Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar 60 orang warga Kompleks Perumahan Akademi Angkatan Bersenjata (Akabri), Jalan Saharjo, Jakarta Selata, mengadu ke Komisi Nasionaol Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kamis, 18 Oktober 2018. Mereka mengaku menjadi korban penggusuran paksa oleh TNI.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka memprotes penggusuran paksa oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI). Alasannya, lahan komplek Akabri tersebut masih berstatus sengketa. Kuasa hukum warga, Suhendra Asido Hutabarat, mengatakan, seharusnya TNI menunggu proses persidangan dan tak bisa meminta warga untuk pindah secara paksa.
"Mereka minta warga mengosongkan tanah. Jadi apa gunanya ada proses pengadilan," kata Suhendra di Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis, 18 Oktober 2018.
Kasus ini mencuat setelah pasukan berseragam TNI menggusur paksa warga yang tinggal di komplek Akrabi. Penggusuran itu berlangsung pada Rabu, 17 Oktober 2018 sekitar pukul 08.30 WIB.
Seorang warga bernama Jayadi, 25 tahun, luka karena terkena pukulan di bagian kepala. Jayadi sedang menjalani pengobatan di RSCM, Jakarta Pusat.
Menurut Suhendra, 44 kepala keluarga menggugat tiga institusi pemerintah sehubungan dengan sengketa kepemilikan tanah dan bangunan di komplek Akabri pada 22 November 2018. Tiga institusi itu adalah Kementerian Pertahanan, Kementerian Agraria dan Tata Ruang, dan Akademi TNI.
Lahan itu disengketakan lantaran warga mengklaim telah menempati rumah di komplek Akabri selama 50 tahun. Di sisi lain, TNI mengklaim komplek Akrabi telah menjadi perumahan dinas akademi TNI. Kementerian Pertahanan mengeluarkan sertifikat hak pakai nomor 03117/Menteng Atas tertanggal 2 Agustus 2016 atas komplek Akabri.
Menurut Suhendra, proses persidangan masih berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan agenda pemeriksaan saksi. Di tengah proses sidang, Kementerian Pertahanan dan Akademi TNI mengajukan gugatan rekonpensi.
Isinya, meminta warga segera mengosongkan rumah yang menjadi objek sengketa. "Selanjutnya menyerahkan kepada penggugat rekonpensi tanpa syarat apapun juga, apabila perlu dengan bantuan alat kekuasaan negara," ujar Suhendra membacakan isi rekonpensi.
Komandan Satuan Tugas Penerangan TNI Kolonel Inf Kristomei Sianturi mengatakan pihaknya tidak melakukan pengosongan paksa, tetapi penertiban kepada warga yang tak berhak menempati rumah di komplek Akrabi.
Dasar hukumnya, yakni Peraturan Menteri Pertahanan nomor 30 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pembinaan Rumah Negara di Lingkungan Departemen Pertahanan dan Tentara Nasional Indonesia. Kristomei menjelaskan, aturan itu memuat bahwa rumah dinas diperuntukkan TNI aktif atau purnawirawan dan pegawai negeri sipil. Artinya, anak atau cucu pensiunan TNI tak boleh menempati rumah dinas.
Dia mempersilakan warga yang mengklaim menjadi korban penggusuran menggugat kepemilikan rumah di komplek Akabri. Namun, Kodam tetap berkewajiban menertibkan penempatan rumah tersebut. "Silakan saja, tapi tidak menghalangi Kodam mengosongkan karena kan tidak sesuai dengan SIP (surat izin penghunian," kata Kristomei.