PENGADU soal sengketa tanah kepada Opstib Pusat bukan cuma
'orang kebanyakan.' Tapi juga Sultan Muhammad Nurus dari Keraton
Kanoman dan Sultan Maulana Pakuningrat SH dari Keraton
Kasepuhan. Keduanya di Cirebon. Itu sehubungan dengan
dilaksanakannya UU Pokok Agraria (UU No 5/1960) dan UU No
56/Prp/1960 tentang pelalsanaan landreform yang berakibat
hilangnya 1180 hektar tanah Keraton Kanoman dan 337 hektar
tanah Keraton Kasepuhan pada 18 tahun lalu.
Menurut UU terakhir, tanah-tanah yang menjadi obyek landreform,
artinya tanah-tanah yang bakal dikuasai negara untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat atau dimanfaatkan oleh oknum, antara
lain tanah swapraja atau bekas swapraja. Pemerintah menilai
tanah kedua keraton tadi termasuk klasifikasi demikian. Itu
sebabnya Walikota Cirebon pada 1961, RSA Prabowo, sebagai
pelaksana landreform di daerahnya, segera menguasai tanah kedua
keraton tadi.
Menurut Muhammad Nurus maupun Maulana, tanah mereka bukan tanah
swapraja atau bekas swapraja. Buktinya? Disebut-sebut satu
dokumen bertahun 1813 yang sampai sekarang katanya ada di Arsip
Negara di Jakarta.
Di atas tanah bekas milik kedua keraton tadi kini antara lain
berdiri komplek Perumnas di Lingkungan Kalijaga dan komplek PLTG
(Pembangkit Listrik Tenaga Gas) di Lingkungan Sunyaragi. Malah,
jelasnya, seperti kata Kepala Seksi Pengurusan Hak Tanah pada
Kantor Sub Direktorat Agraria Kotamadya Cirebon, drs Darta, 934
dari 1180 hektar tanah bekas milik Keraton Kanoman kini sudah
digarap resmi oleh 1.762 orang penduduk. Adapun tanah Keraton
Kasepuhan, 146 hektar di antaranya sudah disertifikatkan atas
nama 127 orang pemilik dan 185 hektar diolah 334 orang penduduk
dengan memiliki surat izin menggarap.
Menurut Darta, pada 1978 lalu pernah ada satu tim dari pusat
yang datang ke Cirebon sehubungan dengan persoalm tanah bekas
kedua keraton tersebut. Sebegitu jauh sampai saat ini ia belum
tahu kelanjutan daripada cerita tim tadi, katanya.
SK Presiden
Dalam pada itu, akan hal pelaksanaan landreform itu sendiri,
Maulana berpendapat, bahwa kalau tanahnya memang terbukti tanah
swapraja atau bekas swapraja, pemerintah harus pula konsekwen
dengan segala peraturan yang ada. Menurut dia, peraturan
menyebutkan, tanah yang diambil-alih pemerintah dalam rangka
landreform selanjutnya harus dibagi sepertiga bagian untuk
pemerintah, sepertiga untuk rakyat yang membutuhkan dan
sepertiga dikembalikan kepada bekas pemilik. Dalam hal ini
keraton Kanoman atau Kasepuhan. Kenyataannya pembagian itu tak
sesuai dengan peraturan tadi. Keraton Kanoman maupun Kasepuhan
tidak mendapat pengembalian Tak juga ganti rugi.
Akibat sementara dari persengketaan ini, Keraton Kanoman dan
Kasepuhan mengalami kesulitan dalam mengelola urusannya
sehari-hari. Bantuan pemerintah pada rata-rata keraton yang ada
sebanyak Rp 60 ribu sebulan tidak mencukupi.
Meskipun demikian, seperti dikatakan Muhammad Nurus, 63 tahun,
tuntutan mereka tetap akan diteruskan. Sebab, khusus menyangkut
Keraton Kanoman masalahnya terpaut kepada nasib 20 ribu jiwa
keluarga keraton ditambah 100 ribu jiwa abdi dalem. Jadi, "kalau
saya mati, pewaris saya akan meneruskan tuntutan ini," kata
Muhammad Nurus.
Di luar semua itu persoalan menjadi pelik karena dua hal.
Pertama seorang pejabat Departemen Dalam Negeri pernah
mengatakan bahwa ciri khas landreform di Indonesia dibanding
dengan di negara-negara lain karena adanya kompensasi. Artinya,
ada ganti rugi kepada bekas pemilik tanah yang dikuasai. Kedua,
ternyata pemerintah kini menganggap masalah Keraton Kanoman dan
Kasepuhan seakan tidak ada apa-apa lagi. Menurut Direktur
Jenderal Agraria Daryono SH, masalah-masalah yang diajukan kedua
sultan dari Cirebon itu sudah diputuskan dengan satu SK Presiden
pada 1962. Permohonan mereka, katanya, ditolak. "Kalau sudah ada
keputusan Presiden mau diapakan lagi" tanya Daryono.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini