Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ifdhal Kasim
BERBEDA dengan masa Orde Baru, sekarang (masa reformasi) daerah diberi kewenangan mengatur dirinya sendiri atau "otonomi", dan kepada daerah tertentu diberi pula kewenangan yang lebih luas dalam mengatur dirinya sendiri atau diberi status "otonomi khusus". Misalnya di Aceh atau Papua.
Lepas dari kungkungan sentralisasi ketat di masa lalu, daerah seakan-akan berlomba mengekspresikan otonomi itu dengan menggali nilai khas setempat, lalu mengaktualisasinya dalam peraturan daerah. Maka lahirlah berbagai perda dewasa ini yang bersumber dari nilai-nilai yang dianggap khas di daerah, mulai adat, tradisi, hingga agama—yang populer dengan "perda syariah".
Sejak 1999 hingga 2009, sudah terbit tidak kurang dari 154 kebijakan di daerah dalam bentuk perda. Berdasarkan pemantauan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), dari 154 perda itu daerah tingkat I (provinsi) menyumbang 19 perda dan daerah tingkat II (kabupaten/kota) merupakan penyumbang terbesar, 134 perda. Aturan di dalamnya kebanyakan berkaitan dengan kontrol terhadap moral dan akhlak, mulai soal prostitusi, minuman keras, hingga cara berbusana bagi perempuan muslim.
Yang menjadi keprihatinan kita adalah, sebagaimana Âdiamati Komnas Perempuan, perda-perda itu mengingkari kebinekaan dan diskriminatif terhadap perempuan. Hasil pemantauan Human Rights Watch memperkuat catatan Komnas Perempuan. Lembaga swadaya masyarakat hak asasi manusia internasional itu memantau pemberlakuan perda yang bersumber dari syariah Islam di Aceh—yang disebut qanun. Temuannya sama: ada pelanggaran hak asasi manusia.
Bagaimana kita melihat fenomena kelahiran perda-perda itu dalam kaitannya dengan konsep tanggung jawab negara (state responsibility) di bidang hak asasi manusia? Apakah, dengan status "otonomi" atau "otonomi khusus", pemerintah daerah dengan sendirinya diberi otoritas melakukan "derogation" terhadap kewajiban negara sebagai negara pihak (state party) dari perjanjian internasional hak asasi manusia yang sudah kita ratifikasi? Atau dapatkah kita melihat produk legislasi daerah itu sebagai cerminan dari penerapan doktrin "margin apresiasi" (margin of appreciation doctrine) atas masalah moral yang berkaitan dengan religious-legal suatu agama?
Indonesia, sejak reformasi, secara ekstensif mengikatkan diri dengan berbagai perjanjian internasional hak asasi manusia. Sampai sekarang, Indonesia telah meratifikasi enam perjanjian. Perjanjian-perjanjian itu berkaitan dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan; antipenyiksaan dan hukuman tak manusiawi; penghapusan diskriminasi rasial; pengakuan hak anak; jaminan hak ekonomi, sosial, dan budaya; serta pengakuan atas hak sipil dan politik. Perjanjian-perjanjian itu menempatkan negara sebagai penanggung jawab (the duty holder) bagi pemajuan (to promote), perlindungan (to protect), dan pemenuhan (to fulfill) hak asasi manusia.
Dengan meratifikasi perjanjian-perjanjian internasional hak asasi manusia, Indonesia telah menjadi negara pihak dari perjanjian-perjanjian itu. Sebagai negara pihak, Indonesia secara hukum terikat (legally binding) dan tunduk kepada berbagai ketentuan di dalam kovenan atau konvensi yang telah diratifikasi.
Indonesia wajib memastikan semua produk legislatif pada level nasional dan daerah, baik yang ada maupun yang akan dirumuskan, sesuai (compatible) dengan ketentuan kovenan atau konvensi. Negara wajib pula memastikan pelaksanaan konvensi-konvensi itu tanpa diskriminasi berdasarkan warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, pandangan politik, asal-usul sosial, dan status kelahiran. Dengan demikian, negara harus menempatkan diri sebagai "the duty holder".
Kalau kita letakkan dalam perspektif tanggung jawab negara di bidang hak asasi manusia itu, terlihat jelas terjadi defisit perlindungan hak asasi manusia di dalam perda syariah. Mestinya perda itu dapat memperkuat jaminan perlindungan hak asasi manusia di daerah—dengan melakukan domestikasi prinsip dan norma dalam instrumen hak asasi manusia internasional, baik melalui langkah-langkah harmonisasi (harmonization) maupun penyesuaian (compatibility). Yang terjadi justru perda dijadikan instrumen untuk mereduksi hak asasi manusia, yang dijamin secara universal, atas nama "otonomi" atau atas nama "otonomi khusus"—yang menghidupkan kembali partikularisme. Padahal status ini tidak dengan sendirinya memberi otoritas kepada daerah untuk membuat "derogation" atas suatu kewajiban yang terbit dari perjanjian yang sudah diratifikasi.
Maraknya perda syariah—yang mengatur kode moral dan akhlak—menunjukkan dengan gamblang bahwa kita belum konsisten dengan tekad politik ketika meratifikasi perjanjian internasional hak asasi manusia. Tekad itu: memperkuat perlindungan hak asasi manusia di tingkat nasional dengan mentransformasi norma-norma dalam instrumen internasional hak asasi manusia ke dalam hukum nasional, termasuk hukum di daerah (perda). Yang terjadi, perda itu justru mereduksi jaminan hak asasi manusia dalam instrumen internasional yang sudah kita ratifikasi. Bukan hanya itu. Hak-hak warga negara yang dijamin dalam konstitusi ikut pula direduksi. Kehadiran perda itu sekaligus menggambarkan kegagalan negara dalam melaksanakan kewajibannya.
Lalu, apa yang bisa dilakukan apabila terjadi incompatibility? Arsitektur hukum Indonesia telah menempatkan produk legislasi daerah (perda atau qanun) dapat diuji oleh peraturan perundangan yang lebih tinggi. Masalahnya, kontrol terhadap produk legislasi daerah sepertinya jalan di tempat. Kontrol internal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta Kementerian Dalam Negeri tidak berjalan memadai. Kontrol eksternal oleh Mahkamah Agung, berdasarkan perkara yang diajukan kepadanya, juga tidak menggembirakan. Yang tersisa pada kita adalah negara yang tampak condong mengakomodasi tuntutan partikularisme yang merebak di daerah-daerah ketimbang menjalankan kewajiban konstitusionalnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo