Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia memendam keinginan besar: punya pesantren. Maka, ketika lulus dari Pesantren Maslakul Huda di Pati, Jawa Tengah, pada 1995, Taufiqul Hakim segera merintis cita-citanya. Sebuah gubuk 36 meter persegi di desanya di Bangsri, Jepara, ia jadikan pesantren sederhana.
Taufiqul memberi nama pondoknya Darul Falah, rumah kemenangan. Santrinya, empat teman seangkatannya yang kebetulan belum mahir membaca Arab gundul.
Dari situ ia melihat para ”muridnya” kesulitan menghafal seribu bait alfiyyah, yaitu syair Arab yang mengandung hukum dan aturan dalam ilmu nahwu (tata bahasa) untuk bisa membaca Arab gundul. Taufiqul pun berpikir untuk mencari bait-bait yang terpenting saja. Ia memilih 150 bait.
Seratus lima puluh bait itu menjadi cikal bakal metode cepat membaca huruf Arab tanpa harakat atau tanda baca. Melalui pengujian selama enam tahun, ia akhirnya menemukan rumus ajaib itu pada Ramadan 2001. Dinamainya Amtsilati, yang berarti contoh-contohku.
Metode baru itu ia uji-cobakan pada empat rekannya. Berhasil. Tapi, ketika diajarkan pada murid lain yang masih muda, tak sukses. Ia kemudian mencari terobosan dengan memberikan banyak contoh dan disampaikan dengan lagu. Murid pun betah belajar. Dalam enam bulan mereka bisa membaca Arab gundul. Padahal, dengan metode lama, butuh 6-9 tahun. Yang menarik, murid yang sudah menyelesaikan buku pertama bisa mengajar siswa baru. Begitu seterusnya, sehingga proses belajar bisa lebih cepat.
Untuk lebih memperkenalkan metode ini, Taufiqul mengantar muridnya yang lulus ke rumah orang tuanya. Sang murid mempraktekkannya di depan orang tua. Dari sini, metode itu menyebar di kawasan Bangsri. Tapi Taufiqul tak digubris ketika memperkenalkan metodenya di Jepara. Peluncuran buku temuannya pada 2002 sepi pengunjung. Tak putus asa, ia membawanya ke Mojokerto dan sukses. Metodenya menjadi pilihan di pesantren-pesantren tradisional. Sejak itu, metode Amtsilati menyebar dengan cepat.
Edisi awal buku itu hanya berupa fotokopi. Pesanan mengalir. Di sini, hidung Taufiqul mencium bau bisnis. Ia pun membeli mesin cetak sendiri. ”Pertama kami beli mesin Rp 6 juta, tapi kami kewalahan melayani order,” katanya. Mesinnya tiga kali ditukar, sampai akhirnya ia memiliki percetakan cukup besar yang sanggup mencetak 2.000 eksemplar setiap hari.
Gubuk pesantrennya mulai banyak didatangi murid. Ia juga rajin berkeliling Nusantara untuk memberikan pelatihan. Satu hal yang tak pernah diimpikannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo