Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Partainya Sekuler, Aturannya Syariah

29 Agustus 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Michael Buehler

  • Guru besar madya ilmu politik di Universitas Northern Illinois; dapat dikontak di [email protected].

    DI Bandar Udara Soekarno-Hatta, yang jadwal penerbangannya terkenal molor, berderetlah toko buku. Di terminal domestik, toko itu umumnya menyasar pembaca Indonesia. Topik buku yang dijual di sini umumnya seputar panduan hidup beragama yang bisa dibaca tanpa tuntunan ulama, serta buku-buku antisemitik. Di terminal internasional, tema buku bervariasi—dengan target pembaca pebisnis asing ataupun warga aneka kedutaan. Antara lain "fakta baru" munculnya Islam radikal di Indonesia. Buku-buku itu berkisah tentang suksesnya partai-partai Islam memperlemah basis sekuler Negara Indonesia.

    Implementasi peraturan daerah tentang syariah adalah salah satu tanda paling nyata "islamisasi" Indonesia. Pemicunya partai-partai Islam yang memainkan "politik identitas muslim". Setidaknya itulah kesimpulan para pakar dalam sejumlah buku yang terbit satu dekade belakangan.

    Hasil penelitian saya tentang perda syariah menunjukkan bukan partai Islam yang memisahkan diri dari tradisi sekuler di Indonesia. Justru sebaliknya. Para politikus yang berafiliasi dengan partai sekuler—dan punya karier panjang di birokrasi—seperti Golkar dan PDI Perjuangan, termasuk di TNI dan Kepolisian RI, yang merancang, mengadopsi, dan menerapkan perda-perda syariah.

    Konkretnya, 7 dari 33 provinsi dan 51 dari sekitar 510 kabupaten mengadopsi sekurangnya satu perda syariah dari 1999 hingga 2009. Di DPRD di semua provinsi, yang paling getol mengadopsi perda syariah adalah Fraksi Golkar dan Fraksi PDIP—kecuali di Provinsi Aceh. Polanya rata-rata sama untuk wilayah administrasi di bawah provinsi.

    Golkar, yang berjaya pada Pemilu 2004, menang dengan suara mayoritas dalam pembahasan rancangan perda syariah di empat kabupaten. Partai itu pun menang dengan dukungan fraksi lain di sepuluh kabupaten. Hal yang sama terjadi pada PDIP. Dengan dukungan fraksi lain, PDIP, yang menang pada Pemilu 1999, memperjuangkan penerapan perda syariah di delapan kabupaten. Dua partai Islam, Partai Amanat Nasional dan Partai Persatuan Pembangunan, meraup suara terbanyak dalam Pemilu 2004 di tujuh kabupaten. Kedua partai ini berhasil menelurkan perda-perda syariah di wilayah kabupaten itu pada 2004-2009.

    Adapun Partai Keadilan Sejahtera, yang konon dianggap biang penerapan perda syariah, tak punya suara mayoritas ataupun pluralitas di satu DPRD pun—yang menerapkan perda syariah. Singkatnya, partai sekulerlah yang mendominasi parlemen daerah dalam menerbitkan perda syariah.

    Kita juga memeriksa latar belakang dan afiliasi kepartaian pemimpin eksekutif daerah. Kebanyakan DPRD di Indonesia lemah dan sering tak punya kapasitas membuat rancangan perda, termasuk rancangan perda syariah. Data saya tentang ­karier kepala pemerintahan di daerah memperlihatkan 63 dari mereka menandatangani dan menerapkan sekurangnya satu perda syariah sejak 1999 hingga 2009. Nah, 37 di antaranya adalah birokrat dengan afiliasi ke Golkar.

    Delapan kepala pemerintahan di daerah adalah mantan perwira TNI atau Polri. Tiga adalah anggota PPP dan satu warga PAN. Saya tidak dapat mengidentifikasi latar belakang dari 14 pemimpin eksekutif lainnya. Singkatnya, hampir 60 persen pemimpin eksekutif di daerah adalah birokrat yang punya hubungan ke Golkar yang sekuler.

    Para mentor politik yang mengklaim partai-partai Islam berada di balik implementasi perda syariah berbicara dengan nada mengawaskan "syariahisasi" dalam sistem pemerintahan Indonesia. Kenyataannya, perda syariah hanya diberlakukan di 21 persen provinsi dan sekitar 10 persen kabupaten dalam dekade terakhir. Perda ini lalu muncul bersamaan di Aceh, Banten, Jawa Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Barat. Di lima wilayah inilah kita dapati 69,75 persen perda syariah ada di tingkat provinsi dan 91,67 persennya hadir di tingkat kabupaten.

    Temuan saya menimbulkan pertanyaan, mengapa anggota Golkar di sejumlah kecil provinsi mendorong penerbitan regulasi macam ini. Saya berasumsi, kombinasi antara sempalan lama dan dinamika politik baru telah mendorong politikus sekuler menerbitkan perda syariah. Pada 1950-an, kelima partai yang memperjuangkan undang-undang syariah menyaksikan pemberontakan Darul Islam atau PRRI/Permesta. Pemerintah menghentikan geger itu dengan cepat. Tapi banyak jaringan islamis yang terbentuk selama pemberontakan tetap kukuh terjaga.

    Watak koersif rezim Soeharto pelan tapi pasti menekan jaringan ini menjadi gerakan bawah tanah yang tak tampak selama tiga dasawarsa. Keterbukaan politik yang dimulai pada 1998 membuat sempalan-sempalan di daerah muncul kembali ke permukaan dan mendapatkan arti politik yang baru.

    Pada saat yang sama, diberlakukannya pemilu kepala daerah dan pemilu legislatif di daerah telah menciptakan imperatif-imperatif baru untuk elite "lama" Orde Baru. Pertarungan menjadi kepala daerah, misalnya, kini menuntut pemeliharaan jaringan di daerah secara terus-menerus—dan menjadi proses yang mahal.

    Partai-partai politik rasanya tak punya cukup dana dan sarana untuk mendukung calon selama proses. Kebanyakan partai di Indonesia dewasa ini dibangun "di udara". Dengan lain kata, mereka tak punya konstituen di daerah. Yang ada hanyalah massa yang dimobilisasi selama musim kampanye. Partai-partai juga miskin dan tak dapat membantu calon memenuhi tekanan finansial.

    Keterbelakangan partai-partai di tingkat subnasional telah membawa para politikus mencari basis alternatif ke arah kekuasaan, yaitu basis yang dapat memasok prasarana politik, seperti tim kampanye dan akses kepada elektorat. "Personalisasi" politik lokal, di mana para politikus mengandalkan jaringan pengaruh yang bersifat pribadi—alih-alih membangun hubungan tetap dengan partai—merupakan fenomena yang bisa diamati dari Aceh sampai Papua. Bentuk personalisasi ini menjadi amat khas di provinsi-provinsi dengan jaringan Islam kuat. Para politikus diharapkan mengakomodasi kepentingan kelompok-kelompok islamis dengan memperjuangkan penerapan perda syariah sebagai balas jasa atas dukungan politik selama pemilihan.

    Di Provinsi Jawa Barat, misalnya, tokoh Golkar seperti ­putri Soeharto, Siti Hardijanti, dan Jusuf Kalla, telah menggunakan jaringan islamis yang punya alur ke tokoh Darul Islam, Syekh Panji Gumilang. Ini terjadi dalam setiap kampanye pemilihan sejak 1999. Begitu pula yang terjadi sebelum pemilihan di Provinsi Sulawesi Selatan. Banyak tokoh Golkar, termasuk Jenderal TNI Amin Syam serta gubernur sekarang dan Ketua DPP Golkar Syahrul Yasin Limpo, telah membujuk Komite Pene­rapan Syariah Islam menjadi organisasi payung bagi para mantan pejuang Darul Islam yang didirikan pada 2000.

    Penerapan perda syariah turut memasok sarana bagi politikus Golkar untuk mengakumulasi uang yang dibutuhkan, dan meretas jalan bagi para kepala daerah untuk juga berleha-leha di tempat hiburan. Jalan menuju kenikmatan yang galib dijumpai di dunia bisnis telah membuka jalur baru untuk dilewati para petinggi di daerah. Beberapa perda syariah menciptakan secara de facto monopoli atas distribusi alkohol. Lebih dari 20 kabupaten telah memberlakukan perda pengumpulan zakat. Para kepala daerah mendapat kekuasaan nyaris tak terbatas dalam hal pengumpulan dan pembagian amal "religius".

    Wali Kota Makassar dan mantan anggota Golkar, Ilham Arief Sirajuddin, menyampaikan kepada saya secara pribadi dalam sebuah wawancara bahwa perda zakat menghasilkan kurang-lebih Rp 2 miliar setiap bulan. Dari fakta yang saya temukan, beberapa kepala daerah menggunakan dana ini untuk membangun ikatan kesetiaan dengan pialang kekuasaan politik bernilai tinggi.

    Singkat kata, kebanyakan perda syariah diimplementasikan oleh petualang politik yang berafiliasi ke partai-partai sekuler, dalam konteks lingkungan baru politik lokal yang kompetitif. Karena itu, staf di aneka gerai buku yang saya sebut di awal tulisan tadi sebaiknya menata ulang isi toko mereka: pindahkan saja buku-buku yang memotret partai Islam—sebagai kekuatan utama "syariahisasi" Indonesia—ke rak buku fiksi.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus