Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA tipe orang yang pendiam. Tulisan tangan Sapuan justru bicara lebih banyak. Kamis pekan lalu, beberapa jam sebelum ditahan polisi Metro Jaya, dia menuliskan pengakuannya di depan penyidik independen. Pengakuan yang membuat gempar.
Dalam catatannya sepanjang lima halaman itu, dia tidak hanya mengukuhkan pembobolan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera) Bulog senilai Rp 35 miliar, tapi juga mengungkap keterlibatan sejumlah nama di lingkaran dalam Presiden Abdurrahman Wahid.
Wakil Kepala Bulog Sapuan tak mau masuk bui sendirian.
Ketika skandal ini pertama-tama meruap sebulan lalu, memang ada dua hal penting yang kala itu menjadi misteri. Pertama, kenapa Sapuan berani dan mau mencairkan dana Rp 35 miliar itu? Kedua, siapakah penerima dana, dan untuk keperluan apa?
Meski belum seluruhnya jelas, pengakuan Sapuan memberi satu indikasi bahwa nama Presiden Abdurrahman Wahid tersangkut sejak awal.
Semua kisah bermula pada Januari—masa genting dalam peralihan pemerintahan dari B.J. Habibie ke Abdurrahman Wahid. Sapuan, yang berambisi naik ke kursi Kepala Bulog, mencari akses ke Istana. Melalui perantaraan Suwondo, juru pijat kepresidenan, Sapuan bertemu Presiden Wahid di istana pada 7 Januari. Adanya pertemuan itu diperkuat oleh kesaksian Soleh Sofyan, staf Sapuan yang ikut datang ke istana. Presiden, kata Sofyan, ditemani oleh Kepala Biro Protokol, Wahyu Muryadi.
Pada kesempatan itulah, menurut Sapuan, Presiden meminta separuh dari Rp 370 miliar ”dana taktis” Bulog dipakai untuk membiayai penyelesaian masalah Aceh. Mengetahui bahwa ini demi kepentingan negara, Sapuan menyarankan agar Wahid mengeluarkan keputusan presiden untuk memakai dana tadi. Namun, dari Suwondo, Sapuan mengetahui bahwa Presiden Wahid menolak gagasan membuat surat keputusan. Dan soal itu menggantung begitu saja.
Namun, hanya beberapa hari kemudian, Suwondo mendatangi Sapuan dan mengatakan Presiden minta dicarikan pinjaman dana taktis Bulog senilai Rp 35 miliar. Jusuf Kalla, Kepala Bulog kala itu, hanya mau memenuhi permintaan jika ada surat resmi dari Presiden. Kalla menolak ketika syarat itu tak dipenuhi.
Sapuan nekat mengucurkan duit dari pos lain: rekening Yanatera. Kuitansi tanda terima diteken pada 21 Januari oleh Suwondo dalam kapasitas mentereng: Asisten Pribadi Presiden. Peruntukannya tertera: ”pinjaman pemerintah untuk dana Aceh”.
Ada pertanyaan besar yang muncul di sini. Pertama, benarkah dana itu dipakai untuk keperluan Aceh? Jika benar begitu, kenapa Presiden menolak pemintaan Sapuan untuk menerbitkan keppres? Kenapa pula Presiden menolak permintaan Kalla membuat surat permintaan resmi?
Pejabat Sementara Sekretaris Negara, Bondan Gunawan, membantah membutuhkan dana ”sampingan” untuk mengurus soal Aceh. Bondan adalah salah satu tokoh penting di balik mulusnya perundingan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka di Swiss belakangan ini. ”Untuk Aceh, saya menggunakan dana APBN,” katanya (lihat: Wawancara Bondan Gunawan).
Lalu, ke mana sebenarnya uang itu? Dari penelusuran Goverment Watch (Gowa), sebuah LSM baru, diketahui bahwa Yanatera mengeluarkan empat cek untuk Suwondo. Pada pertengahan Januari, tiga cek, seluruhnya senilai Rp 30 miliar, telah ditransfer Suwondo ke tiga jurusan yang tidak ada kaitannya dengan Aceh. Hanya satu cek, senilai Rp 10 miliar, yang masuk rekening Teti Sunarti, istri Suwondo. Dua cek lain menuju nama ini: Leo Purnomo (seorang pengurus Awair) dan Suko Sudarso (Wakil Kepala Litbang PDI Perjuangan).
Cek Yanatera yang terakhir lagi baru ditransfer pada 24 Maret, senilai Rp 5 miliar. Ini pun tak ada kaitannya dengan Aceh karena dikirimkan kepada Siti Farikha—pengusaha dan anak seorang kiai di Jawa Tengah.
Nama Suko Sudarso dan Siti Farikha segera mengingatkan orang pada Bondan. Pada akhir Maret, Bondan diketahui ikut berlomba untuk meraih kursi Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan dalam kongres partai itu di Semarang. Menarik perhatian bahwa baik Suko maupun Farikha adalah aktivis Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI)—organisasi tempat Bondan pernah aktif. Lebih menarik lagi adalah karena dana Yanatera ditransfer ke rekening Farikha di BCA Semarang pada akhir Maret.
”Suko adalah operator Bondan saat kongres PDI-P,” kata seorang mantan Ketua Umum GMNI. Menjelang kongres, katanya lagi, Suko dipergoki hilir-mudik menghubungi pengurus cabang PDI-P di Jawa Barat untuk mencari dukungan bagi Bondan.
Indikasi keterlibatan Bondan juga diungkap oleh Sapuan, yang mengaku pernah bertemu tokoh Forum Demokrasi itu—organisasi yang dipromosikan Abdurrahman Wahid untuk mengimbangi Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI). Dalam pertemuan pada 20 Februari, kata Sapuan, Bondan menanyakan kemungkinan pihaknya menggunakan dana taktis Bulog. Pertemuan itu juga membahas soal apakah posisi Kepala Bulog mesti dijabat terpisah atau sekaligus dirangkap menteri—hal yang bisa dibaca sebagai bagian negosiasi Sapuan ”membeli kursi” Kepala Bulog.
Benarkah Bondan menggunakan dana Bulog itu untuk ”Operasi Semarang” yang gagal? Bondan menolak tudingan. Dia mengaku datang ke Semarang bukan untuk berkampanye, melainkan ”hanya untuk menghangatkan suasana kritis di kongres”.
Baik Suko maupun Farikha membenarkan adanya dana yang masuk ke rekening mereka dari Suwondo. Namun, Suko membantah memanfaatkannya untuk kepentingan Bondan. Dana itu, kata dia, bahkan bukan miliknya sendiri, melainkan titipan temannya bernama Hendrie Arioseno. Hendrie dan Farikha mengatakan Suwondo mengirimi mereka uang dalam kaitan hubungan bisnis semata.
Ada kesan yang jelas bahwa semua kesaksian diarahkan kepada satu nama: Suwondo, yang sekarang entah di mana.
Kini Markas Besar Kepolisian RI dan Kepolisian Daerah Metro Jaya berebut untuk mencarinya. Namun, tidak ketemu juga. Seorang jenderal polisi mengaku sudah melakukan pencairan hingga Batam, dengan kecurigaan dia kabur ke luar negeri. Kepala Sub Dinas Penerangan Umum Markas Besar Kepolisian, Kolonel Saleh Saaf, mengatakan bahwa jaringan interpol sudah dikerahkan. Imigrasi diminta mengecek mundur informasi orang yang ke luar negeri sebulan terakhir. Hasilnya? Nol besar.
Kasus ini sudah terungkap sebulan lalu. Jika kalangan Istana merasa dirugikan oleh ulah Suwondo yang menurut mereka mencatut nama presiden, kenapa tidak meminta polisi segera mencarinya seketika itu juga? Hasyim Wahid, adik Presiden, mengenal dekat orang itu. Dan dalam wawancara dengan TEMPO dua pekan silam, Hasyim mengakui dia menerima telepon Suwondo dari sebuah tempat di Indonesia.
Koordinator Gowa, Farid R. Faqih, juga memastikan bahwa Suwondo masih di Jakarta pekan lalu. Dia menunjuk surat pernyataan Suwondo kepada Yanatera Bulog yang baru diteken pada 24 Mei lalu, yang diantarkan oleh kerabatnya. Dalam surat itu, Suwondo menyatakan kesanggupannya untuk mengembalikan dana berikut bunga pinjaman.
Ada upaya yang jelas pula bahwa kasus ini dialihkan dari ”pinjaman pemerintah” menjadi ”pinjaman pribadi Suwondo”. Dan pihak Bulog sendiri kini terlibat dalam upaya itu. Dua pekan silam, Kepala Bulog Rizal Ramli memproklamasikan pinjaman itu sebagai pinjaman pribadi Suwondo dengan agunan tanah seluas 200 hektare, bukannya ”pinjaman pemerintah” seperti yang tertera dalam tanda terima cek. Padahal, surat perjanjian pengakuan utang dari Suwondo, menurut seorang mantan petinggi Yanatera, tidak dibuat pada 12 Januari, melainkan setelah kasus ini terbongkar.
Keanehan lain terletak pada kesaksian Hendrie Arioseno, seorang pengusaha yang mengaku tengah membangun rumah kebun bagi karyawan Bulog di atas tanah milik Suwondo yang diagunkan. Dia mengaku menerima dana Rp 15 miliar dari Suwondo dalam kaitan itu, yang kemudian dititipkannya dalam rekening Suko Sudarso. Farid Faqih dari Gowa memastikan tak ada kontrak perjanjian pembangunan seperti itu dari Yayasan Karyawan Bulog. Aneh pula bahwa pengusaha seperti Hendrie harus menitipkan uang sebesar itu kepada orang lain, bukan keluarga sendiri, misalnya.
Satu misteri lagi terletak pada keterlibatan Leo Purnomo alias Kie Hau—salah satu penerima dana Suwondo. Menurut penelusuran Farid Faqih dari Gowa, Leo adalah seorang staf di Air Wagon International (Awair), maskapai penerbangan baru yang kelahirannya dibidani Abdurrahman Wahid. Suwondo sendiri juga terlibat dalam perusahaan ini. Ketika merancang pertemuan dengan Presiden Wahid, seorang kalangan dekat Sapuan mengaku menemui Suwondo di Gedung Graha Aktiva Kuningan, Jakarta, yang tak lain markas Awair. Ketiga menggerebek rumah Suwondo, polisi juga menemukan kartu nama yang menunjukkan Suwondo sebagai ”chairman” (komisaris) Awair.
Namun, Rachmat Soebakir, Direktur Utama Awair, menolak keterlibatan dua nama itu. ”Dalam akta perusahaan, nama Wondo enggak ada. Siapa Leo juga kita enggak tahu,” katanya.
Suwondo yang hebat. Dengan sekali tepuk, dia sanggup memperdaya seorang presiden, lingkungan protokoler istana, Wakil Kepala Bulog, yang bergelar doktor, dan direksi sebuah maskapai penerbangan. Ataukah dia cuma ”kambing hitam” yang kini harus disembunyikan?
Karaniya Dharmasaputra, Edy Budiyarso, Arif Kuswardono, Dwi Wiyana
Ke Mana Dana Mengalir?
Nomor Cek Bukopin | Nilai (Rp) | Bank | Tanggal Pencairan | Dicairkan oleh |
514425 | 5 miliar | BCA Tomang | 14 Januari 2000 | Leo Purnomo (diduga pengelola AWAIR bersama Soewondo) |
530601 | 5 miliar | BCA Sudirman | 24 Maret 2000 | Siti Farika (lalu ditransfer ke BCA Semarang pada 27 Maret 2000) |
530603 | 10 miliar | Mandiri Pulomas | 20 Januari 2000 | Teti Sunarti (istri Soewondo) |
530604 | 15 miliar | Citibank Sudirman | 20 Januari 2000 | Suko Sudarso (Wakil Kepala Litbang PDI-P) |
Sumber: Government Watch