Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI Batujajar, Jawa Barat, pagi belum lagi turun. Seorang lelaki muda tersentak bangun, lalu tergopoh-gopoh keluar dari kamarnya pada pukul dua pagi. Tubuhnya menggigil menahan hawa pagi yang menampar-nampar, tapi ia memaksa dirinya berlari. "Cepat, cepat, cepat!" sebuah hardikan keras memaksanya berpacu lebih kencang. Baru beberapa meter, bruk. Ia menabrak sebuah jip Land Rover yang diparkir di pinggir lapangan. Rasa kantuknya belum sepenuhnya pupus. Ambruk sebentar, ia bangkit dan meneruskan olahraga pagi itubeberapa orang tersenyum menyaksikan kejadian tersebut. Tak lama kemudian, ia sudah larut bersama sejumlah kawannya dalam kegiatan olahraga yang terlalu pagi bagi ukuran orang normal itu.
Pemandangan pagi di Pusat Pendidikan Komando Grup 3 Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat, Batujajar, Bandung, itu adalah pemandangan tentang aktivitas yang keras, rutin, dan teratur. Sekitar 200 orang berkumpul dan digojlok selama tujuh bulan untuk mendapat brevet Kopassus. Tidur pukul 10 malam untuk kemudian dibangunkan empat jam kemudian. Berlari, merangkak, dan menembak dengan kondisi tubuh yang tak selalu fit karena kurang istirahat, sementara konsumsi makanan mereka tak cukup memenuhi standar. "Uang makan hanya Rp 7.500 untuk tiga kali makan," kata Sersan Kepala Yusuf, kepala dapur di pusat pendidikan itu.
Tapi Kopassus adalah pesona bagi sebagian prajurit TNI. Sebuah kesatuan elite yang terpandang dan bisa menjanjikan banyak hal: karir yang melejit, bintang-bintang di pundak, dan kemasyhuran. "Malu jika kembali ke kesatuan tanpa brevet komando," kata Harianto, tentara berpangkat prajurit dua yang mengulang pendidikan setelah gagal mengikuti seleksi tahun lalu.
Namun, membandingkan animo besar dari orang semacam Harianto dengan citra Kopassus saat ini adalah sebuah paradoks. Di dunia luar, Kopassusyang Senin pekan lalu merayakan ulang tahun ke 49tak secemerlang yang dibayangkan Harianto. Nama kesatuan elite ini pernah harum karena kesuksesan sejumlah operasi, tapi dalam satu dasawarsa terakhir Kopassus terus-menerus didera kritik: dari pelanggaran hak asasi manusia hingga kasus penculikan aktivis mahasiswa.
Sejatinya, Kopassus didirikan untuk menjalankan operasi-operasi tempur. Pada masa 1950, Indonesia tengah sibuk memerangi pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS) yang didukung Belanda. Pemimpin Operasi Kolonel Inf. A.E. Kawilarang dan Komandan Penyerbuan Kolonel Inf. Slamet Ryadi merasa kewalahan melawan pasukan pemberontak yang diperkuat dua kompi bekas Korps Speciale Troepen (KST)sebuah pasukan elite Belanda. Keduanya lalu menggagas sebuah pasukan khusus Indonesia yang dapat diandalkan untuk berperang di segala medan.
Beruntung, Kawilarang segera menemukan seorang bekas tentara Belanda bernama Rokus Bernandus Visser. Visser, yang menikah dengan seorang perempuan Sunda dan mengganti nama menjadi Mochamad Idjon Djambi, berpengalaman menangani pasukan khusus Belanda selama Perang Dunia II. Dan Idjon menerima permintaan Kawilarang untuk menjadi pelatih pasukan komando.
Maka, pada 16 April 1952, Kesatuan Komando Tentara dan Teritorium III (Kesko TT III)cikal-bakal Kopassusdiresmikan. Mayor Inf. Idjon Djambi menjadi komandan pertama. Latihan-latihannya diselang-selingi operasi pemberantasan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang sedang berkecamuk di Jawa Barat, tempat kesatuan itu bermarkas.
Kesatuan ini tadinya dibentuk dengan semangat militer murni. Tapi peran itu tidak bertahan lama. Pada 1956, di era kepemimpinan Mayor Djaelani, Komandan Kopassus yang kedua, pasukan Baret Merahsalah satu julukannyamulai masuk ke arena politik. Ketika itu, muncul keretakan antara Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Abdul Haris Nasution dan sejumlah perwira di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis.
Mereka menilai Nasution bersalah karena bersekutu dengan Sukarno merangkul PKI untuk masuk ke pemerintahan, juga membiarkan korupsi dan inefisiensi membelit Republik yang masih amat belia. "Mereka sepakat kabinet harus dijatuhkan, Presiden harus dikekang... dan Nasution, yang mereka anggap mengabdi pada kepentingan pemerintah yang kebetulan berkuasa, harus minggir," pengamat politik Ulf Sudhaussen melukiskan ketegangan itu dalam bukunya, Politik Militer Indonesia 1945-1947.
Djaelani, yang ikut dalam kelompok penentang Nasution, masuk terlalu jauh. Rapat-rapat rahasia untuk menggoyang Nasution berlangsung di Markas Resimen Para-Komando Angkatan Darat (RPKAD), nama Kopassus ketika itu. Banyak prajurit Baret Merah juga dilibatkan dalam kasak-kusuk ini.
Dan RPKAD memang punya alasan. Menurut Jenderal L.B. Moerdaniseperti yang tertulis dalam biografinya, Benny Moerdani, Profil Prajurit KenegaraanDjaelani menilai Nasution telah menelantarkan kesejahteraan prajurit Baret Merah. Kondisi pasukan tak terurus, asrama bobrok, dan beragam kesulitan hidup lainnya menimpa para anggota militer. "Perhatian pemerintah Indonesia kepada pasukan andalan ini dirasakan sangat mengecewakan," kata Benny.
Ujung dari kemarahan ini adalah rencana menculik Nasution. Pasukan RPKAD dan Siliwangi bahkan telah menyusun strategi untuk berkumpul di daerah Kranji, Bekasi, untuk secara bersama-sama "menyerbu" Jakarta. Tapi upaya itu gagal. Djaenali tak berhasil memobilisasi pasukannya karena gerakan itu telah bocor ke telinga Nasution. Ia hampir dibunuh anak buahnya karena dinilai berkhianat. Belakangan, Djaelani diberi sanksi administratif karena gerakan itu.
Selepas masa-masa itu, sejarah Kopassus bergerak ibarat jet coaster yang naik-turun. Periode keemasan, misalnya, diraih ketika pasukan itu berhasil menjadi motor TNI dalam mematahkan pemberontakan Gerakan 30 September 1965. Periode sulit ini1965-1967membawa Kopassus kepada sejumlah persoalan baru. Bidang intelijen, misalnya. Sadar bahwa pemberontakan tak cukup diatasi hanya oleh pasukan tempur atau parakomando, kesatuan ini mulai mengembangkan kekuatan intelijen Sandi Yudha pada masa itu.
Pada 1967, lahirlah Grup IV Kopassus yang menangani bidang intelijen. Grup baru ini sekaligus melengkapi tiga grup sebelumnya, yang meliputi parakomando, pendidikan, dan latihan. Ketika parakomando menyerang musuh dengan senjata, Sandi Yudha menyerang lawan dengan kekuatan intelijen. Taktik yang lazim adalah menguasai beberapa tokoh kunci musuh untuk melemahkan pasukan lawan.
"Jika parakomando menghancurkan batu dengan palu, Sandi Yudha menghancurkan batu dengan cairan kimia," Komandan Jenderal Kopassus Mayor Jenderal Amirul Isnaeni memberikan ilustrasi. Persoalannya, kegiatan Sandi Yudha berpotensi menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Teknik memecah-belah lawan dan gerakan-gerakan bawah tanah mudah sekali dipelintir menjadi kegiatan yang melawan hak asasi. Sejarah Kopassus membuktikan hal itu.
Tengoklah Timor Loro Sa'e menjelang kemerdekaannya pada September 1999. Kopassus bersama beberapa kesatuan TNI lainnya menjadi sorotan internasional karena dianggap bertanggung jawab atas tewasnya warga prokemerdekaan di negeri kecil itu. Beberapa media massa Barat melansir, Grup IV (Sandi Yudha) dan Grup V (Antiteror) Kopassus telah mendidik sekitar 11 ribu milisi sipil prointegrasi.
Pasukan milisi inilah, menurut berita-berita itu, yang digunakan sebagai garda depan TNI. Mereka bertugas mengampanyekan otonomi khusus, mengintimidasi kelompok prokemerdekaan, serta melakukan aksi bumi hangus setelah kelompok prointegrasi kalah dalam jajak pendapat.
Investigasi The Carter Center, sebuah organisasi nirlaba Amerika yang memantau jalannya jajak pendapat di sana, menyebutkan, di antara 15 ribu serdadu milisi yang diterjunkan, terdapat sekitar 400 anggota Kopassus.
Annete Clear, perempuan sukarelawan Carter Center yang mengamati markas milisi Saka di Baucau selama enam minggu, mengatakan bahwa komandan milisi Saka tak lain dari seorang anggota Kopassus aktif. "Ia terang-terangan mencantumkan identitas itu di kartu namanya," kata Clear, dalam wawancara dengan TEMPO, dua tahun silam.
Cerita hampir serupa datang dari Aceh. Sebelum dan sepanjang periode Operasi Jaring Merah (1989-1998) Daerah Operasi Militer (DOM) diberlakukan di Aceh, teknik Sandi Yudha kerap pula dipakai. Misalnya, ada sekelompok orang yang dibina militer tapi oleh masyarakat Aceh sering dituduh sebagai cuak (pengkhianat). Dan para cuak ini kerap menjadi pemicu konflik horizontal di sana.
Kisah Ahmad Fauzibukan nama sebenarnyamungkin bisa dijadikan ilustrasi. Anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berusia 53 tahun ini mengaku dekat dengan tentara. Setelah ditahan pada 1979-1982, ia mengaku kerap diminta militer untuk membujuk anggota GAM lainnya agar turun gunung. Setiap kali menjalankan tugas, ia dibekali surat pengantar. "Saya memang dekat dengan militer," katanya. Menurut Fauzi, orang yang menangkapnya pada 1979 adalah seorang anggota Kopassus yang kemudian diangkat menjadi panglima kodam. Kini hubungan Fauzi dan GAM bak kucing dan anjing: konflik di antara keduanya menjadi bagian dari kisruh Aceh yang semrawut dan tak berkesudahan.
Operasi-operasi militer ala Kopassus ini terjadi karena pengaruh Kopassus di dalam TNI yang begitu besar, selain peran tentara yang juga dominan dalam politik Orde Baru. "Banyak yang terjadi di Kopassus tanpa setahu Panglima TNI," kata pengamat militer Saim Said melukiskan kekuatan Kopassus kala itu. Kedekatan mantan presiden Soeharto dengan menantunya, Prabowo Subianto, Komandan Jenderal Kopassus ketika itu, disebut-sebut juga memperkuat dominasi Kopassus.
Tapi dominasi itu tampaknya mulai bergerak pelan menjadi kisah-kisah masa silam. Januari lalu, Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal Endriartono Sutarto memastikan bahwa pasukan itu diciutkan jumlahnya dari 6.000 menjadi 5.000 personel. Formula pengurangannya sendiri belum jelastermasuk 1.000 orang yang bakal tersingkir.
Amirul Isnaeni sendiri membenarkan pengurangan peran Kopassus. Resminyamenurut Amirulsaat ini prajurit Baret Merah hanya diturunkan di dua daerah. Di Papua, Kopassus melaksanakan operasi teritorial (lihat Menggembok Senapan di Dalam Kotak). Sedangkan di Maluku, kesatuan itu terlibat dalam Batalion Gabungan untuk mengamankan kawasan bergolak tersebut. Lalu, jika pecah kerusuhan di kawasan lain? "Kami hanya turun benar-benar berdasarkan permintaan polisi," kata sang Danjen.
Toh, "turun peran" bukan satu-satunya problem yang dihadapi Kopassus. Sebagaimana TNI secara keseluruhan, kesatuan ini akrab dengan aneka tudingan pelanggaran hak asasi. Karena itu, Amirul berharap setiap operasi hendaknya dibekali payung hukum yang jelas: ada perintah lisan dan tertulis dan Markas Besar TNIsatu-satunya lembaga yang berwenang menugasi kesatuan itu. "Saya tak ingin anak buah saya di-sweeping tanpa perlindungan hukum," ujar Amirul kepada TEMPO.
Secara tidak langsung, Amirul sebetulnya membicarakan beberapa elemen klasik dari sebuah impian demokrasi: mengedepankan peran polisi dalam hal keamanan, menempatkan tentara pada peran pertahanan, serta melahirkan supremasi sipil. Sebaliknya, militer juga tak sulit mengambil alih peran pada saat kaum sipil tak cakap memelihara kesempatannya. Kini, dalam perseteruan elite politik sipil yang terus meningkat, betapa "ujian" itu kembali menggoda. Dan di tengah arus perubahan tersebut, di mana Kopassus akan berdiri?
Arif Zulkifli, Darmawan Sepriyossa, Arif A. Kuswardono, Dwi Arjanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo