mana akhirnya masyarakat memang menunggu kucuran rezeki dari Tutut. Di Kediri juga begitu. Bos kelompok usaha Citra ini sudah dijadwalkan berziarah ke makam Mbah Wasil, seorang dai pertama di Kediri, pekan lalu. Tanpa alasan jelas, tiba-tiba ia berbalik dan membatalkan acara. Padahal ia hanya tinggal beberapa meter dari makam yang dikeramatkan warga Kediri itu, sementara ratusan warga dan ulama telah menunggu kedatangan Tutut dengan sabar meskipun diguyur hujan. Tak ayal lagi, sumpah-serapah pun melayang menyaksikan kelakuan yang kurang terpuji itu.

Perjalanan di Kediri yang gagal itu jelas bukan ukuran bahwa Partai Karya akan dijauhi pemilih dalam hari pencoblosan nanti. Dengan jargon "antek Soeharto" dan juga SARS itu, Partai Karya berniat meraup suara cukup besar, setidaknya lebih dari tiga persen—batas jumlah suara untuk diperbolehkan mencalonkan satu pasangan presiden dan wakil presiden. Cita-cita itu bisa tercapai, bisa juga gagal meraih hati rakyat, atau malah mengundang antipati.

Dan antipati terhadap kampanye "antek Soeharto" itu sudah terjadi di Yogyakarta. Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X, secara tegas menolak ajakan Hartono dan mengingatkan warganya atas kemungkinan kembalinya rezim Soeharto. Warga Yogyakarta pada 20 Mei 1998 telah mengeluarkan Maklumat Yogyakarta, yang isinya mengajak masyarakat Yogyakarta mendukung reformasi. "Jika ada yang mengajak menjadi antek Orde Baru, saya jelas menolak. Saya tak mau menjadi anteknya siapa pun," tutur Sultan, tegas.

Ketua Komisi Pemilihan Umum Yogyakarta, Suparman Marzuki, juga menyesalkan pernyataan Hartono. Kasus itu pun sudah dilaporkan ke Pusat karena dinilai tidak etis. KPU Yogyakarta bertekad akan menghentikan kampanye partai jika ada juru kampanye yang tidak etis dalam berpidato di hadapan massa partainya. Suparman menilai Hartono menunjukkan karakter aslinya dan tak punya itikad baik. "Jika kembali ke masa Soeharto, berarti kembali ke anarkisme," ujarnya kepada Syaiful Amien dari TEMPO.

Sementara itu, juru kampanye Partai Golkar, Prabowo Subianto, berharap kampanye partai politik tak mengkultuskan seseorang dan tidak kembali melihat masa lalu. Meskipun bekas menantu Soeharto ini juga mengkampanyekan keberhasilan di masa-masa awal Orde Baru, ia tak menutup mata atas kekurangan masa itu. Mantan Panglima Kostrad itu pun tidak setuju jika Soehartoisme bangkit. "Saya kira ini cuma kampanye. Silakan saja. Tapi sebaiknya tidak melibatkan Pak Harto," ujarnya kepada Ecep S. Yasa dari TEMPO.

Bukan hanya Prabowo yang tidak setuju dengan tindakan membawa-bawa nama Soeharto, sebagian tim sukses Tutut juga gundah dengan ucapan "antek Soeharto" itu. Tutut tidak mau berkomentar soal ini, namun orang-orang dekatnya menganggap ucapan Hartono terlalu vulger dan kontraproduktif. Tapi sebagian bisa memaklumi karena kosakata yang dimiliki Hartono dinilainya kurang. Orang-orang sekitar Tutut itu berharap jagonya itu segera mengungkapkan keberatannya secara terbuka dan tak perlu rikuh dengan Hartono. Sementara itu, Hartono kelihatannya bersikap "sudah telanjur basah, ya, sekalian mandi". Dia bilang ucapannya itu, "Tidak keprucut (kelepasan), tapi sudah in mind."

Ary Mardjono punya cerita sekitar "antek Soeharto" itu. Ary pernah bertanya pada Hartono soal ini. Kabarnya, ucapan itu berawal dari sebuah pesan pendek yang nyelonong ke telepon genggam Hartono. Isi pesan pendek itu menyebut Hartono sebagai antek Soeharto dan dijawab Hartono dengan, "Biarlah saya jadi antek Soeharto." Namun Hartono enggan menjawab apakah ajakannya agar masyarakat menjadi antek Soeharto itu sudah dirancang matang sebelumnya. Namun, menurut dia, cita-cita mengembalikan kejayaan Orde Baru telah dirancangnya dengan matang. Dengan ide itulah Hartono menarik simpati tokoh-tokoh partai lain untuk menyeberang ke Partai Karya.

Artinya, banyak yang setuju dengan ide Hartono. Tapi banyak juga yang tidak setuju. Menurut pengamat militer Koesnanto Anggoro, apa yang ditampilkan dalam kampanye PKPB dan ucapan Hartono adalah upaya penyederhanaan masalah dan pembodohan masyarakat. "Orang-orang desa yang antipati kepada Soeharto juga banyak," ujar Koesnanto. Yang juga tak setuju dengan Hartono adalah saingan politiknya, Wakil Presiden Hamzah Haz. Kata Haz, Orde Baru justru jatuh karena melakukan berbagai kesalahan. "Bila ada yang mengatakan lebih enak hidup di masa Orde Baru, itu aneh," kata Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan itu kepada Fadilasari dari TEMPO.

Kritik atas ajakan kembali ke zaman Soeharto dan Orde Baru juga datang dari Hardoyo, bekas Ketua Umum CGMI. Dengan utang luar negeri yang ditumpuk rezim Soeharto, "Sekarang setiap bayi yang dilahirkan sudah punya utang Rp 15 juta," kata Hardoyo kepada Ramidi dari Tempo News Room.

Judilherry Justam, bekas tahanan politik Peristiwa 15 Januari (Malari), menyorot Orde Baru yang membuat kehidupan politik menjadi beku gara-gara penyederhanaan partai dan penerapan asas tunggal Pancasila. Orang-orang yang mengkritik dan berbeda pendapat dengan Soeharto pun ditahan dan dibunuh hak sipilnya seperti para anggota Petisi 50. "Bagaimana membangun demokrasi jika sedikit-sedikit sudah dikenai Undang-Undang Anti-Subversi," kata Judilherry Justam. Seorang keluarga korban peristiwa penindakan Orde Baru terhadap kelompok berlabel Islam di Lampung pada 1989 juga menolak ajakan Hartono. "Rezim Soeharto itu sangat kejam dan menindas. Masa, kita mau kembali ke masa itu," kata Fitri Hidayat, keluarga korban Peristiwa Lampung. Keluarga korban Peristiwa Tanjung Priok, Mochtar Benny Biki, juga mengajak masyarakat mewaspadai Partai Karya, yang dinilainya hanya akan menjadi alat untuk mencuci dosa Orde Baru.

Hartono sendiri tidak ambil pusing dengan semua komentar itu. "Kami hanya kelompok yang ingin mengembalikan UUD 1945 dan Pancasila seperti semula. Itu saja," katanya pendek

Fenomena Hartono dengan "anteknya" ini dinilai pengamat politik Mochtar Pabottingi sebagai bukti kegagalan reformasi. Artinya, selama ini tak pernah ada era reformasi dan tidak ada pergantian rezim. Yang ada memang orang lama dalam "baju baru". Toh Mochtar dan Kusnanto Anggoro tidak yakin jualan Hartono ini bakal banyak "dibeli" rakyat. Partai Karya dinilai keduanya tak akan meraih suara yang signifikan. "Masyarakat sudah semakin cerdas dan tak mudah dibodohi lagi," ujar Mochtar.

Tapi, tokoh yang provokatif, guyuran dana besar, plus ingatan kolektif rakyat yang pendek gampang membuat orang lupa sejarah.

Hanibal W.Y. Wijayanta, Jobpie Sugiharto, Heru C. Nugroho (Yogyakarta), Sunudyantoro (Surabaya),Istiqomatul Hayati (Tempo News Room)


Politik dan Keamanan

Pemangkasan partai politik

Bentuk Kebijakan
Sembilan partai peserta Pemilu 1971 dipaksa melakukan fusi. PDI menjadi tempat penampungan kelompok nasionalis dan agama non-Islam. PPP tempat kelompok Islam. Pemerintah membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya.

Akibat

  • Partai politik baru dilarang didirikan selama masa Orde Baru.
  • Organisasi massa Islam dan lainnya sangat sempit ruang geraknya.
  • Praktek mobilisasi massa untuk mendukung Golkar.

Konsep massa mengambang

Bentuk Kebijakan
Aktivitas partai dibatasi agar tidak sampai ke tingkat akar rumput. Keanggotaan masyarakat pada partai juga dibatasi.

Akibat
Rakyat "buta politik".

Penerapan asas tunggal

Bentuk Kebijakan
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1980 tentang keharusan partai dan ormas memakai asal tunggal Pancasila.

Akibat
Keberagaman asas dan dasar berkumpul dalam organisasi hilang.

Kebebasan berpendapat

Bentuk Kebijakan
Diberlakukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers sebagai kontrol atas gerak pers.

Akibat
n Pembredelan 14 koran pasca-Peristiwa Malari pada tahun 1974. Pembredelan Tempo, Detik, Editor, pada 1994

Politik di kampus

Bentuk Kebijakan
Penerapan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK)

Akibat

  • Dewan Mahasiswa dibubarkan, aktivis politik mahasiswa ditangkap.
  • Politik praktis dilarang di kampus.
  • Kaderisasi pemimpin dari kampus mandek.

Pendekatan militeristik

Bentuk Kebijakan
Dwifungsi ABRI.

Akibat
ABRI mendapat jatah kursi gratis di parlemen, tanpa mengikuti pemilu.

Bentuk Kebijakan
Represi dan aksi militer.

Akibat

  • Jatuh korban dalam operasi terhadap Komando Jihad, peristiwa Tanjung Priok, kasus Talangsari Lampung, kasus Nipah di Madura, Malari, kerusuhan 27 Juli, peristiwa Mei 1998.
  • Ribuan orang tewas dalam Operasi Jaring Merah di Aceh pada 1989-1998.
  • Korban jatuh dalam invasi ke Timor Timur, peristiwa Santa Cruz, Liquica dan lainnya.

Pemerintahan sentralistik

Bentuk Kebijakan
Otonomi daerah sangat terbatas.

Akibat

  • Niat memisahkan diri dari Jakarta menguat karena ketidakadilan pembagian sumber daya antara Pusat dan daerah.
  • Aspirasi daerah terabaikan.

Bentuk Kebijakan
Pemberlakukan Undang-Undang Subversi.

Akibat
Banyak aktivis ditangkap dan dipenjara.

Ekonomi

Laju pertumbuhan ekonomi jadi tujuan utama.

Konsep trickle down effect jadi jargon nomor satu.

Bentuk Kebijakan
Menciptakan konglomerasi untuk menghela gerbong ekonomi bangsa.

Akibat

  • Fasilitas yang besar pada konglomerat tertentu.
  • Tumbuh pesat korupsi-kolusi-nepotisme, termasuk di kalangan keluarga Soeharto.
  • Konglomerasi akhirnya terbukti gagal menjadi lokomotif pembangunan, meninggalkan utang raksasa yang harus ditanggung seluruh rakyat lewat APBN.

Bentuk Kebijakan
Bertumpu pada utang luar negeri.

Akibat
Utang luar negeri pada akhir awal masa pemerintah Soeharto (1966) tercatat US$ 2,1 miliar. Pada akhir masa Soeharto (Maret 1998) menjadi US$ 65,5 miliar (utang pemerintah) dan US$ 72,2 miliar utang swasta.

Bentuk Kebijakan
Korupsi ditanggulangi setengah hati, hukuman untuk koruptor relatif ringan.

Akibat

  • Korupsi merajalela di mana-mana. Hukum yang ringan menjadi insentif untuk korupsi. n Tak ada rasa malu, apalagi jera, untuk korupsi.
  • Perilaku korupsi pejabat di tingkat atas diikuti sampai ke tingkat bawah.

Swasembada pangan

Bentuk Kebijakan
Mengerahkan dana besar untuk mencetak sawah dan membangun irigasi.

Akibat
Swasembada pangan tercapai hanya tahun 1984, setelah itu kembali Indonesia menjadi importir beras.

Sosial dan Budaya Suku-ras-agama

Bentuk Kebijakan

Pers tidak dibenarkan menulis masalah SARA ini.

Akibat

  • Kerusuhan dengan motif suku-ras-agama terjadi di banyak daerah tanpa masyarakat punya mekanisme untuk menanggulanginya sendiri.
  • Warga keturunan Cina menjadi korban diskriminasi dalam bidang politik, pendidikan, kesempatan bekerja di pemerintahan.

Hukum dan Hak Asasi Penyelesaian pemberontakan PKI

Bentuk Kebijakan

  • Penumpasan sisa PKI
  • Penggolongan tahanan politik A,B,C
  • Screening dan penelitian khusus pada saat penerimaan pegawai negeri dan pejabat negara.

Akibat

  • Komisi pencari fakta menemukan jumlah korban adalah 78 ribu orang tewas. Almarhum Letjen Purn. Sarwo Edhi Wibowo, Komandan RPKAD, pernah menyebut jumlah tiga juta orang sebagai korban.
  • Cap buruk menimpa keluarga eks PKI sampai ke anak dan cucu mereka.

Penegakan hukum

Bentuk Kebijakan
Kekuasaan eksekutif sangat dominan.

Akibat

  • Hukum didikte oleh eksekutif.
  • Hukum melemah, mafia peradilan berkuasa.
  • Hukum milik orang berduit yang sanggup membayar.
  • Rakyat tidak percaya pengadilan adalah tempat mencari keadilan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus