Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penangkapan 5 Warga Masyarakat Adat Sihaporas Simalungun Dinilai Cacat Prosedur

Penggerebekan dan penangkapan anggota komunitas masyarakat adat Sihaporas Simalungun dinilai melanggar prosedur.

27 Juli 2024 | 11.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) Syamsul Alam Agus, menilai penggerebekan dan penangkapan yang dilakukan anggota Kepolisian Resor Simalungun terhadap lima warga masyarakat adat Sihaporas di Buntu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kecamatan Pamatang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara menyalahi prosedur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebab, kata dia, penangkapan itu telah melanggar Pasal 17 KUHAP dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. “Fakta tersebut setidaknya dibuktikan bahwa penyidik tidak memperlihatkan surat tugas dan surat perintah penangkapan kepada tersangka,” kata Syamsul Alam Agus kepada TEMPO pada Rabu, 24 Juli 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penagkapan ini disebut-sebut sebagai buntut dari perjuangan masyarakat adat Sihaporas untuk menuntut pengembalian tanah adat mereka yang  dijadikan areal konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL). Tidak hanya itu, TPL disebut telah merampas tanah adat mereka dengan cara mengklaim sepihak.

Menurut Syamsul, dalam melakukan tugas penegakan hukum, kepolisian ikut melibatkan warga sipil, yakni orang-orang yang diduga preman, serta menggunakan fasilitas PT Toba Pulp Lestari atau PT TPL berupa satu unit mobil Strada milik PT. TPL dan satu unit Mobil truk Cold Diesel PT. TPL.

Alam berkata pada Pasal 17 KUHAP dan Peraturan Kapolri No. 8/2009 ditegaskan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada individu yang betul-betul melakukan tindak pidana.

Dia juga menyoroti sikap para polisi ketika melakukan penangkapan yang mana pada saat itu ada anak berusia 10 tahun dan seorang ibu sehingga pihak kepolisian dinilai telah mengabaikan hak-hak anak dalam proses penegakan hukum. Dia menyebut berdasarkan kesaksian seorang, anggota polisi mengancam anak tersebut untuk dipenjarakan hingga menyebabkan anak dan ibu tersebut mengalami trauma.

Kemudian, dia melanjutkan bahwa penangkapan dilakukan secara acak. Mengingat, ada seorang warga yang juga dibawa ke kantor kepolisi dan akhirnya dilepas karena tidak mampu dibuktikan keterlibatannya dalam tindak pidana yang disangkakan.

Dia menjelaskan berdasarkan Laporan Polisi LP/B/518/VII/2022/Polres Simalungun/Polda Sumatera Utara tanggal 19 Juli 2022, Pelapor a.n. Rudi Harryanto Panjaitan. Pelapor Rudi Harryanto Panjaitan merupakan Pimpinan Humas PT. TPL. Masyarakat adat sihaporas ditetapkan sebagai tersangka dengan sangkaan Thomson Ambarita yang disangkakan Pasal 170 KUHPidana atas pengerusakan Mobil Pribadi sebanyak tiga mobil tertanggal 18 Jui 2022.

Berdasarkan laporan polisi LP/B/128/V/2024/SPKT/Polres Simalungun/Polda Sumatera Utara, tanggal 14 Mei 2024 atas nama pelapor Kasmer Manik. Kasmer Manik merupakan sepupu dari Sardi Samuel Sinaga yang diduga korban penganiayaan dengan tersangka yang ditetapkan, yakni Jonny Ambarita dengan Pasal 170 ayat (2) ke 2 atau Pasal 170 ayat (2) ke 1 KUHPidana; Giofani Ambarita dengan Pasal 170 ayat 2 ke 2e KUHPidana; Parando Tamba dengan Pasal 170 ayat (2).

Alam menuturkan para tersangka tidak pernah melalui proses hukum, seperti pemanggilan untuk klarifikasi oleh pihak kepolisian; pemeriksaan sebagai saksi; dan tidak pernah diberikan panggilan maupun penetapan tersangka.

Sebenarnya penegakan hukum terhadap tersangka tindak pidana oleh kepolisian telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Pasal 16 ayat (1) untuk kepentingan penyelidikan, penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan, dan di ayat (2) untuk kepentingan penyidikan, penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan.

Di Pasal 17 disebut perintah penangkapan dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup dan Pasal 18 ayat (1) pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas, serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan, uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan, tempat diperiksa.

Masih di pasal yang sama ayat (2) dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat. Kemudian, di ayat (3) tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan.

Sedangkan di Pasal 19 ayat (1) penangkapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, dapat dilakukan untuk paling lama satu hari dan di ayat (2) terhadap tersangka pelaku pelanggaran tidak diadakan penangkapan kecuali dalam hal telah dipanggil secara sah dua kali berturut-turut tidak memenuhi panggilan itu tanpa alasan yang sah.

MUTIA YUANTISYA

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus