Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pengaduan 2 orang sultan

Sultan muhamad nurus dari keraton kanoman dan sultan maulana pakuningrat dari keraton kasepuhan mengadu soal sengketa tanah ke opstib pusat. tanah keraton sebagai sumber hidup keraton hilang. (kt)

28 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGADU soal sengketa tanah kepada Opstib Pusat bukan cuma 'orang kebanyakan.' Tapi juga Sultan Muhammad Nurus dari Keraton Kanoman dan Sultan Maulana Pakuningrat SH dari Keraton Kasepuhan. Keduanya di Cirebon. Itu sehubungan dengan dilaksanakannya UU Pokok Agraria (UU No 5/1960) dan UU No 56/Prp/1960 tentang pelalsanaan landreform yang berakibat hilangnya 1180 hektar tanah Keraton Kanoman dan 337 hektar tanah Keraton Kasepuhan pada 18 tahun lalu. Menurut UU terakhir, tanah-tanah yang menjadi obyek landreform, artinya tanah-tanah yang bakal dikuasai negara untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat atau dimanfaatkan oleh oknum, antara lain tanah swapraja atau bekas swapraja. Pemerintah menilai tanah kedua keraton tadi termasuk klasifikasi demikian. Itu sebabnya Walikota Cirebon pada 1961, RSA Prabowo, sebagai pelaksana landreform di daerahnya, segera menguasai tanah kedua keraton tadi. Menurut Muhammad Nurus maupun Maulana, tanah mereka bukan tanah swapraja atau bekas swapraja. Buktinya? Disebut-sebut satu dokumen bertahun 1813 yang sampai sekarang katanya ada di Arsip Negara di Jakarta. Di atas tanah bekas milik kedua keraton tadi kini antara lain berdiri komplek Perumnas di Lingkungan Kalijaga dan komplek PLTG (Pembangkit Listrik Tenaga Gas) di Lingkungan Sunyaragi. Malah, jelasnya, seperti kata Kepala Seksi Pengurusan Hak Tanah pada Kantor Sub Direktorat Agraria Kotamadya Cirebon, drs Darta, 934 dari 1180 hektar tanah bekas milik Keraton Kanoman kini sudah digarap resmi oleh 1.762 orang penduduk. Adapun tanah Keraton Kasepuhan, 146 hektar di antaranya sudah disertifikatkan atas nama 127 orang pemilik dan 185 hektar diolah 334 orang penduduk dengan memiliki surat izin menggarap. Menurut Darta, pada 1978 lalu pernah ada satu tim dari pusat yang datang ke Cirebon sehubungan dengan persoalm tanah bekas kedua keraton tersebut. Sebegitu jauh sampai saat ini ia belum tahu kelanjutan daripada cerita tim tadi, katanya. SK Presiden Dalam pada itu, akan hal pelaksanaan landreform itu sendiri, Maulana berpendapat, bahwa kalau tanahnya memang terbukti tanah swapraja atau bekas swapraja, pemerintah harus pula konsekwen dengan segala peraturan yang ada. Menurut dia, peraturan menyebutkan, tanah yang diambil-alih pemerintah dalam rangka landreform selanjutnya harus dibagi sepertiga bagian untuk pemerintah, sepertiga untuk rakyat yang membutuhkan dan sepertiga dikembalikan kepada bekas pemilik. Dalam hal ini keraton Kanoman atau Kasepuhan. Kenyataannya pembagian itu tak sesuai dengan peraturan tadi. Keraton Kanoman maupun Kasepuhan tidak mendapat pengembalian Tak juga ganti rugi. Akibat sementara dari persengketaan ini, Keraton Kanoman dan Kasepuhan mengalami kesulitan dalam mengelola urusannya sehari-hari. Bantuan pemerintah pada rata-rata keraton yang ada sebanyak Rp 60 ribu sebulan tidak mencukupi. Meskipun demikian, seperti dikatakan Muhammad Nurus, 63 tahun, tuntutan mereka tetap akan diteruskan. Sebab, khusus menyangkut Keraton Kanoman masalahnya terpaut kepada nasib 20 ribu jiwa keluarga keraton ditambah 100 ribu jiwa abdi dalem. Jadi, "kalau saya mati, pewaris saya akan meneruskan tuntutan ini," kata Muhammad Nurus. Di luar semua itu persoalan menjadi pelik karena dua hal. Pertama seorang pejabat Departemen Dalam Negeri pernah mengatakan bahwa ciri khas landreform di Indonesia dibanding dengan di negara-negara lain karena adanya kompensasi. Artinya, ada ganti rugi kepada bekas pemilik tanah yang dikuasai. Kedua, ternyata pemerintah kini menganggap masalah Keraton Kanoman dan Kasepuhan seakan tidak ada apa-apa lagi. Menurut Direktur Jenderal Agraria Daryono SH, masalah-masalah yang diajukan kedua sultan dari Cirebon itu sudah diputuskan dengan satu SK Presiden pada 1962. Permohonan mereka, katanya, ditolak. "Kalau sudah ada keputusan Presiden mau diapakan lagi" tanya Daryono.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus