Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Petugas kesehatan khawatir menularkan Covid-19 kepada keluarga mereka.
Upaya mereka agar tidak terpapar virus corona kian sulit karena stok alat perlindungan diri kian terbatas.
Persatuan Perawat Nasional Indonesia khawatir terhadap kondisi perawat di rumah sakit non-rujukan.
BELUM kelar mengobservasi pasien Covid-19, Atika Rahmawani sudah mendapat tugas baru. Ketua tim perawat yang berjaga di Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta, mengabarkan ada lagi pasien terduga Covid-19 yang sudah menunggu di ruang instalasi gawat darurat. “Saya diminta membawa pasien itu ke ruang isolasi,” katanya, Jumat, 20 Maret lalu, tentang kesibukannya pada awal Maret ketika penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru mulai merebak di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Atika buru-buru masuk ke ruang antara (anteroom) untuk mengganti segala alat pelindung diri. Perawat 36 tahun itu mencopot visor atau plastik pelindung wajah, membuka kacamata yang menempel ketat di mukanya (goggles), melepaskan masker N95 yang membuatnya tak leluasa bernapas, mencopot hazmat—seperti pakaian astronaut—yang membuat baju dinasnya basah oleh keringat, serta membuka sarung tangan panjang dan sepatu botnya. Atika hanya menyisakan pakaian dinas yang dia kenakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengelap visor dan goggles dengan pembersih berbentuk seperti tisu basah. Sedangkan bot dia bersihkan dengan cairan klorin. Atika lalu mengganti semua perlengkapannya dengan yang baru. Seorang perawat pencegah dan pengendali infeksi (IPCN) mengawasinya dari kamera pemantau (CCTV). Jika alat pelindung diri itu ada yang tak tertutup rapat, dia akan menegur Atika lewat interkom. Kali itu, semuanya oke.
Sambil mengatur napas, Atika kemudian mengunjungi pasien Covid-19 kedua. Setiap perawat mendapat jatah mengobservasi dua pasien. Ia mengukur tekanan darah pasien tersebut, memeriksa suhu tubuhnya, menanyakan kondisinya, sambil mengajaknya ngobrol. Setelah menyelesaikan pemeriksaannya selama sekitar satu jam, Atika masuk lagi ke ruang antara. Ia kembali mencopot segala perlengkapan pelindung diri, bersih-bersih, lalu menggantinya dengan yang baru, seperti sebelumnya. Setelah semua kelar, ia buru-buru berjalan ke ruang instalasi gawat darurat, menjemput pasien baru, mengikuti instruksi ketua perawat.
Atika mengantarkan pasien tersebut ke ruang isolasi bersama satu perawat lain. “Habis itu, saya lepas semua alat pelindung diri, mandi, keramas, baru kembali ke ruang perawat untuk mengawasi pasien lewat CCTV,” ujarnya. Setiap kali giliran berjaga, ia bisa mandi dan keramas sampai tiga kali di rumah sakit.
Kerepotan semacam ini sudah dia lakoni sejak Covid-19 mulai mewabah di Tanah Air. RSPI Sulianti Saroso adalah rumah sakit rujukan pertama yang menangani pasien corona. Sejak awal menerima pasien kasus 01 dan 02 pada 1 Maret lalu—saat itu belum dinyatakan positif—semua tenaga kesehatan di sana diwajibkan menggunakan alat pelindung diri. Sebab, tanpa tameng tersebut, mereka rawan terjangkit virus corona. “Kami harus aman dulu karena kami juga punya keluarga. Setidaknya itu yang kami jaga,” kata Listiyanti, perawat lain di RSPI Sulianti Saroso.
Namun korban memang sudah berjatuhan. Sampai akhir pekan lalu, setidaknya dua dokter dilaporkan meninggal dengan status positif corona. Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Muhammad Adib Khumaidi membenarkan kabar itu.
“Beberapa dokter memang meninggal setelah merawat pasien positif corona,” kata Adib ketika dimintai konfirmasi, Sabtu, 21 Maret. Menurut Adib, IDI saat ini masih menunggu data lengkap sebelum bisa memastikan jumlah tenaga medis dan tenaga kesehatan lain yang meninggal dalam pekerjaannya di garis depan.
•••
Atika dan Listiyanti adalah dua dari 30-an perawat yang menangani Covid-19 di RSPI Sulianti Saroso. Mereka merawat Nursita Tyasutami (pasien 01), Maria Darmaningsih (pasien 02), dan Ratri Anindyajati (pasien 03) serta beberapa pasien lain secara bergantian. “Saya takut tertular. Tapi, jika bukan saya yang merawat, siapa lagi?” ujar Listiyanti. Ketiga pasien tersebut telah sembuh dan kembali ke rumahnya di Kota Depok, Jawa Barat.
Kecemasan juga dirasakan perawat Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Edi Sukoco. Lelaki 49 tahun itu waswas bakal menulari istri dan dua anaknya di rumah. Untuk jaga-jaga, Edi selalu mengukur suhu tubuhnya sebelum pulang dan segera memeriksakan diri ke dokter jika mulai batuk.
Meski khawatir, para perawat itu tetap memenuhi kebutuhan pasien di kamar isolasi, dari menyediakan makanan, minuman, dan obat penunjang sampai memantau kondisi para pasien. Jika ada kondisi darurat, merekalah yang tergopoh-gopoh datang.
Perawat Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, Edi Sukoco.ANTARA/Aswaddy Hamid
Mereka tak hanya mengulurkan tangan untuk menolong, tapi juga memasang telinga untuk mendengarkan curahan hati pasien. Terkadang mereka melemparkan lelucon atau mengajak pasien bernyanyi. “Saya membayangkan berada di posisi mereka, sakit dan sendirian di ruang isolasi berhari-hari, pasti stres,” kata Listiyanti. Padahal stres akan membuat imun tubuh yang bertugas melawan corona ngedrop.
Maria Darmaningsih bercerita, para perawat di RSPI Sulianti Saroso sangat tanggap memenuhi kebutuhannya. Ia sering memanggil mereka, misalnya, ketika air minumnya kurang. Mereka juga berusaha menghibur dia dan anak-anaknya, terutama Sita. Sita sempat menangis lama karena merasa bersalah telah menularkan virus corona kepada keluarganya. Ia juga mengalami stres karena dirisak di media sosial. “Mereka datang, mengelus-elus dia, atau menenangkan Sita lewat interkom,” ujar Maria.
Dokter residen di Rumah Sakit Umum Pusat Hasan Sadikin, Bandung, Kevin Fachri Muhammad, juga sering mengobrol dengan para pasien yang diisolasi. Para pasien tersebut kadang mengajaknya melakukan panggilan video. Mereka butuh teman untuk mengurangi kegelisahan karena positif corona. “Kalau bukan kami yang memberi aura positif, takutnya mereka malah jadi depresi,” katanya.
Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia Harif Fadhillah mengatakan para perawat yang ada di garda depan di rumah sakit rujukan ini rawan tertular Covid-19. Tapi organisasinya lebih khawatir terhadap tenaga medis yang bertugas di rumah sakit non-rujukan, terutama yang berjaga di ruang unit gawat darurat. Mereka tak diberi alat perlindungan yang memadai. Padahal bisa jadi pasien yang datang sudah terinfeksi corona. “Sebelum hasil laboratoriumnya keluar, mereka tak tahu apakah pasiennya positif atau tidak,” ujarnya. Salah satu perawat di rumah sakit non-rujukan di Jakarta meninggal karena Covid-19.
RS Yayasan Rumah Sakit Islam Surakarta (Yarsis), Sukoharjo, Jawa Tengah, adalah salah satu rumah sakit yang kena getah. Pasien yang meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Dr Moewardi, Surakarta, yang kemudian terkonfirmasi positif Covid-19 merupakan rujukan dari RS Yarsis.
Rumah sakit itu mesti mengkarantina 45 petugasnya yang berkontak dengan pasien tersebut selama dua pekan. Ruangan juga disterilkan. RS Yarsis menerapkan prosedur baru sejak itu. Para petugas harus mengenakan alat pelindung diri lengkap ketika menerima pasien. “Kami belajar dari pengalaman pertama itu,” kata Direktur Umum RS Yarsis Iswati.
NUR ALFIYAH, PRAMONO, AHMAD RAFIQ (SOLO), ANWAR SISWADI (BANDUNG), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), ASHEANTY (PONTIANAK), MADE ARGA (BALI), JAMAL A. NASHR (SEMARANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo