Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENCATUTAN nama Rabithah Alawiyah untuk menipu seperti yang dikerjakan Ahmad Jans Assegaf alias Janes Meliawan Wibowo bukan baru kali ini terjadi. Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf, menyebutkan praktik lancung itu terjadi sejak dulu. Namun pengurus Rabithah tak pernah melapor ke polisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekarang kami laporkan untuk memberi pelajaran,” ujar pria yang disapa Habib Taufiq itu di Pasuruan, Jawa Timur, pada Jumat, 29 Maret 2024. Menurut dia, nama Rabithah sering diselewengkan oleh orang yang mengaku sayid untuk mencari untung. Sayid adalah sebutan untuk keturunan Nabi Muhammad. Kata Taufiq, “Enggak bisa orang itu asal-asalan dicatat sebagai sayid.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, pencatatan trah Nabi Muhammad dilakukan Rabithah Alawiyah. Berdiri pada 1928 di Bogor, Jawa Barat, lembaga pemeriksa dan pendata garis kekerabatan itu awalnya bernama Perkoempoelan Al-Rabithatoel al-Alawijah. Meski demikian, kegiatan komunitas Alawiyyin—merujuk pada keturunan Alwi Alawiyyin bin Ubaidillah, keturunan Rasulullah—di Indonesia sudah ada pada 1901. Alawiyyin waktu itu membentuk lembaga Jamaitul Kheir, yang mengurusi masalah pendidikan.
Ketua pertama Rabithah adalah Muhamad Abdulrahman bin Syahab. Abdulrahman mengajukan surat kepada pejabat pemerintah Hindia Belanda, G.R. Erdbrink, untuk mengakui organisasi yang baru berdiri itu. Dalam statutanya, Rabithah dibentuk untuk memperkuat persaudaraan dan membangun relasi dengan tanah asal di Hadramaut, Yaman.
Ketua Umum Rabithah Alawiyah Habib Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf di kediamannya di Kota Pasuruan, Jawa Timur, 29 Maret 2024. Tempo/Hanaa Septiana
Kerabat Nabi Muhammad di Tanah Air diyakini dari keturunan Ahmad bin Isa Arrumi, trah ke-10 Nabi Muhammad yang berasal dari wilayah di Yaman bagian selatan. “Rabithah di sini memang ada kaitannya dengan Hadramaut,” ucap Taufiq.
Abdalla Bujra dan Noel Brehony dalam buku Hadramaut and its Diaspora: Yemeni Politics, Identity, and Migration (2017) menuliskan orang Hadramaut datang ke Indonesia untuk berdakwah dan berdagang. Mereka terlibat dalam bisnis ekspedisi, ibadah haji ke Mekah, rempah-rempah, dan tekstil. “Beberapa di antaranya memperoleh bisnis real estate yang besar,” tulis Bujra dan Brehony.
Setelah organisasi Rabithah terbentuk, pengurus membentuk enam cabang. Di Jawa Timur, ada cabang Surabaya, Bondowoso, dan Gresik. Ada juga cabang di Semarang, Solo, dan Pekalongan untuk wilayah Jawa Tengah. Kantor perwakilan Rabithah pun bermunculan di daerah-daerah, seperti Cianjur, Ende, Makassar, dan Sumenep.
Seiring dengan waktu, pengurus Rabithah merasa penting untuk mencatatkan nasab. Pada 1932 atau empat tahun setelah pendirian, Rabithah membentuk lembaga bernama Maktab Daimi. Menurut Taufiq, Maktab Daimi merupakan lembaga otonom di bawah Rabithah yang khusus melestarikan sejarah dan mencatat nasab Alawiyyin.
Ali Alatas dalam buku berjudul Rabithah Alawiyah: Rumah Besar Sadah Alawiyyin di Nusantara mencatat, organisasi membutuhkan waktu delapan tahun untuk mencacah trah Nabi Muhammad di Hindia Belanda. Hasilnya, jumlah keturunan Alawiyyin yang tinggal di Hindia Belanda mencapai 17.764 orang. Salah satu tokoh penting di Maktab Daimi yang mencatat nasab adalah Ali bin Jafar Assegaf.
Menurut Taufiq, organisasinya punya aturan main bagi seseorang yang ingin mengetahui nasabnya. Orang itu harus mengisi formulir yang menerangkan identitas serta asal-usul keturunan hingga lima generasi di atasnya. Selain itu, pemohon wajib mencantumkan saksi yang dianggap mengetahui pohon keturunan Alawiyyin. “Kami tak bisa menetapkan nasab jika belum terbukti,” tuturnya.
Keturunan Alawiyyin juga aktif berpolitik pada masa sebelum proklamasi kemerdekaan. Sebagaimana ditulis majalah Tempo pada September 2010, beberapa tokoh Alawiyyin mendirikan Partai Arab Indonesia (PAI). Abdurrahman Baswedan, kakek mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan, salah satu pentolan partai ini.
PAI cukup progresif pada zaman itu. Mereka pernah menggelar Konferensi Peranakan Arab-Indonesia di Semarang pada Oktober 1934. Konferensi itu melahirkan tiga pernyataan sikap: tanah air peranakan Arab adalah Indonesia, peranakan Arab harus meninggalkan kehidupan menyendiri, dan peranakan Arab memenuhi kewajiban terhadap bangsa Indonesia.
Setelah proklamasi kemerdekaan, PAI dibubarkan. Para anggota dan tokohnya meniti karier politik masing-masing. Sedangkan Rabithah Alawiyah tetap eksis berkegiatan. Tak hanya mencatat nasab, Rabithah juga bergerak di bidang sosial.
Aksi sosial Rabithah sudah dimulai pada Agustus 1931. Mereka waktu itu mendirikan Daarul Aitam, panti asuhan di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat. Program sosial Rabithah belakangan berkembang sehingga kini juga mengelola dua panti lain, yakni Daarul Rohmah di Condet, Jakarta Timur, dan Rumah Rabithah Peduli di Kemang, Jakarta Selatan. Panti di Condet disediakan bagi janda para sayid, sedangkan Rumah Rabithah untuk para orang lanjut usia.
Salah satu penghuni Daarul Rohmah adalah Ida Farida Alaydrus. Dia tinggal di bangunan tiga lantai itu sejak 2018 setelah suaminya wafat karena penyakit diabetes. Ida sebenarnya punya rumah di kawasan Cililitan, Jakarta Timur, tapi sudah dijual pada 2013 untuk membiayai pengobatan suaminya. “Girang sekali ketika pertama kali masuk ke sini,” ujar perempuan 56 tahun itu.
Di Daarul Rohmah, Ida menempati unit di lantai dua dengan dua kamar, ruang tamu, dapur, dan balkon untuk menjemur pakaian. Ida tinggal bersama 52 janda para sayid, 12 remaja, dan 31 anak-anak secara cuma-cuma. Pengurus Daarul Rohmah bahkan tak memungut biaya listrik serta menyediakan perabot seperti kasur, lemari, dan meja makan.
Berbagai kegiatan digelar untuk mengisi kegiatan anak-anak di Daarul Rohmah. Pada Ahad sore, 31 Maret 2024, ada aktivitas pesantren kilat. Hari itu, Rabithah Alawiyah Cabang Jakarta Timur menggelar lomba untuk anak-anak di aula. Setelah beduk magrib, anak-anak itu berbuka puasa sejenak, lalu berlarian ke luar ruangan sambil menenteng sertifikat dan piala.
Ketua Umum Rabithah Alawiyah, Taufiq bin Abdul Qadir bin Hussein Assegaf, mengatakan organisasinya juga mengelola kelompok Wirausaha Wanita Rabithah Alawiyah atau WITA. Lembaga ini diklaim mempunyai seribu anggota di seluruh Indonesia. “Kami ingin berfokus menjadi komunitas yang bermanfaat bagi umat,” kata Taufiq.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Juru Catat Trah Nabi"