Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
WHO mengingatkan soal ketidaksiapan dunia menghadapi corona.
Tenaga kesehatan Amerika Serikat risau terhadap terbatasnya alat tes dan masker.
Puluhan dokter di Bulgaria memilih mundur.
PERINGATAN dini soal ketidaksiapan dunia menghadapi virus corona sudah disampaikan Badan Kesehatan Dunia (WHO) akhir bulan lalu. “Kita perlu menjaga agar virus ini melambat karena sistem kesehatan di seluruh dunia, di negara utara dan selatan, tidak siap,” kata Mike Ryan, Direktur Eksekutif Program Kesehatan Darurat WHO, ketika memberikan penjelasan kepada wartawan di markas besarnya di Jenewa, Swiss, 28 Februari lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat itu, di seluruh dunia tercatat ada 84.615 kasus corona. Korban tewas sebanyak 2.923 orang. Sebagian besar kasus dan korban meninggal itu berada di Cina, yaitu 79.251 kasus dan 2.835 orang meninggal. Di luar Cina, jumlahnya masih terbilang sedikit, yaitu 4.351 kasus. Jumlah korban tewas 67 orang di 48 negara. Di Indonesia, saat itu belum ada laporan tentang kasus corona. Di Amerika Serikat sudah tercatat 63 kasus, sementara di Jerman ada 74 kasus. Amerika dan Jerman tidak mencatat ada korban tewas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Harapan Mike Ryan untuk melihat virus corona tidak meluas tak menjadi kenyataan. Jumlah kasusnya secara global terus bertambah. Sampai 18 Maret lalu, misalnya, jumlah kasusnya naik lebih dari dua kali lipat menjadi 218 ribu. Jumlah korban meninggal juga naik lebih dari tiga kali lipat menjadi 8.951 orang.
Negara-negara di dunia berupaya menekannya dengan berbagai cara. Ada yang melakukan karantina wilayah atau lockdown untuk mencegah penularannya. Ada juga yang melakukan pengujian terhadap warganya, selain menyerukan pembatasan bergerak atau meminta penduduk lebih banyak di rumah untuk meminimalkan penularan. Selain itu, tentu saja mereka menyiagakan tenaga kesehatan dan mempersiapkan fasilitas pendukungnya.
Itu pula yang dilakukan Amerika Serikat, negara yang pada 18 Maret lalu mencatat 9.259 kasus corona, dengan korban tewas 150 orang. Selain menyerukan pembatasan aktivitas di luar rumah, Amerika berencana melakukan pengetesan massal untuk mengidentifikasi penyebaran penyakit dan menangkalnya. Hanya, seperti dilansir Washington Post, rencana itu terganjal oleh kurangnya alat pengujian.
Brian Stein, juru bicara Rush University Medical Center, mengatakan keterlambatan dalam hasil pengujian berarti rumah sakit harus lebih lama menggunakan alat pelindung kesehatan bagi tenaga medis tanpa mengetahui apakah pasien berpotensi menularkan penyakitnya. Di banyak tempat di seluruh Amerika, kekurangan alat tes ini memaksa pejabat membuat skala prioritas pengujian.
Departemen Kesehatan Minnesota, Selasa, 17 Maret lalu, mengumumkan, “Karena kekurangan bahan pengujian laboratorium Covid-19 secara nasional, negara bagian dipaksa membuat penyesuaian untuk berfokus pada spesimen prioritas tertinggi, termasuk pasien yang dirawat di rumah sakit.”
Pejabat Kesehatan Utah juga memberi tahu pasien agar tidak menjalani tes kecuali mereka menunjukkan tanda-tanda Covid-19. “Kami dihadapkan pada tantangan infrastruktur dan logistik yang menghalangi kami dapat menguji semua orang,” kata ahli epidemiologi negara bagian, Angela Dunn.
Menurut New York Times, masalah lain yang tak kalah merisaukan adalah terbatasnya stok masker, baju bedah, dan peralatan pelindung mata. Rumah Sakit Amerika sebenarnya sudah mengeluhkan soal ini sejak awal Maret lalu. Selain untuk pasien, masker, misalnya, sangat dibutuhkan bagi para tenaga kesehatan.
Kekurangan pasokan alat kesehatan di rumah sakit tidak hanya disebabkan oleh persediaan global yang habis setelah wabah yang berkepanjangan di Cina, tapi juga karena meluasnya pembelian massal masker oleh warga yang panik. Sebagian besar rumah sakit tidak menyimpan persediaan dalam jumlah besar karena selama ini mereka membeli sesuai dengan kebutuhan.
Dokter yang melihat banyak pasien yang sakit di kantor mereka, daripada di rumah sakit, juga makin cemas. Seorang dokter di pusat rawat jalan yang merupakan bagian dari NYU Langone Health System mengatakan, “Kami tidak memiliki masker N95 dan diminta menemui pasien dengan masker bedah. Kami sedang mempertimbangkan penolakan menangani pasien Covid-19 yang potensial kecuali kami memiliki perlindungan yang tepat.”
“Kami seperti sedang berperang tanpa amunisi,” ujar seorang ahli bedah di Fresno, California, menggambarkan situasi yang dihadapi para tenaga kesehatan dalam menghadapi corona. Ia, yang tak mau disebut identitasnya, mengaku bahkan tidak punya akses ke masker bedah paling dasar di klinik rawat jalannya dan memiliki sedikit persediaan masker respirator di ruang operasi.
Menurut Washington Post, stok nasional perlengkapan medis hanya 12 juta masker N95 dan 30 juta masker bedah. Jumlah itu cuma sekitar satu persen dari kebutuhan 3,5 miliar yang diperkirakan Departemen Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan selama setahun jika wabah mencapai tingkat pandemi.
Nicole Lurie, yang bertugas sebagai asisten Menteri untuk Bidang Kesiapsiagaan di Departemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan selama pemerintahan Obama, mengatakan kurangnya persediaan alat pelindung bagi tenaga kesehatan ini merisaukan. “Jika Anda tidak dapat melindungi pekerja pelayanan kesehatan dan mereka sakit, seluruh sistem akan mati,” ujarnya.
Pemerintah dan rumah sakit bersiasat menghadapi kelangkaan pelindung kesehatan ini. Dalam upaya mengirit persediaan, Rumah Sakit Chatham di Kota Siler, Carolina Utara, misalnya, hanya mengizinkan satu dokter dan satu perawat untuk memeriksa pasien dengan gejala gangguan pernapasan.
Beberapa rumah sakit menggunakan taktik yang lebih berat. Sistem Kesehatan Saint Peter di New Jersey, Rabu, 18 Maret lalu, memperingatkan para dokter melalui surat elektronik bahwa mereka dapat dikenai sanksi disiplin jika mengenakan masker saat tidak memeriksa pasien.
Di Oregon, pejabat kesehatan di Multnomah County menyerukan agar masyarakat menyumbangkan sarung tangan karet, kacamata pelindung, atau masker yang mungkin mereka miliki di rumah atau di tempat kerja. Wilayah itu, yang mencakup Portland, hanya memiliki persediaan alat kesehatan untuk kurang dari seminggu.
Rebecca Bartles, yang mengepalai upaya pencegahan infeksi untuk jaringan rumah sakit Providence St. Joseph, yang berbasis di Washington, mengatakan hanya tersisa beberapa hari sebelum beberapa dari 51 rumah sakit dan 800 klinik kehabisan alat pelindung diri. Itu membahayakan kemampuan Amerika dalam merespons pandemi yang masih dalam tahap awal ini.
Di Bulgaria, keterbatasan perlengkapan kesehatan membuat risau tenaga kesehatannya. Menurut Aljazeera, lusinan dokter dan perawat menyampaikan surat pengunduran diri dari dua rumah sakit di ibu kota Bulgaria, Sofia, setelah mereka diberi tahu harus merawat pasien Covid-19. Sampai 19 Maret lalu, Bulgaria mencatat ada 112 kasus corona dan 3 orang meninggal.
Kameliya Bachovska dari Second City Hospital di Sofia mengatakan dia bersama 84 rekannya menyerahkan pengunduran diri setelah diberi tahu bahwa rumah sakit mereka akan dikonversi untuk menerima pasien Covid-19. “Rumah sakit tidak memiliki cukup alat pelindung. Bukan hanya rumah sakit kami yang tidak memilikinya. Yang lain juga tidak punya,” tuturnya.
Bachovska mengatakan rumah sakit juga tidak memiliki sanitasi dan peralatan yang diperlukan untuk menampung penderita penyakit menular. Dia juga menyebutkan mayoritas dokter dan perawat di fasilitas kesehatan mendekati usia pensiun atau masih bekerja saat pensiun dan mereka takut tertular kalau diminta merawat pasien tanpa memakai alat pelindung yang benar.
Bulgaria, seperti negara-negara lain di Eropa Timur, menderita kekurangan dokter, yang memaksa rumah sakit mempekerjakan tenaga medis yang sudah pensiun. Menurut Stoyan Borisov, Kepala Persatuan Dokter Bulgaria, sebanyak 250-300 dokter meninggalkan negara itu untuk bekerja di luar negeri setiap tahun.
Jerman juga risau terhadap penyebaran corona. Negara berpenduduk 82 juta jiwa itu mencatat peningkatan signifikan jumlah penderita corona. Pada akhir Februari lalu, hanya ada 129 kasus dan tak ada yang meninggal. Pada 18 Maret, jumlahnya melonjak drastis menjadi 12.327 kasus dengan 28 orang tewas.
Menurut Daily Mail, Jerman saat ini memiliki sekitar 25 ribu tempat tidur perawatan intensif dengan fasilitas bantuan pernapasan. Pemerintah di Berlin juga telah memerintahkan penambahan ribuan respirator baru.
“Jerman memiliki sistem kesehatan yang sangat baik,” kata Kanselir Jerman Angela Merkel dalam pidato di depan publik, 18 Maret lalu. Namun, “Bahkan rumah sakit kami akan kewalahan jika terlalu banyak pasien dengan gejala serius corona dibawa dalam waktu singkat.” Merkel menyebut corona sebagai tantangan paling serius yang dihadapi Jerman setelah Perang Dunia Kedua.
ABDUL MANAN (NEW YORK TIMES, WASHINGTON POST, CNBC, ALJAZEERA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo