Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hidayat Pawitan dan Euis Sunarti
Hidayat Pawitan adalah ahli hidrologi dari Institut Pertanian Bogor, Euis Sunarti adalah Kepala Pusat Studi Bencana IPB
Banjir Jakarta 17 Januari lalu menunjukkan makin seriusnya masalah lingkungan wilayah Ibu Kota Jakarta, di antaranya berasal dari banjir kiriman Ciliwung dari daerah hulu di kawasan Puncak. Hal yang menarik, intensitas curah hujan di kawasan Puncak yang relatif terbatas, yaitu 100 milimeter per hari, serta kondisi siaga II pada tinggi muka air 210 sentimeter di Bendung Katulampa telah mengakibatkan status siaga I di pintu air Manggarai pada tinggi muka air melampaui 950 cm dan membebani aliran Kanal Banjir Barat, sehingga menyebabkan jebolnya sebagian tanggul kanal dekat Jalan Latuharhary. Kawasan Jakarta Pusat, yang biasanya terhindar dari banjir sejak dibangunnya Kanal Barat 80 tahun lalu, pun terendam.
Perubahan penggunaan lahan di kawasan Puncak, yang merupakan daerah hulu Sungai Ciliwung, secara serius terjadi setelah 1992 dan telah mengakibatkan berubahnya fungsi hidrologi daerah aliran sungai. Perubahan ini secara nyata telah meningkatkan frekuensi dan intensitas banjir kiriman bagi DKI pada 1996, 2002, dan 2007. Nilai kerugian akibat banjir tidak kecil: Rp 8,7 triliun pada 2007 dan Rp 20 triliun pada tahun ini.
Kawasan Puncak, sebagai hulu DAS Ciliwung, dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kelerengan lahan yang tinggi. Dengan luas total DAS Ciliwung Hulu sebesar 149,6 kilometer persegi, kondisi topografi kawasan ini didominasi lahan berlereng bergelombang, curam, sampai sangat curam. Perubahan penggunaan lahan dari tutupan hutan, pertanian, dan perkebunan menjadi permukiman ataupun kawasan terbangun lainnya jelas sangat berpengaruh terhadap penurunan kapasitas resapan lahan.
Penggunaan lahan di wilayah DAS Ciliwung pada 1981-1999 masih didominasi lahan hutan, pertanian atau sawah, dan perkebunan. Persentasenya sekitar 74 persen dari luas DAS Ciliwung Hulu. Luas permukiman meningkat dari 255 hektare (1,7 persen) menjadi 506 hektare (3,3 persen). Pada 1992-2009, BPDAS Citarum-Ciliwung (2010) mencatat telah terjadi pengurangan penutupan hutan dengan laju rata-rata per tahun sebesar 1,9 persen dan semak belukar 9,9 persen. Sedangkan laju peningkatan permukiman (lahan terbangun) 12,3 persen. Pada 2009, luas lahan permukiman tercatat 3.356 hektare (22,6 persen). Namun status penggunaan lahan permukiman bagian selatan Kota Bogor yang meliputi kawasan ini pada 2010 mencapai lebih dari 50 persen.
Perubahan tutupan lahan dari lahan bervegetasi hutan dan perkebunan, yang memiliki kapasitas resapan 70-95 persen dari total hujan tahunan, menjadi lahan permukiman (dengan kapasitas resapan curah hujan kurang dari 30 persen) menunjukkan perubahan kapasitas resapan kawasan Puncak: dari semula sebagai kawasan resapan menjadi kawasan dengan tingkat limpasan tinggi seperti umumnya kawasan perkotaan.
Berdasarkan pengukuran lapang infiltrasi di DAS Ciliwung Hulu dan prediksi infiltrasi DAS diperoleh dugaan infiltrasi kumulatif tahunan sebesar 70-74 persen dari total curah hujan. Pada 1990-an, kawasan Puncak masih memiliki kapasitas resapan sekitar 70 persen dari total curah hujan. Pada 2010, dengan lahan permukiman mencapai lebih dari 22 persen, kapasitas resapan kawasan telah menyusut menjadi 30 persen. Implikasi perubahan ini jelas berpengaruh terhadap proses pembangkitan banjir di kawasan hilir (Jakarta), karena terjadi peningkatan debit banjir dari Ciliwung.
Secara teknis, upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi dampak penyusutan resapan kawasan Puncak adalah mengembalikan kapasitas resapan lahan. Sebanyak mungkin curah hujan yang jatuh ke permukaan bumi dapat diresapkan ke dalam tanah. Secara umum kegiatan itu disebut pemanenan hujan dan limpasan. Efektivitas pemanenan hujan dan limpasan sebesar 50 persen akan mengembalikan kapasitas resapan kawasan Puncak.
Bentuk pemanenan hujan dapat dimulai dari penampungan hujan yang jatuh di atap-atap rumah; kemudian dialirkan ke tangki-tangki penampungan atau ke sumur-sumur resapan; sampai pada pembuatan kolam-kolam penampungan, yang dikenal dengan embung ataupun situ buatan; dilengkapi dengan program penghijauan. Gerakan pemanenan hujan dan limpasan menanamkan asas pelestarian sumber daya air yang hanya dapat dilakukan dengan konservasi sumber daya lahan dalam bentuk tindakan penghijauan dengan mengembangkan lahan bervegetasi sebagai harapan masa depan kehidupan umat manusia.
Besarnya dampak negatif perubahan penggunaan lahan ternyata belum menggugah pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah daerah Bogor, untuk melakukan upaya mitigasi bencana, misalnya dengan membatasi dan melakukan moratorium pengembangan untuk kawasan Puncak melalui RT-RW mereka. Berbagai pihak menilai political will pemerintah dalam penataan ruang kawasan Puncak belum kuat. Ini menunjukkan pengurangan risiko bencana belum menjadi pertimbangan, apalagi terintegrasi dalam pembangunan daerah.
Penyelesaian menyeluruh terhadap perubahan penggunaan lahan di kawasan hulu Ciliwung tak akan berhasil tanpa melibatkan masyarakat. Demikian halnya dalam upaya pengembalian kapasitas resapan kawasan melalui pemanenan hujan dan limpasan, yang meliputi keseluruhan luasan DAS Ciliwung Hulu. Membangun ketangguhan masyarakat dalam pengurangan risiko bencana menjadi tantangan bersama, terutama tantangan bagi pemerintah daerah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo