Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Noda Hitam itu Bernama Penculikan

Penculikan aktivis adalah sebuah noda hitam dalam tubuh Kopassus yang belum sirna. Ada upaya untuk berdamai antara kedua pihak, tapi tak semua korban penculikan setuju dengan rekonsiliasi ini.

29 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini


DUNIA belum melupakannya. Sebuah wajah yang lelah, yang bersiteguh pada seuntai rosario di tangannya, menguak dan membeberkan tingkah laku sebuah pasukan yang menculik dirinya. Dunia belum melupakan Pius Lustrilanang, yang pada 27 April 1998 memberi kesaksian tentang bagaimana pada suatu Februari yang kelam ia disetrum, ditendang, direndam, diinterogasi untuk jawaban-jawaban yang sesuai dengan yang diinginkan para penculiknya. Kelak, di kemudian hari, media massa mengumumkan bahwa penculikan itu dilakukan oleh Tim Mawar, sebuah tim khusus yang terdiri dari anggota pasukan Grup IV Kopassus. Pengadilan terhadap 11 anggota Tim Mawar (terdiri dari seorang mayor, tujuh kapten, dan tiga sersan) menjatuhkan vonis mereka dari 12 sampai 22 bulan penjara. Komandan Tim Mawar, Mayor Bambang Kristiono, dan empat perwira berpangkat kapten saat itu dipecat dari dinas militer. Bambang membela diri dengan mengatakan bahwa aksi penculikan itu dilakukan untuk mengamankan Sidang Umum MPR 1998, dan dikerjakan atas inisiatif sendiri, tanpa perintah atasan. Hingga kini kasus ini masih menggantung di tingkat ban-ding.

Syahdan, mereka yang dituduh menculik Pius dan sejumlah aktivis lainnya, dalam acara peringatan hari ulang tahun Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI Angkatan Darat ke-49, Senin pekan silam, tampak sehat-walafiat penuh senyum. Beberapa prajurit Baret Merah mengulurkan salam kepada Kolonel Chairawan, bekas Komandan Grup IV Kopassus.

"Apa kabar, Pak? Masih ingat saya Pak, bekas anak buah Bapak?" tutur seorang prajurit. Kolonel Chairawan tersenyum. Tak lama kemudian, datang bekas Panglima Kodam Jaya, Mayor Jenderal Slamet Kirbiantoro, menarik lengan Chairawan. "Ayo sini berfoto. Ini dia orang-orang yang pernah masuk daftar wanted," kata Slamet bercanda. Wartawan datang merubung dan saling memenuhi ritual potret-memotret itu.

Tak ada yang berubah pada diri Chairawan. Seperti dua tahun lalu, ketika foto-fotonya menghiasi media massa karena kasus penculikan para aktivis, ia masih tampak gagah dan ramping. Tapi tanda pangkat di pundaknya masih belum berubah, ia masih seorang kolonel. Kini ia ditugasi di Markas Besar TNI. "Saya sekarang luntang-lantung," katanya setengah berseloroh. Ini sebuah seloroh yang kemudian mengingatkan kita pada peristiwa kelam itu. Sebagai Komandan Grup IV, Chairawan memang tidak secara langsung divonis bersalah dalam penculikan aktivis. Ia tak masuk pengadilan seperti komandan dan sepuluh anggota Tim Mawar—tim yang melakukan penculikan dan berada di bawah Grup IV Kopassus, kesatuan yang dipimpinnya. Tapi Dewan Kehormatan Perwira TNI-AD, Agustus 1998 lalu, menjatuhkan sebuah keputusan lain untuk dirinya. Bersama bekas Danjen Kopassus Mayor Jenderal (Purn.) Muchdi P.R., Chairawan dibebaskan dari semua tugas dan jabatan struktural TNI. Adapun bekas Komandan Jenderal Kopassus, Letnan Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto, diberhentikan dari dinas ketentaraan.

Ini menunjukkan bahwa peristiwa penculikan para aktivis adalah noda dalam tubuh Kopassus yang tak pernah bisa dilupakan publik. Sulit untuk melupakan bagaimana di tahun 1997, setahun sebelum jatuhnya Soeharto, sembilan aktivis hilang di tangan Tim Mawar. Selain Pius Lustrilanang, yang saat diculik menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Aliansi Demokrasi Rakyat, korban lainnya adalah Desmon J. Mahesa (pengacara di Lembaga Bantuan Hukum Nusantara, Jakarta), Haryanto Taslam (PDI Megawati), Raharjo Waluyo Jati (Komite Nasional Pro-Demokrasi), Faisol Reza, Aan Rusdianto, Nezar Patria, Mugiyanto, dan Andi Arief (Partai Rakyat Demokratik).

Tapi, tak ada lawan dan kawan yang abadi dalam politik. Entah karena menyadari kesalahannya, Tim Mawar lalu berinisiatif membangun kontak dengan para korban. Menurut Pius Lustrilanang, kira-kira setahun silam, mantan Komandan Tim Mawar, Bambang Kristiono, menghubunginya untuk menyampaikan permintaan maaf. Pius, Desmon J. Mahesa, dan Haryanto Taslam menyambut uluran tangan itu. Mereka lalu bertemu.

"Seperti acara keluarga saja. Kami masing-masing membawa istri. Saling bermaaf-maafan," kata Pius. Cerita Pius itu dibenarkan oleh Bambang Kristiono dan Desmon.

Entah hanya karena haru, "acara kekeluargaan" ini tampaknya berlanjut. Menurut Pius, Bambang lalu meminta mereka melakukan lobi politik untuk meringankan hukuman kesebelas orang anggota Tim Mawar yang hingga kini kasusnya masih menggantung di tingkat banding. Pius sepakat. Mereka lalu melobi Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD), yang kala itu dijabat Jenderal Tyasno Sudarto. "Tapi setelah itu tidak ada kelanjutannya," tutur Pius kepada TEMPO.

Bukan itu saja. Menurut Desmon, mereka bahkan sempat mengutus Haryanto Taslam—kini anggota DPR asal PDI-P—untuk bertemu Panglima TNI Laksamana Widodo A.S. Tujuannya adalah meminta pengampunan bagi 11 anggota Tim Mawar. Hasilnya memang tak jelas karena hingga sekarang Mabes TNI tidak memberikan reaksi apa-apa. Ketika Haryanto dimintai konfirmasi tentang kisah ini, ia memilih tak menjawab. "Itu hal yang sudah lewat, saya no comment saja, deh," katanya.

Cerita lain disampaikan Farid Prawiranegara, politisi Partai Bulan Bintang yang juga dikenal sebagai kawan dekat Prabowo. Menurut Farid, Pius dan Desmon saat ini adalah penasihat para kuasa hukum Tim Mawar. "Mereka memberikan masukan-masukan. Mereka kelihatannya simpati pada Tim Mawar," ujar Farid kepada wartawan TEMPO, Rian Suryalibrata.

Mengapa sebagian dari korban penculikan ini jadi begitu mudah memaafkan? Menurut Desmon, upaya mereka meminta pengampunan bagi Tim Mawar dilakukan untuk menunjukkan bahwa sebelas orang terdakwa itu sebenarnya hanya pion. Ia yakin, para jenderal di lapis atas militer adalah mereka yang seharusnya bertanggung jawab. "Kami juga berharap pengampunan itu dilanjutkan dengan investigasi terhadap korban lain yang masih hilang," kata Desmon.

Pius sendiri mengaku hingga kini masih sering berhubungan dengan Bambang Kristiono dan Prabowo Subianto. Tapi ia membantah tudingan bahwa ia mendapat "sesuatu" dari rekonsiliasi tersebut. Maklum, ada tuduhan yang terarah kepada Pius di kalangan aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) bahwa Pius kini dibantu Tim Mawar dalam mengembangkan Brigade Siaga Satu (Brigas)—sebuah organisasi kepemudaan yang dipimpinnya. Pius menolak tuduhan itu. "Brigas adalah organisasi massa yang salah satu bagiannya adalah divisi bela negara. Hanya dilatih bela diri dan baris-berbaris oleh mantan satpam dan bekas anggota pasukan pengibar bendera," ia menjelaskan. Lembaga yang berafiliasi pada PDI Perjuangan itu kini punya lebih dari 1.000 anggota yang terdiri dari bekas preman, pedagang kaki lima, dan pemulung. "Kegiatannya adalah mengamankan perayaan ulang tahun PDI-P, perayaan Natal, atau Lebaran," kata Pius.

Apa pun alasan Pius berkecimpung dalam acara belajar baris-berbaris dan keputusannya untuk "bermesraan" dengan para mantan penculiknya, para korban penculikan lainnya sama sekali tak setuju dengan upaya rekonsiliasi gaya Pius. Soalnya, di mata korban lainnya, kasus penculikan belum selesai. Saat ini masih tersisa 14 aktivis lain yang belum jelas nasibnya, di antaranya adalah Yusuf, Yani Afri, Sonny, Suyat, Herman Hendrawan, Petrus Bimo Anugrah, Dedy Hamdun, dan Noval Alkatiri. "Bagaimana perasaan keluarga mereka jika korban yang selamat malah berbaikan dengan penculiknya," kata Raharjo Walujo Jati, salah seorang korban penculikan yang selamat. Tak mengherankan jika tawaran untuk bertemu dengan Tim Mawar, yang disampaikan melalui Pius dan Haryanto Taslam, ditolak oleh Jati dan kawan-kawannya. Penolakan yang sama juga disampaikan oleh korban penculikan lainnya ketika mereka dikontak langsung oleh Bambang Kristiono.

Apa yang terjadi dengan 14 aktivis lainnya hingga kini memang masih gelap-gulita. Meski secara resmi Tim Mawar mengaku hanya menculik sembilan aktivis, toh para korban penculikan yang selamat menyatakan mereka bertemu di sel Kopassus dengan para korban yang hingga kini masih "hilang". Raharjo Walujo Jati, misalnya, ketika disekap di Cijantung mengaku sempat bertemu dengan Herman Hendrawan, Sony, dan Yani Afri. Dari Yani Afri, yang sudah lebih dulu disekap, mereka mengetahui bahwa sebelumnya di tempat itu ada Dedi Hamdun, Ismail (sopir Dedi), dan Noval Alkatiri. Sementara itu, Andi Arief yakin bahwa Herman Hendrawan, Bimo Petrus, dan Suyat ada di tempat itu karena mereka sering disebut-sebut oleh para penculik.

Ke manakah mereka? Tak ada yang bisa menjelaskan. Baik anggota Tim Mawar maupun pimpinan Kopassus memilih bungkam setiap kali masalah penculikan aktivis dipersoalkan. "Itu adalah masa lalu, lagi pula kan sudah diselesaikan hukum," kata Komandan Jenderal Kopassus, Mayor Jenderal Amirul Isnaeni, kepada TEMPO.

Beberapa pejabat Kopassus, kepada TEMPO, mengakui bahwa penculikan adalah titik hitam yang memukul korpsnya. Saat itu adalah periode ketika Kopassus telah menjadi hamba kekuasaan Orde Baru. "Kopassus masuk terlalu jauh," kata seorang perwira kesatuan.

Meski mengakui kesalahan ini, Kopassus, seperti juga TNI, tampaknya kurang sigap untuk segera memperbaiki kesalahan yang sudah mereka lakukan. Pertanyaan besar tentang muara perintah penculikan hingga kini belum terjawab. Dewan Kehormatan Perwira TNI-AD memang sudah memecat Prabowo Subianto dan memutasikan Muchdi dan Chairawan, tapi otak penculikan sesungguhnya, secara yuridis formal, belum terjawab. Kalangan dekat Prabowo Subianto yakin bahwa bukan Prabowo sendiri yang bersalah. Di atasnya masih ada lapisan yang lebih tinggi yang perlu dipertanyakan perannya. Tanpa usaha menjernihkan pertanyaan-pertanyaan itu, noda hitam Kopassus tak akan sirna. Dan dunia tak akan melupakannya.

Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Tomi Lebang, Purwani Dyah Prabandari

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus