Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Beberapa fotografer negara tetangga menang di kategori kawasan Asia Tenggara dan Oseania.
Kali ini tak ada fotografer Indonesia yang menjadi pemenang.
DARI kejauhan, foto itu seperti lukisan dengan warna cerah yang sangat memanjakan mata. Seperti gugusan bunga berwarna merah jambu di tengah laut biru kehijauan. Foto tersebut adalah narasi hasil pencitraan inframerah peristiwa banjir di New South Wales.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Momen bencana hidrologi sisa badai La Niña di Australia itu ditangkap dan ditampilkan secara kreatif oleh Chad Ajamian. Gugusan yang seperti bunga atau kapas itu sejatinya adalah pepohonan yang masih berdiri kokoh di tengah terpaan banjir. Warnanya kontras dengan biru kehijauan air yang mengepung dalam peristiwa pada Maret 2021 itu. Peristiwa ini adalah banjir terbesar dalam tiga dekade terakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berjudul "Australian Floods in Infrared", foto hasil proses data dari NSW Flood Imagery Viewer menghasilkan perspektif baru dan unik, yang bermanfaat bagi instansi setempat untuk melakukan mitigasi bencana. Dia bukan orang pertama yang menggunakan teknik inframerah tersebut. Dia terinspirasi fotografer asal Italia, Paolo Pettigiani. Dengan fotonya tersebut, Ajamian memenangi World Press Photo Contest 2023 kategori Open Format kawasan Asia Tenggara dan Oseania.
Foto lain yang mendapat pilihan juri adalah foto personel angkatan bersenjata sipil Myanmar (PDF) yang tampak menggendong sesosok tubuh tak bernyawa, bertelanjang dada, dan penuh luka. Jasad itu milik korban pertempuran melawan militer di Moe Bye, Kayah, Myanmar. Foto ini menang di kategori Single.
Salah satu foto di pameran World Press Photo 2023 berjudul "Home for the Golden Gays" karya Hannah Reyes Morales. worldpressphoto.org/Hannah Reyes Morales
Dari Filipina, dua fotografer memenangi kategori Honorable Mentions dan Stories (foto cerita) di kawasan Asia Tenggara dan Oseania. "Home for the Golden Gays", yang juga tayang di The New York Times pada Januari lalu, karya Hannah Morales memenangi kategori foto cerita. Morales ingin membagikan perjuangan komunitas LGBTQ+ yang bertahan dengan representasi warna yang beragam dari frame yang ditampilkan. Ada kesan kehidupan gelap, liris, di tengah gemerlap panggung, juga tawa, bersama komunitas seusai pertunjukan dan detail kulit yang keriput menggelambir dari lengan yang kurus saat Al Enriquez, 86 tahun, mengenakan wig dan ketika ia bersandar di pelukan seseorang.
Selanjutnya adalah karya Kimberly dela Cruz, "Death of a Nation", yang dibuat pada kurun 2016-2022, yang menang di kategori Long-Term Project. Cruz memotret kepanikan, duka, kesedihan para orang tua, tetangga, dan janda yang anak, jiran, dan suaminya ditembak mati, mereka yang dianggap terlibat dalam jaringan narkotik. Cruz mengabadikan peristiwa dan kisah dampak kebijakan Presiden Filipina Rodrigo Duterte, yang menerapkan hukuman tembak terhadap mereka yang dianggap dekat dengan narkotik dan obat-obatan terlarang.
Foto berjudul "Part of Me" tentang ibu pengganti di Kamboja karya Nadia Shira Cohen untuk The New York Times meraih Honorable Mentions. Karya serial ini menggambarkan ibu-ibu pengganti di Kamboja yang diharuskan membesarkan anak-anak pengganti sebagai anak mereka sendiri sejak pemerintah Kamboja mulai mempidanakan ibu pengganti pada 2016 dengan undang-undang perdagangan manusia.
•••
ABSENNYA karya fotografer Indonesia dalam daftar pemenang World Press Photo Contest 2023 disinggung oleh Evi Mariani, juri dari Indonesia. Dia mengungkapkan, sesungguhnya karya foto dari Indonesia berkualitas. Namun juri juga menilai kekuatan cerita foto dan apakah cerita itu merepresentasikan kisah dunia saat ini. Tema yang diusung pada tahun ini pun ihwal bagaimana dunia sekarang berubah. "Pesaingnya, di mata juri global, lebih kuat dari sisi teknis dan penceritaan,” ujarnya.
Koordinator pameran, Zeynep Özçelik, berharap pameran ini bisa mendorong lebih banyak fotografer profesional Indonesia ikut serta dalam perhelatan setahun mendatang.
Pangeran Bernard saat menggendong seekor orang utan karya Kartono Ryadi yang meraih penghargaan di World Press Photo 1974. Pendobrak Fotografi Jurnalistik Indonesia Modern/Fotobiografi Kartono Ryadi
Beberapa fotografer Indonesia pernah mewarnai kompetisi fotografi jurnalistik paling bergengsi sejagat itu sebagai pemenang. Dua di antaranya, Kartono Ryadi dan Zaenal Effendy, bukanlah orang sembarangan dalam dunia fotografi jurnalistik Indonesia. Kartono, yang lebih senior dari Zaenal, bahkan pernah menang dua kali, yakni pada 1974 dan 1980. Karya legendaris Kartono yang mendapatkan penghargaan dari World Press Photo Contest 1974 adalah foto Pangeran Bernard asal Belanda saat menggendong seekor orang utan.
Sedangkan Zaenal menang di kategori Spot News lewat karya fotonya yang berjudul "Last Victim" yang menggambarkan tewasnya seorang teknisi karena tersetrum saat memperbaiki jaringan listrik di sekitar Salemba, dekat Jalan Raden Saleh, Jakarta. Sebelum Kartono dan Zaenal, Piet Warbung meraih penghargaan di World Press Photo Contest 1967.
Fotografer majalah Tempo, Donny Metri Darwin, pernah pula menyabet penghargaan pada 1993 dan fotonya dicetak untuk kartu pos oleh World Press Photo. Fotonya menampilkan seekor anak orang utan yang disita pemerintah Kalimantan Tengah dari orang yang tak berhak saat mendapat perawatan di Klinik Pusat Rehabilitasi Orang Utan Tanjung Puting, Kalimantan Tengah.
Sejumlah fotografer Indonesia lain yang tercatat sebagai pemenang adalah Sholihuddin di kategori Spot News pada 1995; pewarta foto asal Aceh, Tarmizi Harva, yang meraih Honorable Mentions; dan Kemal Jufri, yang mendapatkan hadiah tertinggi kedua di kategori People in the News pada 2011. Ada juga fotografer Ali Lutfi, yang berhasil meraih penghargaan pada 2013 di kategori Nature dan Joshua Irwandi, yang foto dramatisnya, jasad seorang terduga korban Covid-19 yang terbungkus plastik, diganjar penghargaan di World Press Photo Contest 2021 kategori General News.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Gunawan Wicaksono berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tanpa Pemenang dari Indonesia"