Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Dokter dan perawat pasien Covid-19 kekurangan alat pelindung diri.
Diperkirakan pada akhir Mei 2020 ada 60 ribu orang positif corona.
Jumlah ruang isolasi, ventilator, dan tenaga medis diprediksi tak mampu menangani lonjakan jumlah pasien Covid-19.
PAKAIAN dinas Listiyanti kini lebih tebal ketimbang biasanya. Perawat di ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso, Jakarta, itu sebelumnya cukup mengenakan baju hazmat dan masker jenis N95 ketika berkontak dengan pasien yang terjangkit Coronavirus Disease 2019 atau Covid-19. Semua pakaian itu diganti dengan yang baru ketika ia berpindah menangani pasien lain.
Sejak Rabu, 18 Maret lalu, perawat 40 tahun itu harus melapis baju hazmat dengan pakaian medis sekali pakai dari bahan plastik. Masker N95 yang menutupi hidung dan mulutnya pun ditambah dengan masker bedah. Ketika berpindah ke pasien lain, Listiyanti mencopot masker bedah dan kostum plastiknya. Sedangkan hazmat dan masker N95 tak lagi dicopot. “Kami harus berhemat,” kata Listiyanti. Menurut dia, prosedur itu berlaku setelah pengelola rumah sakit mengumumkan bahwa stok alat pelindung diri di RSPI Sulianti Saroso mulai menipis seiring dengan membeludaknya pasien Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas medis membawa barang milik pasien diduga terinfeksi virus COVID-19 ke ruang isolasi di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, 4 Maret 2020. ANTARA/Muhammad Adimaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rumah Sakit Umum Pusat Dr Sardjito, Yogyakarta, melakukan hal serupa. Kepala Instalasi Gawat Darurat Handoyo Pramusinto mengatakan persediaan alat pelindung diri yang dimiliki rumah sakit itu hanya cukup sampai dua bulan mendatang. Padahal RSUP Sardjito kebanjiran ratusan orang yang ingin mengecek virus. Mereka pun harus merawat pasien dalam pemantauan.
Menyiasati situasi itu, kata Handoyo, para tenaga medis mengatur jadwal perawatan pasien. Dokter dan perawat yang mengenakan satu set alat perlindungan mengunjungi pasien dengan risiko rendah sebelum merawat pasien berisiko tinggi. Setelah itu, pakaian didekontaminasi. Belakangan, mereka mendapat pakaian hazmat sumbangan yang harganya Rp 850 ribu—lebih mahal Rp 600 ribu ketimbang baju standar yang dimiliki pihak rumah sakit. “Berhemat bukan berarti menurunkan standar,” kata Handoyo.
Bukan hanya alat perlindungan diri, ketersediaan kasur dan mesin ventilator di sejumlah rumah sakit rujukan pasien Covid-19 juga minim. Atika Rahmawani, perawat di RSPI Sulianto Saroso, mengatakan bahwa ruang isolasi di rumah sakit itu hanya memiliki 11 kasur dan satu ventilator atau alat bantu pernapasan. Setelah pasien corona membengkak, rumah sakit menambah beberapa kamar di ruang perawatan intensif dan dua ventilator.
Sejak Presiden Joko Widodo mengumumkan kasus pertama Covid-19 pada 2 Maret lalu, rumah sakit itu sudah menangani 51 pasien Covid-19 hingga Kamis, 19 Maret lalu. Hari itu, masih ada 16 pasien positif corona yang dirawat. “Yang pasti, kapasitas ruang isolasi terisi penuh,” kata Atika.
•••
PONTANG-panting tenaga medis dan minimnya fasilitas rumah sakit rujukan Covid-19 menjadi salah satu topik yang dibahas dalam rapat yang diadakan anggota staf khusus Presiden Joko Widodo, Andi Taufan Garuda Putra. Berlangsung selama dua setengah jam lewat telekonferensi video, rapat itu dihadiri 16 pakar dan perwakilan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. Anggota Dewan Pakar Indonesia Strategic Institute, Sidrotun Naim, yang mengikuti rapat tersebut, bercerita bahwa para pakar melontarkan kritik kepada pemerintah saat membahas persoalan fasilitas dan tenaga medis.
Menurut Sidrotun, pemerintah seharusnya menjamin ketersediaan alat pelindung diri untuk dokter dan perawat. Apalagi mereka berjibaku dengan virus yang berbahaya dan belum ada vaksinnya. “Mereka garda depan yang harus dibekali senjata. Kalau tidak, jangan nekat ke medan tempur,” kata Sidrotun.
Mesty Ariotedjo dari Ikatan Dokter Anak Indonesia, yang juga mengikuti pertemuan tersebut, menilai sarana kesehatan yang tersedia di rumah sakit rujukan tak cukup untuk mengantisipasi lonjakan jumlah pasien corona. Mengutip riset para peneliti Indonesia, para pakar yang hadir menyebutkan kasus Covid-19 akan meningkat drastis dalam beberapa pekan mendatang. “Kami merekomendasikan pemerintah menyiapkan ruang isolasi dan alat bantu pernapasan di rumah sakit non-rujukan dan swasta,” ujar Mesty.
Salah satu kajian yang menjadi rujukan adalah penelitian yang dipimpin Nuning Nuraini dari Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung. Menggunakan model yang dikembangkan F.J. Richards—akademikus Imperial College London—Nuning dan koleganya memperkirakan jumlah kasus melonjak jauh pada akhir Maret-awal April 2020. Diperkirakan bakal ada 8.000 kasus positif corona pada 12 April mendatang. Perhitungan itu diambil berdasarkan angka resmi yang dirilis pemerintah pada 2-7 Maret lalu. “Pertambahan kasus per hari juga meningkat menjadi 600 pasien,” katanya.
Ruang Isolasi RSPI Sulianti Saroso, Jakarta, Februari 2020. REUTERS/Ajeng Dinar Ulfiana
Belakangan, angka itu malah bertambah. Sabtu, 21 Maret, dengan menggunakan data resmi pemerintah pada 2-20 Maret, Nuning dan timnya memprediksi bakal ada 60 ribu kasus positif corona pada akhir Mei mendatang. Adapun pertambahan kasus per hari meningkat menjadi 2.000 pasien. Menurut Nuning, timnya memilih model Richards karena terbukti cukup akurat memprediksi fase endemik sindrom pernapasan akut parah atau SARS di Hong Kong pada 2003. Walau begitu, Nuning mengingatkan bahwa pemodelan itu sekadar kajian awal yang hasilnya bisa berubah seiring dengan pembaruan data pasien.
Dengan perkiraan tersebut, kekhawatiran para pakar yang diundang rapat dengan Istana sangat beralasan. Di Jakarta saja, provinsi dengan kasus Covid-19 tertinggi, hanya tersedia 66 kasur di ruang isolasi khusus. Mengutip basis data di situs resmi rumah sakit rujukan dan Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian, fasilitas itu tersebar di tiga dari delapan rumah sakit rujukan, yaitu RSPI Sulianti Saroso, Rumah Sakit Persahabatan, dan Rumah Sakit Fatmawati. Ketersediaan ranjang meningkat menjadi 500 unit jika menambahkan jumlah tempat tidur di ruang perawatan intensif, yang tidak dibangun untuk mengkarantina pasien infeksi menular.
Wakil Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Khafifah Any menyebutkan semua rumah sakit rujukan pasien corona sebenarnya punya ruang isolasi khusus yang dilengkapi ranjang perawatan. “Tapi jumlahnya memang sangat terbatas,” kata Khafifah. Pemerintah DKI Jakarta berencana menambah 500 ranjang di sejumlah rumah sakit sampai awal April mendatang.
Mengantisipasi kebutuhan ruang isolasi, pemerintah pun merehabilitasi barak pengungsi Vietnam di Pulau Galang, Kepulauan Riau, menjadi rumah sakit isolasi. Direktur Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Danis Hidayat mengatakan target merampungkan rumah sakit khusus itu adalah akhir Maret 2020. Pihak kontraktor mengerahkan 1.400 pekerja untuk menyelesaikan pembangunan 400 kamar isolasi. “Perkiraan biayanya Rp 400 miliar,” ujar Danis.
Persiapan penyemprotan cairan disinfektan pada Wisma Atlet di Kemayoran, Jakarta, 21 Maret 2020. ANTARA/M. N. Kanwa
Presiden Jokowi juga memerintahkan Gugus Tugas Covid-19 menyulap Wisma Atlet Kemayoran menjadi rumah sakit darurat. Bekas fasilitas Asian Games 2018 itu punya lebih dari 7.000 kamar yang tersebar di tiga gedung. Presiden meminta wisma atlet itu resmi dibuka menjadi rumah sakit paling lambat Sabtu malam, 21 Maret 2020.
Beberapa jam sebelum rencana pembukaan pada Sabtu, 21 Maret, puluhan pekerja hilir-mudik di area wisma itu. Sejumlah orang mengoperasikan mesin potong rumput dan membabat gulma yang tumbuh di area taman. Belasan kantong sampah berwarna hitam menumpuk di lobi Tower 1. Seorang anggota Tentara Nasional Indonesia yang bertugas di Tower 1 mengatakan tak sembarang orang bisa masuk setelah kawasan itu diputuskan menjadi rumah sakit darurat. Hanya karyawan PT Adhi Karya dan petugas berwenang yang boleh masuk.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir pun memerintahkan rumah sakit milik perusahaan pelat merah ikut menangani pasien corona. Ada 65 rumah sakit BUMN dengan kapasitas 155 ranjang dan 66 ruang observasi yang akan disiapkan. Pemerintah juga mengerahkan rumah sakit milik Kepolisian RI dan TNI, yang jumlahnya 162 unit. “Kami mengerahkan semua sumber daya dan infrastruktur yang dimiliki untuk mengatasi wabah ini,” kata Achmad Yurianto, juru bicara penanganan corona Indonesia.
Pemerintah juga berupaya menyuplai sejumlah alat kesehatan yang mulai langka di pasar. Pada awal Maret lalu, Presiden Jokowi menyebutkan Indonesia masih memiliki stok 50 juta masker. Namun, pekan lalu, kelangkaan masker masih terjadi di Ibu Kota dan daerah lain. Pada Jumat malam, 20 Maret lalu, dua toko farmasi di Mal Pejaten Village, Jakarta Selatan, tak memiliki stok masker dan cairan pembersih tangan. Begitu pula retail Kimia Farma, BUMN farmasi, di Jalan Warung Jati Barat, Jakarta Selatan. Menurut Tami, petugas di toko itu, masker tersedia pada pagi hari dan habis dalam hitungan jam. “Satu pelanggan cuma boleh membeli satu plastik yang berisi dua masker.”
Chandra Kristianto, pegawai perbankan di Jakarta Selatan, mengaku kesulitan mencari masker di sejumlah apotek di kawasan Semanggi dan Bendungan Hilir. Ia baru mendapatkan masker pada Senin, 16 Maret lalu, setelah kantornya membagikan kepada karyawan dengan jatah selembar per hari. Novitri, karyawan swasta di Jakarta Barat, bahkan meminta keluarganya di Tuban, Jawa Timur, mencarikan masker. Tapi, di sana, masker pun sulit ditemukan. Rachmawati, seorang anggota staf pemasaran, juga kesulitan mencari masker di toko online. “Satu masker bisa Rp 5.000-8.000,” ujarnya.
Melalui perusahaan farmasi pelat merah, Menteri Badan Usaha Milik Negara berjanji menyediakan 4,7 juta masker pada akhir Maret. Direktur Utama PT Indofarma Arief Pramuhanto mengatakan perusahaannya diperintahkan memproduksi masker untuk kebutuhan dalam negeri. Namun ia menyebutkan mesin produksi yang rencananya dibeli dari Cina atau India baru tiba dua bulan lagi atau Mei 2020. “Kapasitasnya maksimal 600 ribu per bulan,” ucap Arief.
Hal lain yang juga dikhawatirkan adalah jumlah tenaga medis yang bakal menangani pasien Covid-19. Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia Agus Dwi Susanto menyebutkan, di Indonesia, ada sekitar seribu dokter paru dan 200 di antaranya berdinas di Jakarta. Idealnya, kata dia, satu dokter paru merawat sepuluh pasien saja. Jika terjadi lonjakan jumlah korban corona menjadi 60 ribu orang pada pertengahan April mendatang seperti diperkirakan para ahli matematika dari ITB, bisa saja terjadi kekurangan dokter paru.
Agus mengatakan, sampai saat ini, pasien corona masih bisa tertangani. “Jumlah dokter paru masih cukup,” ujarnya. Jika ledakan pasien corona terjadi, mau tidak mau penanganannya harus melibatkan dokter spesialis lain. Tapi, dengan wabah yang sudah meluas, kata Agus, jumlah dokter, perawat, dan alat kesehatan bukan lagi yang utama. “Harus ada kebijakan yang memutus mata rantai penyebaran, seperti karantina parsial di daerah yang kasusnya tinggi,” ujar Agus.
•••
PERSOALAN lockdown atau karantina wilayah juga dibahas dalam rapat para pakar kesehatan dengan staf khusus Jokowi dan Gugus Tugas Covid-19. Anggota Dewan Pakar Indonesia Strategic Institute, Sidrotun Naim, mengatakan semua pakar tak setuju dengan isolasi kota secara total. Yang dianjurkan forum adalah memodifikasi skema isolasi dengan menutup batas kota, tapi tetap mengizinkan mobilitas warga untuk mengantar logistik dan mengakses fasilitas kesehatan.
Langkah mitigasi seandainya pemerintah memutuskan karantina kota juga dibicarakan. Menurut Sidrotun, pakar mendesak pemerintah mengadakan tes massal begitu jalur-jalur masuk ditutup. Skemanya bisa dengan mendatangi rumah-rumah warga atau menetapkan puskesmas menjadi posko pengujian. Pembahasan soal pendeteksian corona ini sempat menghangatkan forum. Sebagian besar peserta rapat menilai semestinya pemerintah lebih sigap melakukan pengujian sebelum wabah merebak. “Seharusnya pemerintah pakai mindset krisis, bukan ritme kerja reguler,” ujar Sidrotun menceritakan masukan seorang peserta rapat.
Pembangunan gedung rumah sakit khusus Corona di kawasan bekas Camp Vietnam di Pulau Galang, Batam, Kepulauan Riau, 20 Maret 2020. ANTARA/M. Risyal Hidayat
Diskusi makin alot ketika menyinggung soal transparansi pemerintah. Sidrotun mengatakan ada pakar yang mempersoalkan pernyataan Jokowi pada Jumat, 13 Maret lalu, bahwa pemerintah tidak membuka semua data mengenai penyebaran corona kepada publik. Saat itu, Jokowi menyatakan tak ingin menimbulkan kepanikan. Menurut pakar tersebut, penutupan informasi seperti jumlah riil pasien terjangkit dan lokasi penularan justru bisa membantu penyebaran wabah yang lebih luas.
Seorang pejabat di Balai Kota yang menangani Covid-19 mengatakan informasi yang disampaikan secara rutin oleh pemerintah tidak menggambarkan kondisi sebenarnya di lapangan. Ia mencontohkan, pada 18 Maret 2020, pemerintah melaporkan ada 19 pasien meninggal akibat terpapar corona dan 12 di antaranya berada di Jakarta. Padahal, kata pejabat DKI itu, angka 12 pasien sudah diketahui beberapa hari sebelum diumumkan pemerintah.
Juru bicara pemerintah untuk penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, membantah tudingan bahwa pemerintah menutupi jumlah pasien yang terpapar corona dan yang meninggal. Dia berdalih rumah sakit tak melaporkan kasus kematian secara rutin. “Pemerintah pusat harus mendata ulang jumlahnya,” kata Yurianto.
Lalu berapa sebenarnya jumlah penderita Covid-19? Makhyan Jibril, dokter lulusan University College London, mencoba menggunakan pemodelan epidemiologi versi Tomas Pueyo—pakar teknologi lulusan Stanford University. Dengan metode tersebut, Makhyan menemukan formula bahwa kasus positif Covid-19 yang terjadi di lapangan sebenarnya 27 kali lebih banyak daripada yang dideteksi pemerintah. Artinya, jika pemerintah mengumumkan 450 kasus pada Sabtu, 21 Maret 2020, dengan 38 orang meninggal dan 20 orang sembuh, diperkirakan ada 12 ribuan kasus positif yang terjadi di Indonesia. “Itu perkiraan matematis. Bisa saja lebih rendah, bisa juga lebih tinggi,” ujar Makhyan.
Achmad Yurianto sendiri memperkirakan ada ratusan ribu orang Indonesia berisiko terpapar corona. “Menurut data perhitungan yang kami miliki, kelompok orang yang berisiko ada pada kisaran angka 600 ribu sampai 700 ribu,” tuturnya pada Jumat, 20 Maret lalu. Pemerintah, kata Yurianto, mencoba mengantisipasinya dengan menyiapkan pengujian secara massal dalam waktu dekat. Terutama kepada mereka yang pernah berkontak langsung dengan pasien positif corona.
RAYMUNDUS RIKANG, BUDIARTI UTAMI PUTRI, NUR ALFIYAH, PRAMONO, ANWAR SISWADI (BANDUNG), AHMAD RAFIQ (SOLO), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
FASILITAS TAMBAHAN RUANG ISOLASI
• 1.800 tempat tidur di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta
• 12 Laboratorium pemeriksaan spesimen Covid-19
• Rumah Sakit Pulau Galang (dalam pembangunan) Kapasitas 1.000 pasien, 50 ruang isolasi
MENCEGAH PANDEMI COVID-19
• Menjaga jarak bila bertemu
• Jangan bersentuhan
• Cuci tangan memakai sabun
• Hindari kerumunan
• Bagi yang sedang sakit, gunakan masker
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo