Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Putu Wijaya, keturunan aristokrat Bali, mengabdi kepada seni. Digembleng di Bengkel Teater W.S. Rendra.
Masuk dunia jurnalistik, tapi tetap menjadi diri sendiri untuk berkesenian. Memantapkan diri berteater selepas tenggat pekerjaan.
Menghabiskan waktu puluhan tahun di dunia jurnalistik dan kembali berfokus di teater.
PERDEBATAN beberapa orang terpelajar, seperti Arief Budiman, Goenawan Mohamad, dan Salim Said, dalam sebuah pertemuan di kantor majalah Horison pada 1970-an menyisakan kesan mendalam bagi Putu Wijaya. Saat itu ia diajak dramawan W.S. Rendra datang ke Jakarta untuk berpentas. Selama di Yogyakarta, ia bahkan tak pernah menemukan perdebatan semacam itu. Perdebatan dengan landasan ilmu yang kuat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saya kagum dan merasa sangat udik. Apa yang mereka katakan bagus,” ujar Putu kepada Tempo. Sempat ada penyesalan mengapa ia bersekolah di Yogyakarta, bukan di Jakarta. Tapi kemudian perjalanan mengantarkan Putu menjadi wartawan sekaligus dramawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putu kemudian memutuskan tinggal di Jakarta. Cita-citanya menjadi pemain drama. Temannya, Chairul, lalu mengajaknya ke majalah Ekspres. Tentu saja ia senang. Meskipun tidak menjadi pintar seperti orang-orang yang dikagumi, ia berpikir setidaknya bisa ikut kecipratan sedikit-sedikit.
Sayangnya, majalah ini tak berumur panjang, baru dua tahun sudah pecah kongsi. Mengutip situs Indonesianlantern.com, kubu Marzuki Arifin tetap meneruskan Ekspres, tapi Goenawan Mohamad bersama belasan karyawan lain, termasuk Putu, mendirikan Tempo. Putu bergelar sarjana hukum, tapi ia tak ingin memilih bidang hukum. Ketika memutuskan masuk Tempo, dia malah memilih bidang yang “tidak penting”—hiburan, olahraga—karena ingin tetap berkesenian.
Putu tinggal di kantor, yang membuatnya mendengar semua bahan berita dan pembicaraan orang-orang pintar. “Seperti perpustakaan ngomong sendiri, saya dengar saja, sesekali nyeletuk. Tapi dari situ saya sedikit naik level,” katanya.
Kepada Rendra, dia mengatakan tak ingin menjadi wartawan hebat, tapi tetap menjadi diri sendiri dan terus berkesenian. Ia menyadari seni tidak bisa diandalkan untuk makan dan hidup serta bisa menyiksa orang lain yang hidup bersamanya. Jadilah ia harus bekerja untuk membantu orang tua, saudara-saudaranya, dirinya sendiri, dan kelak istrinya. Karena itu, dia juga mencoba bekerja ringkes, menyelesaikan pekerjaan dengan cepat dan bisa berkesenian.
Masih dalam tulisan Putu di Indonesianlantern.com, mereka kemudian pindah kantor. Pertama ke daerah Kota Lama, lalu ke Pasar Senen di Jalan Senen Raya 83, Jakarta. Kantor di Pasar Senen, sebuah gedung tua berlantai dua dari kayu, sedikit lebih enak dibanding kantor di daerah Kota yang sering bocor. Putu sempat didera rasa takut, ngeper bila menginjak lantai kayu yang mungkin runtuh. Tapi lama-lama ia jadi biasa dan lupa. Putu bahkan sering tidur di atas meja atau kursi di kantor.
Ketika teman-teman kantor pulang, ia sering hanya bersama Pak Tua, seorang penjaga keamanan. Kesempatan itu juga dia pakai untuk menulis naskah teater. Tak jarang ia membawa teman karena takut hantu di antara gedung-gedung tua itu. “Saya nyetel musik rock keras-keras karena hantu takut sama musik rock. Jadi enak juga.” Dari Senen, lalu kantor pindah ke Blok Proyek, kemudian pindah lagi ke Kuningan, Jakarta.
Di situs Indonesianlantern.com, Putu menuliskan kisahnya menjadi karyawan Tempo pada 1971-1991 (dengan bolong 12 bulan di Kyoto/Ittoen, Shugakuin, Jepang, dan pada 1985-1988 mendapat beasiswa Fulbright di Amerika Serikat). Di Tempo, ia berdampingan dengan Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Bur Rasuanto, Christianto Wibisono, Usamah, Syu’bah Asa, Bastari Asnin, Salim Said, Toeti Kakiailatu, Isma Sawitri, Zen Umar Purba, Lukman Setiawan, dan Ed Zoelverdi. Putu mengaku ada banyak pelajaran penting di Tempo, terutama bagaimana menulis di bawah semangat jurnalisme kelompok.
Saat masuk Tempo, Putu sudah menjadi penulis. Dia ingat redaktur pelaksananya adalah Syu’bah Asa. Di Tempo, ia belajar membuat tulisan yang lebih mudah dibaca dan dipahami semua kalangan. Bagaimana ia membuat orang dari berbagai lapisan bisa mencerna tulisan, selain harus belajar taat tenggat untuk semua laporan. Di Tempo pula ia mengalami ketatnya sensor di zaman Orde Baru. Tempo beberapa kali menyinggung sejumlah masalah sensitif, terutama terkait dengan penguasa dan keluarga Cendana—sebutan untuk keluarga Soeharto. Dari banyak bahan berita dan peristiwa, Putu terpantik membuat naskah drama. Jadilah naskah Aum dan naskah tentang Kusni Kasdut, yang menjadi terpidana mati dan membikin geger. Permintaan terakhir Kusni untuk makan bersama keluarga membuat Putu tersentuh. “Itu meneror dalam kepala saya,” ujarnya.
Beberapa karyawan Tempo ikut mendukung Putu berkesenian. Ia terbiasa turun ke lapangan sendiri dan menulis cover story dalam waktu yang mepet tenggat dengan mesin tik. Pengalaman menulis di mesin tik dengan bongkar-pasang karbon membuatnya mencari cara kerja yang lebih efisien. “Kalau enggak jadi, jangan bergerak. Jadi saya ngedit di sini dulu. Mula-mula lama. Dapat ide, cepet, langsung. Bersih.” Ia juga tak berlama-lama di kantor.
Bambang Budjono mengingat Putu ketika sama-sama di Tempo. Putu oleh beberapa wartawan Tempo dianggap “antisosial”. “Soalnya dia jarang ngobrol di kantor. Dia sangat efisien soal waktu: datang, mengetik, pulang, atau entah ke mana,” ujar Bambu—panggilan akrab Bambang Budjono. Penampilannya pun rapi dengan topi pet selalu menutup kepalanya.
Putu kerap bekerja dengan telinga tertutup headphone, mendengarkan musik. Tampaknya efisiensi waktu dia perlukan karena ia sering berlatih teater di kantor, Senen Raya 83, setelah kantor tutup. Bambu menilai Putu seorang penulis produktif. “Mbang,” katanya, “kalau kita tak bisa nulis bagus, setidaknya nulis banyak.” Mejanya relatif bersih, tak seamburadul umumnya meja-meja wartawan yang dipenuhi tumpukan kliping.
Putu Wijaya bersama istrinya, Dewi Pramowati, di rumahnya, Tangerang Selatan, 12 Maret 2024. Tempo/Imam Sukamto
Karena Putu efisien dalam bekerja, Bambu ingat dia jarang begadang. Mungkin juga karena Putu “penakut”. Beberapa teman di kantor menyimpulkan demikian. Jika yang lain mulai meninggalkan kantor, ia akan membereskan pekerjaan dan segera hengkang. “Kata teman-teman, itu bawaan dari Bali, takut hantu....”
Bambu juga menilai Putu orang yang saklek. Suatu hari Putu mentraktirnya di warung tempat kalangan seniman di Taman Ismail Marzuki biasa makan, yakni warung Bu Hasan. Sehabis makan, segera ia membayar dengan penjelasan, “Saya traktir makan, minum kamu bayar sendiri.” Beruntung saat itu Bambu membawa duit.
Setelah 20 tahun di Tempo, tutur Putu di Indonesianlantern.com, ia lantas mengelola majalah Zaman, anak majalah Tempo. Ia menjadi redaktur pelaksana majalah yang sedang mencari peluang dari pasar yang dikuasai majalah Femina dan Kartini itu. Putu meramu majalah Zaman dengan menu gado-gado komplet ala Star Weekly, dari berita, cerita, olahraga, film, ruang remaja, konsultasi, wawancara, tokoh, sampai kuliner.
Putu menggandeng Sori Siregar, yang direkomendasikan Goenawan Mohamad, lalu seniman Danarto dan Nano Riantiarno. Ia mencoba mengajak Emha Ainun Nadjib, tapi gagal. Meski berhasil menaklukkan tenggat, secara produksi majalah Zaman tak laku, tak bisa menyaingi oplah Tempo. Majalah ini sering muncul dengan cerita atau hal nyeleneh.
•••
SAAT di Tempo pulalah Putu Wijaya menemukan tambatan hati setelah gagal membina keluarga dengan Renny Djajoesman. Kebiasaannya makan pecel dari penjual yang ngider menjadi jembatan pertemuannya dengan Dewi Pramunawati. Dewi adalah karyawan bagian promosi majalah Medika, yang kantornya bersebelahan dengan Tempo. Pada suatu ketika Putu tak bertemu dengan si tukang pecel, tapi di mejanya sudah ada sebungkus pecel. Rupanya, Dewi-lah yang membelikannya. Putu membalasnya dengan membelikan pizza. Dari sanalah kemudian mereka berpacaran.
“Tubuh saya bereaksi bertemu dengan dia. Saya kok ingat terus, enggak bisa dilupakan,” ujarnya. Hubungan mereka berlanjut ke jenjang serius, Putu menikahi Dewi. Putu membawa Dewi saat ia mendapat beasiswa Fulbright di Amerika Serikat. I Gusti Ngurah Taksu Wijaya adalah buah hati kedua pasangan ini. Taksu juga mengikuti jejak ayahnya. Setidaknya ia sering tampil dalam pertunjukan yang didasari naskah Putu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Friski Riana berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Putu di Antara Teater dan Tenggat"