Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pasang-Surut Rencana Antibanjir

Banyak rencana penanggulangan banjir Jakarta disusun pemerintah. Setelah sekian tahun, baru satu yang selesai.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YUKI Kusdiana bergegas menjawab telepon di ruang kerjanya di pos jaga Bendung Katulampa, Bogor, Jawa Barat, Jumat dua pekan lalu. "(Telepon) dari Jakarta, menanyakan status tinggi muka air," ujarnya kepada Tempo setelah menutup telepon. Sepanjang hari itu, bersama enam rekannya, kesibukan Yuki memang bertambah. Selain mengurusi pintu air, mereka mesti bolak-balik menjawab panggilan telepon yang datang susul-menyusul.

Panggilan telepon memang kebanyakan dari Jakarta: pejabat, wartawan, juga masyarakat biasa. Hingga tengah hari sudah ada sekitar 600 panggilan telepon. Itu belum termasuk yang ke telepon seluler dan pesan pendek. Andi Sudirman, petugas yang lain, mengaku sudah menerima lebih dari 200 pesan. "Termasuk dari Tempo," katanya.

Yuki dan kawan-kawan semestinya tak akan sibuk menjawab telepon jika banjir tak meluapi Jakarta. Hari-hari itu Sungai Ciliwung bergelora mengirimkan air dari Katulampa. Banyak orang tiba-tiba harus "memasang radar" untuk mengetahui permukaan Katulampa. Pada pasukan penjaga pintu airlah informasi mereka peroleh.

Jika saja selama 11 tahun terakhir pemerintah mewujudkan serenceng rencana proyek antibanjir, Yuki dan koleganya bisa berkonsentrasi mengawasi pintu air saja. Tapi, dari begitu banyak rencana yang sudah digagas pemerintah pusat dan DKI Jakarta, hampir semuanya tinggal rencana. Segala proposal itu muncul dan surut seiring dengan datang dan perginya banjir-banjir besar.

Setelah banjir bandang pada 2002, beberapa rencana penting diumumkan. Namun, dari kesemuanya, baru satu saja yang beres, yakni pembangunan Kanal Banjir Timur. Sudah digagas sejak 1992, Kanal Banjir Timur akhirnya rampung tahun lalu.

Kanal sepanjang 23,5 kilometer ini melintasi 11 kelurahan di Jakarta Timur dan dua kelurahan di Jakarta Utara. Pemerintah pusat merampungkan proyek itu dengan biaya sekitar Rp 5 triliun. Sejak kanal berfungsi, tinggal empat kelurahan di Jakarta Timur yang terendam banjir. Sebelumnya ada 37 kawasan.

Proyek lainnya nol besar. Misalnya rencana pembangunan Waduk Ciawi. Sejak idenya dicetuskan pertama kali pada 2001, gagasan ini tak pernah dilirik lagi. Pemerintah pusat tak sudi membangunnya karena menganggap tak banyak mampu menangkal serbuan air. Biaya pembangunan yang ditaksir mencapai Rp 3,5 triliun pun dinilai terlalu jumbo untuk waduk yang hanya berkapasitas 33 juta kubik itu.

Barulah pada Jumat dua pekan lalu, setelah ada perintah Presiden, Menteri Pekerjaan Umum Djoko Kirmanto mengatakan sanggup meneruskan pembangunannya. Meski demikian, dia tetap beranggapan, "Manfaatnya tidak seberapa."

Lalu ada rencana menghubungkan Sungai Ciliwung dan Cisadane di bagian hulu. Ide ini gagal total karena ditolak pemerintah dan warga Tangerang. Mereka tak ingin, jika sungai dihubungkan, wilayah Tangerang yang dibelah aliran Cisadane bakal kebanjiran pada musim hujan. Rencana ini pun "mati suri" sampai kini.

Ada lagi proyek yang semestinya layak diwujudkan. Itulah meluruskan dan menormalkan Sungai Ciliwung serta 12 sungai lain yang melintasi Ibu Kota. Bersamaan dengan itu akan dilakukan penyodetan antara Kanal Banjir Timur dan Kanal Banjir Barat. Pelurusan pada bagian Ciliwung yang berkelak-kelok dari Kalibata sampai Kampung Melayu juga dilakukan dengan cara menyodet. Kelokan sungai yang sudah dipintas lalu ditimbun. Di sana nanti didirikan rumah susun bagi sekitar 70 ribu warga bantaran Ciliwung yang lahan rumahnya dibebaskan.

Ciliwung memang sudah kritis. Saat ini lebar ruas Ciliwung dari Kalibata hingga Kampung Melayu tinggal 13-20 meter. Sedangkan kedalamannya di beberapa lokasi hanya dua meter. Padahal awalnya lebar sungai itu 40 meter. Diharapkan, setelah normalisasi, aliran Ciliwung akan lebih lancar dan daya tampungnya bertambah. Tapi rencana keren ini ternyata tak terwujud.

Ditanyai mengapa mandek, Pitoyo Subandrio, yang ketika rencana-rencana ini digodok pada 2002 menjabat Kepala Balai Besar Sungai Ciliwung-Cisadane, mengatakan proyek itu terganjal proses pembebasan tanah. "Dan itu tanggung jawab Pemerintah DKI Jakarta," kata Pitoyo, yang menjabat Direktur Sungai dan Pantai Ditjen Sumber Daya Alam Kementerian PU.

Apa respons Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo? Pria asli Solo ini hanya menggeleng dan menjawab tak tahu. Tapi dia berjanji, begitu musim hujan berlalu, semua rencana segera dieksekusi.

Khusus untuk normalisasi Ciliwung, kata dia, pemerintah DKI telah menyiapkan dana pembebasan lahan Rp 250 miliar. Sedangkan dana normalisasi Rp 1,2 triliun ditanggung pemerintah pusat. "Paling lambat bulan Mei sudah harus dikerjakan," katanya di Balai Kota Jakarta, Rabu pekan lalu.

Philipus Parera, Arihta U. Surbakti, Dimas Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus