Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Penyair Empat Negara Beraksi di Candi Muaro Jambi

Para penyair dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei menampilkan puisi mereka di Candi Koto Mahligai, Muaro Jambi.

28 November 2024 | 14.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Penyair dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei menampilkan puisi mereka di Koto Mahligai.

  • Isbedy Stiawan mengisahkan kehidupan masa kecilnya di Lampung.

  • Alfian Sa'at menyinggung kebijakan politik Singapura terhadap perang di Gaza.

RINTIK hujan di pelataran Candi Koto Mahligai di kompleks Cagar Budaya Nasional Muarajambi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, reda sejenak. Sebuah panggung berdiri di tengahnya dengan latar dua batang pohon menjulang yang seperti membingkai panggung itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam sorotan lampu panggung, Isbedy Stiawan Z.S., penyair Lampung, mulai memanaskan Malam Sastra Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) 2024. Puisi “Rawa Subur 60 Tahun Kemudian” karya Isbedy menyapa hadirin yang duduk lesehan di depan panggung—sebagian dari mereka masih mengenakan jas hujan plastik pelindung hujan. Puisi yang mengisahkan masa lalu Isbedy di kampung dan kehidupan masa kecil hingga remaja itu menjadi sajian pembuka malam sastra BWCF pada Kamis malam, 21 November 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penyair dari Singapura, Alfian Sa’at, lalu muncul membacakan dua puisinya dalam bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, “Mengapa Manusia Tidak Memiliki Sayap” dan “Bagaimana Menjadi Netral”. Puisi kedua itu menceritakan negerinya yang bersikap netral dalam menyikapi konflik Israel-Hamas di Gaza yang berdarah-darah. Ia berbicara tentang kebijakan negaranya yang mengharuskan segala tindakan masyarakat netral terhadap isu itu, baik dalam hidup keseharian maupun di media sosial. “Hindari merah dan hijau, juga hitam dan putih, simpanlah warna-warna tersebut untuk berkabung. Dan kamu sedang tidak berkabung,” katanya.

Malam itu, enam penyair dari Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam unjuk karya di panggung. Isbedy, Sutardji Calzoum Bachri, dan Ahda Imran mewakili Indonesia. Alfian mewakili Singapura, Suip bin Haji Abdul Wahab dari Brunei Darussalam, dan Zaen Kasturi dari Malaysia.

Setelah Alfian mundur dari panggung, suara serak Sutardji memecah kesunyian. Penyair asal Riau yang dijuluki Presiden Penyair Indonesia itu beraksi sejak dari kursinya. Dia meniup harmonika sambil melantunkan puisinya. Musikalisasi puisi, menurut dia, bukan berarti puisi yang dimusikalkan saja, melainkan juga ketika nyanyian dan puisi bercampur. “Seperti kita di kamar mandi bernyanyi, gertak air itu bagian dari nyanyian juga. Ia bercampur, bercampur antara sajak dan lingkungan. Teori itulah yang saya pakai dalam pembacaan sajak,” ujarnya.

Saat membawakan sajak “Game”, yang berkisah tentang olahraga dan permainan, Sutardji menyatakan bahwa dia mempersembahkan puisi itu untuk sahabatnya, Hamid Jabbar, yang dulu menolongnya mengetikkan puisinya di atas kertas stensil. Sutardji menutup aksinya dengan puisi “Ada Hari Ada”: “Ada suatu hari/Meminta kalian/Dan segala/menjadi puisi”.

Suip bin Haji Abdul Wahab tampil dengan puisi “Sampah Dibuang Hanyut” dan “Guris Pahlawan”, tentang pahlawan Melayu. Dia membawakannya dengan gerakan-gerakan tangan seperti sedang bersilat. Suip menutup aksinya dengan membacakan puisi “Mantra Pembangkit Doa” dengan suara lantang dan gerakan tangan yang atraktif.

Di akhir acara, Sutardji menyatakan terpesona oleh acara ini, tapi menyayangkan tak banyak penonton yang hadir. “Acara ini berada di dalam hutan yang transportasinya susah,” katanya. Candi Koto Mahligai terletak sekitar setengah jam bermobil dari Kota Jambi.

Pada sore harinya dan dua hari kemudian, panggung itu menampilkan penyair dari berbagai provinsi di Sumatera dalam acara Podium Sastra. Penyair yang tampil antara lain E.M. Yogiswara dari Jambi, Willy Ana dari Bengkulu, Iyut Fitra dari Sumatera Barat, Fikar W. Eda dari Aceh, Benny Arnas dari Sumatera Selatan, dan Sunlie Thomas Alexander dari Kepulauan Bangka Belitung.

Ramond Epu (Jambi)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus