Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Para Pemuja Habib dan Sayid di Nusantara

Sebagian masyarakat memuja habib dan sayid sebagai bentuk penghormatan terhadap Nabi Muhammad. Muncul polemik nasab Bani Alawi.

7 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAGI Ahmad Ramzy Ba’abud, mencatatkan nasab sebagai ahli waris garis keturunan Nabi Muhammad penting untuk menjaga kemurnian silsilah keluarga. Ia dan saudara kandungnya mewarisi marga Ba’abud dari ayah mereka. Ia percaya leluhurnya berasal dari Hadramaut, Yaman. Tapi Ramzy tak mau dipanggil habib. “Saya kalau disapa dengan sebutan habib rasanya kayak punya beban,” ujarnya kepada Tempo, 25 Maret 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ia menganggap seseorang yang menyandang gelar habib harus menguasai ilmu agama. Ramzy berprofesi advokat. Karena keahliannya itu, Ramzy menjabat Ketua Departemen Hukum Rabithah Alawiyah. Lembaga ini merupakan pencatat garis keturunan Rasul yang berdiri pada 1928 di Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah menjadi penasihat hukum Rabithah Alawiyah, Ramzy mengklaim pertama kalinya lembaga itu melaporkan pencatutan logo Maktab Daimi ke polisi. Maktab Daimi merupakan organisasi otonom yang bertugas memelihara garis Bani Alawi atau Ba’alawi yang terafiliasi dengan Rabithah Alawiyah. Selama ini lembaganya tak pernah mengadu ke polisi. “Kali ini tindakan si pelaku telah merugikan orang lain,” tuturnya.

Ketua Department Hukum Rabithah Alawiyah, Ahmad Ramzy Ba’abud, saat wawancara, 25 Maret 2024. Tempo/Febri Angga Palguna

Dari laporan itu, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya menangkap Janes Meliawan Wibowo pada 28 Februari 2024. Ia dituduh menggunakan logo Maktab Daimi di situs buatannya sendiri, maktabdaimi.blogspot.com. Pria 24 tahun yang mengaku bernama Habib Ahmad Jans Assegaf itu mengklaim bisa mencatatkan nasab seseorang sehingga berhak mendapat gelar habib. Ada enam orang yang menjadi korban, tapi tak satu pun yang melapor ke polisi.

Penipuan berkedok habib bukan barang baru. Di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Rabithah Alawiyah pernah menertibkan penyalahgunaan nasab. Pelaku mengaku sebagai habib dari garis keturunan Assegaf bin Alaydrus bin Azmatkhan. Ia mengklaim bisa mengobati berbagai penyakit lewat metode pengobatan alternatif. Bermodal pengakuan itu, ia meraup jutaan rupiah dari ratusan pasien.

Tersangka kasus penipuan gelar habib, Jane Meliawan Wibowo. Dok. Polda Metro Jaya

Kasus hukum yang dilaporkan Rabithah Alawiyah menginspirasi majalah Tempo menurunkan liputan khusus “Kontroversi Habib” dalam edisi Lebaran 2024. Ahmad Ramzy adalah narasumber pertama yang didatangi tim redaksi untuk mengumpulkan informasi tentang habib dan sayid di Nusantara. Di sela-sela wawancara di kantornya di Pejaten, Jakarta Selatan, Ramzy mengatakan, selain untuk memurnikan garis keturunan, banyak keturunan Alawiyyin mencatatkan nasabnya guna mendapatkan status sosial di masyarakat.

Bagi sebagian umat Islam di Nusantara, seorang “habib” dihormati karena mewarisi zuriah Nabi. Di sisi lain, sejumlah orang yang menggunakan gelar habib kerap dipenuhi kontroversi. Belakangan, muncul pula wacana yang menyoal kesahihan nasab para habib di Nusantara. Ada juga pihak yang mengklaim keturunan Wali Sanga berhak disebut ahli waris nasab keturunan Nabi Muhammad. Polemik itulah yang dibedah tim redaksi dalam liputan khusus ini.

Di Indonesia, ulama keturunan Nabi umumnya berasal dari Bani Alawi atau biasa disebut Ba’alawi. Klan ini merupakan generasi kesepuluh Nabi Muhammad. Alwi Alawiyyin adalah putra Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Arrumi. Keturunan Bani Alawi diperkirakan masuk ke Nusantara menjelang akhir abad ke-19. Mereka membentuk kabilah di sejumlah kawasan, seperti Pekojan, Jakarta Barat, lalu beranak pinak. Hasil pendataan Rabithah Alawiyah pada 1940 menyebutkan jumlah anggota klan Alawi ketika itu mencapai 17 ribu orang.

Namun penelitian lain menyebutkan interaksi Bani Alawi dengan masyarakat Nusantara sebenarnya sudah terbangun jauh sebelumnya. Kitab Syamsu Dzahirah yang ditulis pada abad ke-19 menyebutkan sebagian ulama dari Hadrami—sebutan kelompok imigran asal Hadramaut—berperan besar dalam penyebaran Islam di Pulau Jawa pada abad ke-15 hingga ke-16. Nenek moyang mereka adalah Muhammad Shahib Marbad bin Ali bin Alwi. Di kemudian hari, sejarah mengenal mereka dengan sebutan Wali Sanga.

Masjid di perkampungan Arab Pekojan, Jakarta, 1949. collectie.wereldmuseum.nl

Kehebohan muncul di kalangan habib dan sayid saat peneliti asal Banten, Imaduddin Utsman, menerbitkan buku berjudul Terputusnya Nasab Habib Kepada Nabi Muhammad pada Mei 2023. Pengasuh Pondok Pesantren Salafi Nahdlatul Ulum Cempaka, Kabupaten Tangerang, Banten, itu meminta nasab Bani Alawi dibatalkan lantaran tak ada kitab yang mengkonfirmasi keberadaan Ubaidillah. Artinya, Imaduddin tak mengakui nasab Bani Alawi ataupun Wali Sanga sebagai keturunan Nabi Muhammad.

Untuk memperkaya informasi soal garis keturunan Nabi ini, Tempo berupaya mewawancarai sejumlah pihak, di antaranya Imaduddin Utsman. Mulanya Imaduddin tak merespons permohonan wawancara Tempo. Ia baru mengabarkan kesediaannya menerima Tempo di pondok pesantrennya hampir sepekan kemudian, tepatnya pada Sabtu, 30 Maret 2024. Dalam pertemuan selama satu jam, Imaduddin menjelaskan metodologi penelitian bukunya. Ia pun membalas sikap sinis yang muncul terhadap penelitiannya. “Pesan kalian memang sengaja tidak langsung saya balas karena banyak yang mengaku wartawan,” ucapnya.

Sebelum bertemu dengan Imaduddin, kami mewawancarai narasumber lain. Salah seorang di antaranya Muhammad Hanif bin Abdurrahman Alatas, pengajar Pondok Pesantren Markaz Syariah, Bogor, Jawa Barat. Menantu Muhammad Rizieq Syihab yang akrab disapa Habib Hanif itu menentang penelitian Imaduddin. Ia membalas penelitian itu dengan membuat risalah dengan merujuk sejumlah kitab yang menyebut keberadaan Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Arrumi sebagai garis keturunan Rasul.

Tempo juga mewawancarai peneliti muda Nahdlatul Ulama, Rumail Abbas, lewat aplikasi Zoom. Rumail ragu terhadap kesahihan kitab yang digunakan Imaduddin sebagai rujukan. Tim penulis liputan khusus juga merujuk berbagai jurnal dan buku, di antaranya buku Ulama dan Kekuasaan (2012) karangan Jajat Burhanudin.

Liputan ini juga dilengkapi wawancara Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf, atau biasa disapa Habib Taufiq. Kami mengutus wartawan Tempo ke kediamannya di Kota Pasuruan, Jawa Timur, pada Jumat, 29 Maret 2024. Wawancara itu akhirnya terlaksana setelah tim redaksi menghubungi orang-orang terdekatnya.

Habib Taufiq mengatakan Rabithah Alawiyah bukan lembaga eksklusif. Ia juga menyatakan status keturunan Bani Alawi bukan untuk dibanggakan. Itu sebabnya ia kerap menyentil habib dan sayid yang tak berakhlak baik lewat ceramah. Sikap Habib Taufiq terlihat tegas saat mengomentari polemik nasab Ubaidillah. Ia tak mengakui penelitian Imaduddin Utsman. “Buat apa kami mempelajari catatan orang yang tidak tahu ilmu,” katanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Puja-Puji Klan Ba’alawi". Penanggung jawab: Mustafa Silalahi; Kepala proyek: Riky Ferdianto; Penulis: Fajar Pebrianto, Indra Wijaya, Lani Diana, Moh. Khory Alfarizi, Riky Ferdianto, Yosea Arga; Penyunting: Iwan Kurniawan, Mustafa Silalahi, Nurdin Kalim, Raymundus Rikang; Penyumbang bahan: Hanaa Septiana (Pasuruan), Mohamad Iqbal (Tangerang); Fotografer: Febri Angga Palguna, Muhammad Taufan Rengganis; Periset foto: Gunawan Wicaksono; Penyunting bahasa: Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama , Iyan Bastian; Desainer: Dianka Rinya, Rio Ari Seno, Riyan R Akbar. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Puja-Puji Klan Ba’alawi"

Riky Ferdianto

Riky Ferdianto

Alumni Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Memulai karier jurnalistik di Tempo pada 2006. Banyak meliput isu hukum, politik, dan kriminalitas. Aktif di Aliansi Jurnalis Independen.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus