Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pria muncul dari kain layar berkelir hitam. Ia mengerang kesakitan sambil memeluk tubuhnya dengan selembar kain tipis. “Aduh,” pria itu merintih, lalu tergeletak di lantai. Empat orang mengerumuninya dan melemparkan pertanyaan bertubi-tubi. “Kenapa? Sakit, ya? Sakit apa? Apanya yang sakit? Panas? Masuk angin?” mereka bertanya bergantian. Pria yang tampak kesakitan itu tak menjawab dan terus mengaduh pilu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adegan ini adalah bagian dari lakon Aduh, naskah drama yang ditulis pendiri Teater Mandiri, Putu Wijaya, pada 1971. Kamis, 14 Maret 2024, para pemain Teater Mandiri sedang berlatih memainkan lakon Aduh di teras rumah Putu di Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Banten. Sore itu, dari kursi rodanya, Putu mengamati jalannya latihan tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sekarang saya sedang menyiapkan pementasan Aduh untuk dimainkan di Salihara pada 11 dan 12 Mei 2024,” kata Putu kepada Tempo di sela-sela latihan.
Pementasan Aduh karya Putu Wijaya oleh Teater Mandiri di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15 Juli 2011. Dok. Tempo/Muhammad Fadli
Dramawan 79 tahun ini bersama kelompok teaternya menggelar pertunjukan untuk memperingati 50 tahun lakon Aduh, yang pertama kali dimainkan Teater Mandiri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pada 1974. Pertunjukan ini menyajikan kisah kemunculan seorang pesakitan yang tidak diketahui identitasnya dan bergabung dengan sekelompok orang yang sedang bekerja. Alih-alih menolong, orang-orang pekerja itu malah sibuk berdebat hingga pria tersebut meninggal.
Di tengah deraan stroke, yang membuat fungsi kaki dan tangan kirinya menurun drastis, Putu masih aktif menyutradarai pertunjukan. Setiap tahun, ia rutin membuat tontonan bersama Teater Mandiri.
Dedikasi dan kecintaan Putu pada dunia teater telah terpupuk sejak ia duduk di bangku sekolah menengah atas. Teater pula yang menjadi pilihan kariernya di samping sebagai sastrawan dan jurnalis.
Pementasan Aduh karya Putu Wijaya oleh Teater Mandiri di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 15 Juli 2011. Dok. Tempo/Muhammad Fadli
Terlahir dari keluarga aristokrat Bali pada 11 April 1944, I Gusti Ngurah Putu Wijaya banyak menghabiskan masa kecilnya di Puri Anom, Tabanan, sebuah kompleks perumahan besar yang dihuni sekitar 200 orang. Kehidupannya di puri menjadi salah satu inspirasi dalam menciptakan karya-karyanya, termasuk naskah Aduh. “Memperkaya saya untuk melihat hal-hal kemanusiaan ketika kami berkumpul yang ada hubungannya dengan Aduh,” ujarnya.
Putu menempuh pendidikan taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama di Tabanan. Lulus SMP, ia pindah ke Singaraja dan masuk SMA-A (jurusan sastra), yang kini dikenal sebagai SMA Negeri 1 Singaraja. Daerah Bali bagian utara ini berperan penting membentuk kepribadian Putu, terutama saat menghasilkan karya seni.
Salah satu pengaruh Singaraja pada diri Putu tampak dalam gaya bicaranya yang kasar. Itu berbeda dengan gaya bicara orang di tempat kelahirannya, Tabanan, yang lebih halus. “Tapi di balik kekasaran itu ada kemesraan,” ucapnya.
Selain itu, kehidupan di Singaraja mengubah cara pandang Putu terhadap sesuatu sehingga tak lagi menjadi hitam-putih. “Itu sangat penting buat penulisan dan karya-karya kesenian saya,” tuturnya.
Putu Wijaya (kiri) memberi arahan saat latihan Teater Mandiri berjudul Aduh di rumahnya di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, 15 Maret 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Saat duduk di SMA, Putu mulai mempelajari seni teater. Pentas pertamanya adalah lakon Badak yang naskahnya ditulis oleh Anton Chekhov, seorang master plot asal Rusia. Kesempatan bermain drama ini muncul setelah Kepala SMAN 1 Singaraja dan pendidik yang progresif, Gedong Bagoes Oka, mendatangkan Kirdjomulyo, sastrawan dan penulis drama asal Yogyakarta, untuk melatih teater.
Setelah pementasan pertamanya di sekolah, Putu diajak Kirdjomulyo bermain drama hingga ke luar Bali, seperti Yogyakarta dan Surabaya. Dari kunjungannya itu, Putu mendapat jaringan relasi dengan para sastrawan dan seniman teater.
Di bawah bimbingan Kirdjomulyo, Putu juga mempelajari penyutradaraan. Setelah menjalani ujian di kelas XII, ia diminta mengarahkan pementasan lakon Barabah. Insting menyutradarai ini pun terbawa. Ia memiliki ambisi ingin bisa bermain, menulis lakon, dan menyutradarai teater.
Lulus SMA, Putu hijrah ke Yogyakarta untuk kuliah jurusan hukum di Universitas Gadjah Mada. Sang ayah, I Gusti Ngurah Raka, sebetulnya berharap anak bungsunya itu masuk kedokteran. Tapi Putu mengaku lemah dalam ilmu pasti. “Bukan hanya lemah, tidak begitu suka,” ujarnya.
Sambil kuliah, pria yang selalu mengenakan topi pet putih ini malah makin berfokus pada dunia kesenian. Selain menempuh pendidikan di UGM, Putu mempelajari drama di Akademi Seni Drama dan Film serta seni lukis di Akademi Seni Rupa Indonesia. Putu mengaku kuliah di tiga kampus di Yogyakarta itu bukan untuk mengejar titel. Tapi, “Memang ingin mengisi waktu saja.”
Ia makin menyelami dunia teater setelah bergabung dengan Teater Bengkel asuhan W.S. Rendra. Kendati ikut mendirikan teater itu, Putu hanya aktif selama dua tahun dan tampil dalam tiga pementasan, salah satunya lakon Menunggu Godot (1969). Sebab, ia tak ingin berada di bawah bayang-bayang Rendra.
Bagi Putu, Rendra adalah guru, teman, sekaligus “musuh”. Sebagai guru, Rendra mengajarinya banyak hal seputar dunia lakon. Pun sebagai teman, Rendra bisa menjadi teman mengobrol. Adapun sebagai “musuh”, Putu berupaya melawan kesuksesan sastrawan yang dijuluki Si Burung Merak itu. “Ada banyak orang mengabdi dan pengin jadi dia (Rendra). Saya enggak pengin,” tuturnya.
Pementasan drama Das oleh kelompok Teater Mandiri di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1979. Dok. Tempo/Ali Said
Meski begitu, Putu mengaku senang bekerja dengan Rendra. Banyak hal yang dia pelajari dari sang penyair. Salah satunya ihwal sudut pandang baru terhadap sesuatu. Rendra mengajarkan segala sesuatu harus dilihat dengan sudut pandang baru.
Pada 1969, setelah lulus kuliah, Putu memutuskan pindah ke Jakarta.
Kendati menyandang gelar sarjana hukum, ia justru enggan bekerja sebagai hakim, jaksa, ataupun pengacara. Ia lebih yakin bisa berbuat banyak dalam jagat sastra dan teater. “Tapi pengetahuan hukum yang saya pelajari banyak membantu saya berekspresi dalam sastra dan teater,” ujarnya.
Pria yang gemar membaca sejak kecil ini mengatakan hukum mengatur kebebasan orang yang merdeka dengan membatasinya. Tapi pembatasan itu bukan memasung, melainkan menunjukkan di mana dan bagaimana orang bisa merdeka dengan aman.
Di Jakarta, Putu bergabung dengan Teater Kecil asuhan sutradara Arifin C. Noer dan Teater Populer yang diampu Teguh Karya. Setelah itu, ia mendirikan sanggar teaternya sendiri, yakni Teater Mandiri, pada 1971, ketika bekerja sebagai wartawan majalah Tempo. Beberapa anggota teaternya merupakan karyawan Tempo. Putu pun mengajak siapa saja yang mau ikut serta, seperti tukang sapu, tukang ojek, bahkan pencuri.
Menurut Putu, penggunaan nama Teater Mandiri berawal ketika suatu hari ia mendapat tawaran dari temannya untuk mengisi acara drama di TVRI. Namun, untuk tampil di acara tersebut, ia harus memiliki nama organisasi. Mulanya Putu hendak menyematkan nama Teater Kita. Tapi, ia pikir-pikir lagi, nama tersebut kurang menggigit. Akhirnya ia memilih nama Teater Mandiri.
Pilihan nama itu terinspirasi istilah “mandiri” yang kerap disebut oleh Djojodigoeno, dosen hukum adat dan sosiologi ketika Putu kuliah di UGM. Kata “mandiri” memiliki makna kemampuan berdiri sendiri dan cakap dalam tim. Kata itu terus terngiang-ngiang dalam ingatan Putu.
Teater Mandiri, Putu menjelaskan, hendak mengajak orang memahami fungsinya dalam masyarakat sebagai individu dan sosial. Putu menuturkan, nama kelompok teaternya sempat ditertawakan Arifin C. Noer. Sebab, kata “mandiri” saat itu masih asing dan belum ada dalam bahasa Indonesia.
Selain sebagai sutradara, Putu menulis hampir semua naskah drama yang dipentaskan Teater Mandiri. Ide-ide naskah dramanya terinspirasi dari berbagai peristiwa yang menyita perhatian. Naskah lakon Aum, misalnya, berangkat dari peristiwa tragedi bunuh diri massal di Guyana pada 1978 yang didalangi Jim Jones, pendiri sekte Peoples Temple.
Lakon yang pernah dipentaskan di Amerika Serikat itu berkisah tentang keanehan-keanehan yang terjadi di sebuah dusun. Kemudian kepala dusun itu berusaha mencari jawaban atas kejanggalan tersebut. Ia bertanya kepada bupati hingga gubernur. Namun tak satu pun dari mereka yang bisa menjawab. Kepala dusun marah dan akhirnya bertanya langsung kepada Tuhan. “Kalau kamu tidak bisa menjawab, saya bunuh diri sama-sama,” ucap Putu menirukan penggalan dialog dalam Aum yang terinspirasi kasus Jim Jones tersebut. “Dia (kepala dusun) bunuh diri, mati sama-sama. Itu jadi drama Aum.”
Ada pula naskah yang idenya terinspirasi kasus Kusni Kasdut, bekas pejuang kemerdekaan yang melakukan perampokan dan kemudian divonis mati oleh pengadilan pada 1964. Putu mengatakan kasusnya saat itu terus meneror pikirannya. Sebab, sebelum dieksekusi, Kusni menyampaikan permintaan terakhirnya untuk makan siang bersama keluarganya. “Terornya begini, di luar dia bersalah atau tidak, apa berhak ciptaan Tuhan ini dibunuh oleh ciptaan Tuhan?”
Dari peristiwa itu, Putu pun menciptakan naskah Los dengan sudut pandang lain. Ceritanya mengenai seseorang yang menentang sistem sehingga dihukum mati. Namun, setelah dieksekusi, jantungnya berdetak terus. Dug, dug, dug. Semua penduduk kota geger karena detak jantung itu begitu keras. “Drama itu dipentaskan di TIM dan orang tertawa,” katanya.
•••
DALAM pementasannya, Teater Mandiri memiliki konsep “bertolak dari yang ada” dengan tujuan meneror mental penonton. Putu Wijaya menjelaskan, bertolak dari yang ada berarti menerima apa yang ada, kemudian dengan berbagai cara memaksimalkannya atau bila perlu melakukan manipulasi hingga mencapai target yang dikejarnya, yaitu teror mental terhadap penonton. “Teror mental untuk membuat orang berpikir, mengubah pikiran orang, membuat orang menengok.”
Sementara Teguh Karya menganggap penonton teaternya sebagai tamu yang diundang dan harus disuguhi makanan enak, Putu lain. Ia setuju dengan konsep Teguh. Tapi, menurut dia, penonton juga harus diajak berpikir. “Mengajak untuk mempertimbangkan sekali lagi opini dan bahkan keyakinannya,” ujarnya.
Penyair sekaligus anggota Teater Mandiri, Jose Rizal Manua, menjelaskan konsep bertolak dari yang ada tersebut. Menurut Jose, Putu menerapkan apa saja yang berkaitan dengan unsur-unsur tontonan agar bisa bersinergi serta disiasati, dimanfaatkan, dan dimaksimalkan secara kreatif dalam pementasan. Di tangan Putu, kain bekas spanduk bisa menjadi kostum yang artistik dan unik. Bambu-bambu bekas yang dirakit dalam bentuk-bentuk tertentu, yang kemudian divisualisasi secara distortif dalam bentuk siluet, pun dapat menimbulkan efek-efek psikologis yang tidak terduga.
Kelompok Teater Mandiri saat sesi latihan untuk pementasan Front di Teater Arena, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 1985. Dok. Tempo/Ismunandar
Jose juga menilai pementasan Putu seperti lukisan tradisional Bali yang memiliki banyak fokus. Bentuk pementasan ini menyimpang dari kelaziman. Umumnya, sebuah pementasan memiliki alur cerita, tokoh utama, tokoh kedua, dan penyelesaiannya. Tapi, pada pementasan Putu, pertunjukan berakhir dengan dimulainya adegan baru.
Misalnya pementasan lakon Lho di Taman Ismail Marzuki pada 1975. Ketika pertunjukan selesai dan penonton keluar dari gedung, adegan baru tiba-tiba berlangsung, saat para pemain sudah ada di luar gedung dan dalam keadaan bugil teronggok di dalam gerobak. Kemudian seseorang mendorongnya dengan kayu ke dalam kolam di depan Teater Arena, seolah-olah itu adalah barang rongsokan atau onggokan sampah.
Beberapa pemain lain sudah nongkrong di dalam kolam itu seperti orang yang sedang buang hajat. Mereka berdiskusi tentang masalah-masalah politik yang banyak dibicarakan oleh para pejabat negara di surat-surat kabar dan televisi. Penonton yang hendak pulang terpaksa tertahan menyaksikan adegan yang berlangsung di kolam kecil itu.
Dari pertunjukan Lho tersebut, Jose merasakan teror mental yang menjadi tujuan Putu dalam tiap pementasannya. “Juga konsep anekdot yang menjadi subyeknya. Semua tampak nyata dalam pementasan Lho,” ucap aktor 69 tahun itu.
Konsep teater Putu, Jose menambahkan, sangat spesifik dan unik. Bentuk pementasannya berbeda dengan konsep kelompok-kelompok teater di Indonesia. “Bahkan boleh dibilang tidak ada padanannya di dunia teater Barat.”
Jose bercerita ihwal ketertarikannya bergabung dengan Teater Mandiri. Di awal Agustus 1975, ia menyaksikan sesi latihan Teater Mandiri di Taman Ismail Marzuki. Ia menilai latihan itu tidak lazim karena dimulai setelah larut malam dan berakhir menjelang fajar. Selepas berlatih, semua pemain mandi keringat karena latihan yang berlangsung lima jam tanpa istirahat.
Latihan teater itu, Jose menuturkan, tanpa kata-kata dan tanpa jalan cerita. Karena tertarik, hampir setiap larut malam Jose menyaksikan latihan itu bersama pelukis Nashar. Dua pekan rutin jadi penonton, Jose memberanikan diri bergabung dalam latihan. “Dan Putu mempersilakan,” dia mengenang. Sejak saat itu sampai sekarang, Jose menjadi anggota Teater Mandiri.
Selain bertolak dari yang ada, dalam sejumlah pementasannya Teater Mandiri menyajikan konsep visual layar. Pertunjukannya tak hanya mengandalkan narasi verbal, tapi juga bermain dengan visualisasi layar dari sorot lampu. Terkadang para pemain muncul dari balik layar tersebut. Menurut Putu, bentuk pementasannya dengan layar itu terinspirasi dari pertunjukan wayang.
•••
DENGAN konsep tersebut, Putu Wijaya terus melangkah bersama Teater Mandiri hingga kini. Meski ruang geraknya terbatas, imajinasi Putu dalam membuat naskah drama justru makin liar. Dalam 11 tahun belakangan, ia menulis beberapa lakon dan menyutradarainya. Di antaranya Ah, HA HA HA, Jprutt, Jreng, Gerr, Jpreet, dan Kok.
Melalui Teater Mandiri, Putu berupaya meneruskan pencapaian teater tradisi dan teater rakyat Indonesia. Tapi bukan pada bentuknya, melainkan jiwa, semangat, serta gagasannya. Ia ingin teater di Indonesia dibebaskan dari dominasi referensi teater Barat.
Putu menyeru penghentian dominasi referensi Barat. Menurut dia, baik referensi Barat maupun Timur harus digunakan sejajar. Cara pikir itu juga yang selama ini ia terapkan di Teater Mandiri.
Selain menilik penggunaan referensi, Putu menyoroti kelemahan teater di Indonesia, khususnya dari segi manajemen. “Penyelenggaraannya yang penting adalah peristiwanya saja. Jadi tidak ada orang yang menjaga dan menekuninya,” tuturnya.
Putu Wijaya bersama kelompok Teater Mandiri di rumahnya di Ciputat, Tangerang Selatan, 15 Maret 2024. Tempo/M Taufan Rengganis
Karena absennya penyelenggara, Putu mengatakan, sulit berprofesi di bidang teater. Terlebih teater tradisional yang mengandalkan sumbangan masyarakat.
Di luar negeri, Putu menambahkan, teater bukan saja berkembang. Ilmunya pun dipelajari dan mengikuti perkembangan industri. Ada sejumlah hal yang membuat teater Indonesia belum sampai ke tahap itu. Pertama, kesenian belum menjadi kebutuhan bagi orang-orang dalam mencari hiburan.
Kedua, tidak adanya pengamat serta minimnya paparan dari media massa. Putu melihat wartawan yang meliput teater biasanya tidak bertahan lama. “Diputar oleh pemimpin redaksinya atau dia sendiri pindah ke bidang lain,” ujarnya.
Ketiga, minimnya pendukung dana. Putu mengatakan ketiadaan manajemen menyebabkan sulitnya mendapatkan dukungan finansial. Padahal pertunjukan makin lama makin memerlukan banyak dana untuk sewa gedung hingga lampu. Keuntungan dari penjualan karcis saja tak cukup.
Putu membandingkan teater di Amerika Serikat, terutama di kampus-kampus yang bisa hidup bukan karena karcisnya terjual, tapi lantaran ada penyumbang. Mereka yang mendukung teater kampus ini begitu dihormati dan dikagumi serta diberi insentif pajak. Sementara itu, di Indonesia, sokongan dana selama ini lebih banyak disalurkan untuk bidang olahraga dan acara lain.
Teater Mandiri salah satu yang sulit mencari penonton. Tapi Putu yakin suatu hari akan tercapai hal ideal yang berimbang untuk perkembangan teater di Tanah Air. “Ada sedikit arah ke sana. Itu adalah sebuah pesan untuk orang-orang seperti saya juga: tetap di tempat kamu. Maka semuanya jelas. Terus mengalir, tetap menyala,” ucap Putu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Teater Teror Mental Putu Wijaya"