Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mempersoalkan ekspor pasir laut.
Kementerian Kelautan dan Perikanan memenangkan perdebatan soal sedimentasi laut.
DPR ikut menolak ekspor pasir laut.
BAGI Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, tata kelola ekspor pasir laut masih menyisakan masalah. Kajian Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara menemukan lokasi eksploitasi pasir yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan tumpang-tindih dengan lima izin usaha pertambangan (IUP) pasir laut di Kepulauan Riau.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Prinsipnya perlu harmonisasi karena sesuai PP 26 Tahun 2023 lokasi tambang pasir tidak dapat diberikan di wilayah yang telah ditetapkan atau diterbitkan izin usaha pertambangan,” demikian tertulis dalam kajian berjudul “Tata Kelola Pasir Laut atau Mineral Silika”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut memang melarang eksploitasi pasir di lokasi yang telah memiliki IUP, alur pelayaran, lingkungan pelabuhan atau terminal khusus, serta zona inti kawasan konservasi, kecuali untuk kepentingan konservasi. Namun, menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan Victor Gustaaf Manoppo, larangan menambang berlaku apabila IUP telah masuk rencana tata ruang atau zonasi perairan. “Coba baca lagi aturannya,” kata Victor pada Jumat, 27 September 2024.
Kementerian Kelautan dan Perikanan bolak-balik membedah peta tata ruang serta zonasi sebelum menetapkan area lokasi eksploitasi pasir laut. Walhasil, menurut dua pejabat kementerian tersebut, lima IUP yang dikeluarkan Kementerian Energi tak masuk rencana tata ruang atau zonasi perairan Kepulauan Riau.
Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Dadan Kusdiana irit bicara ihwal lokasi eksploitasi pasir laut yang tumpang-tindih dengan izin usaha pertambangan yang dikeluarkan kementeriannya. “Prinsipnya, semua harus sesuai dengan aturan,” ucap Dadan, Jumat, 27 September 2024.
Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut (PRL) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo. FOTO/kkp.go.id
Perdebatan antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dengan Kementerian Kelautan berlangsung sejak Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut disusun. Dua pejabat di Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi bercerita, Kementerian Energi ngotot menginginkan tambang pasir masuk rezim IUP di bawah kendali mereka. Alasannya, sedimen laut yang akan dikeruk tak hanya mengandung pasir, tapi juga mineral seperti timah, nikel, dan kuarsa. Adapun Kementerian Kelautan berkukuh menyatakan izin eksploitasi pasir di bawah kewenangannya karena berlokasi di laut.
Belakangan, persaingan dua instansi itu dimenangi Kementerian Kelautan. Peraturan pemerintah tentang pengelolaan sedimen laut yang terbit pada 15 Mei 2023 memberikan wewenang kepada Kementerian Kelautan untuk menerbitkan izin pemanfaatan dan ekspor pasir laut.
Meski kewenangan memberikan izin pemanfaatan dan ekspor pasir laut sudah jatuh ke tangan Kementerian Kelautan, ganjalan masih datang dari Kementerian Energi. Selain memuat soal tumpang-tindih perizinan, kajian Balai Besar Pengujian Mineral dan Batubara menyebutkan pasir laut yang diekspor harus memenuhi ketentuan dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Tambang Mineral dan Batubara. Kandungan pasir tersebut juga harus sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 20 Tahun 2024 tentang Barang yang Dilarang Ekspor. Kedua aturan itu mensyaratkan pasir laut yang boleh diekspor memiliki kandungan silika di atas 95 persen.
Masalahnya, syarat tersebut tak nyambung dengan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 47 Tahun 2024 tentang Spesifikasi Pasir Hasil Sedimentasi di Laut untuk Ekspor. Menurut aturan itu, pasir laut dapat diekspor apabila mengandung kadar silika sama dengan atau di bawah 95 persen.
Merespons perdebatan internal pemerintah, Victor Manoppo dari Kementerian Kelautan mengatakan pendekatan Kementerian Energi berbeda dengan kementeriannya. “Kementerian ESDM pendekatannya penambangan atau ekonomi, sementara kami untuk menjaga daya dukung dan daya tampung laut atau ekologi,” ujarnya. Sekretaris Jenderal Kementerian Energi Dadan Kusdiana tak menjelaskan dengan gamblang perbedaan di antara kedua instansi. “Sekarang aturannya sudah terbit. Dalam konteks sebagai bagian dari pemerintah, kami akan menjalankan aturan itu,” katanya.
•••
RENCANA ekspor pasir laut juga mendapat ganjalan dari Senayan. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Deddy Yevri Sitorus, menolaknya lantaran eksploitasi pasir laut bakal merusak ekosistem laut dan mematikan pendapatan nelayan.
Bukan kali ini saja PDI Perjuangan menolak ekspor pasir. Sewaktu menjabat presiden pada 2002, Megawati Soekarnoputri menyetop ekspor pasir laut. Waktu itu, pengerukan pasir laut dianggap bakal menenggelamkan pulau-pulau kecil yang berseberangan dengan Singapura. Selain itu, menurut Deddy Sitorus, ada penelitian yang menyatakan garis batas laut Indonesia mundur, sementara Singapura makin maju. Berdasarkan hal tersebut, Megawati menghentikan ekspor pasir laut melalui surat keputusan bersama tiga menteri, yakni Menteri Perdagangan, Menteri Kelautan dan Perikanan, serta Menteri Lingkungan Hidup.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Slamet, juga menyayangkan keputusan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut setelah moratorium lebih dari dua dekade. “Ini barang lama lalu hidup lagi,” ujar Slamet. Demikian juga Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa yang menolak dengan alasan lingkungan. “Kami menyerukan tobat ekologis,” ucap anggota Fraksi PKB, Daniel Johan.
Adapun Partai Gerakan Indonesia Raya, yang merupakan partai presiden terpilih Prabowo Subianto, meminta rencana ekspor pasir laut ditunda. “Ketika mudaratnya lebih besar dari pendapatan perekonomian yang didapatkan, kegiatan itu yang akan menjadi beban bagi kehidupan berikutnya,” tutur Sekretaris Jenderal Gerindra yang juga anggota DPR, Ahmad Muzani.
Di Kementerian Kelautan, rencana ekspor pasir laut dirancang sejak era Menteri Edhy Prabowo. Rencana itu ambyar lantaran Edhy dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi dalam perkara ekspor benih lobster pada akhir 2020. Sakti Wahyu Trenggono kemudian melanjutkan rencana Edhy Prabowo dengan menerbitkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 82 Tahun 2021 tentang Harga Patokan Pasir Laut. Namun aturan tersebut belum mengatur ekspor pasir laut.
Setelah Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut terbit pada Mei 2023, Trenggono mengatakan pasir laut bisa diekspor asalkan kebutuhan dalam negeri sudah terpenuhi. “Permintaan banyak, tapi persyaratan ketat,” ucap Trenggono pada Selasa, 24 September 2024.
Meski mendapat ganjalan dari Senayan, rencana ekspor pasir laut tampaknya bakal jalan terus. Menteri Trenggono berdalih pengerukan sedimen laut justru dapat memperbaiki lingkungan. “Sedimen itu menutupi terumbu karang dan menghalangi alur kapal. Jelas itu mengganggu,” katanya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Khairul Anam dan Caesar Akbar berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terganjal Kawan dan Senayan"