Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ribuan Tahun Banjir Jakarta

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JJ Rizal
Sejarawan

Nyai Roro Kidul santer disebut-sebut penduduk seantero kampung di Batavia ketika banjir besar melanda pada awal Januari 1932. Hujan berhari-hari diikuti banjir besar yang merendam mayoritas daerah Batavia—bahkan Istana Gubernur Jenderal di Koningsplein—dianggap amarah sekaligus peringatan agar penduduk menjaga Sukarno dan pemerintah kolonial jangan lagi berani menyakiti kekasihnya yang kesohor sebagai Raja Jawa berpeci itu.

Pada 31 Desember 1931, Sukarno memang baru dibebaskan dari penjara Sukamiskin. M.H. Thamrin mengerti kisah itu dapat dimanfaatkan secara politik. Tapi bagi dia, yang sejak jadi anggota Dewan Kota Batavia pada 1919 merintis usaha perbaikan kampung dan penanggulangan banjir bersama Herman van Breen, hal tersebut justru sangat tidak menguntungkan. Ikhtiar mereka selama satu dasawarsa membangun kesadaran banjir bukan takdir bagi Kota Batavia terancam sia-sia. Masyarakat akhirnya kembali melihat banjir bukan sekadar gejala alam yang bisa dicarikan solusi. Karena itu, sikap terbaik adalah pasrah menerima banjir sebagai kewajaran seraya merasionalisasi dengan aneka mitos peneguh kepercayaan.

Tapi kisah Nyai Roro Kidul itu juga dianggap Thamrin sebagai peringatan untuk mengevaluasi cara penanganan banjir yang telah dipikirkan Breen. Terutama jika dikaitkan dengan pernyataan Breen sendiri pada 1923, "Dalam menyikapi banjir, pemerintah Batavia belum memperlihatkan satu kemajuan, bahkan lebih banyak kemunduran." Ini bisa berarti kegagalan sistem kanal banjir Breen disebabkan oleh banyak hal yang sama dengan kegagalan menanggulangi banjir masa sebelumnya. Celakanya, cara penyelesaian banjir Jakarta setelah Indonesia merdeka sampai hari ini kebanyakan mengadopsi cara kolonial, yang lebih bertumpu pada pembangunan infrastruktur banjir itu.

Selang setahun sebelum Breen mengeluarkan pernyataan untuk menyambut 300 tahun Kota Batavia, arsiparis De Haan menerbitkan buku Oud Batavia. Banjir di Kota Lama Batavia, yang disebabkan oleh eksploitasi alam di ommelanden atau luar kota benteng untuk perkebunan tebu sekaligus industri gula sehingga Ciliwung dangkal berlumpur, yang didekati dengan penyelesaian infrastruktur berupa pembuatan kanal, dinyatakan De Haan hanya memperparah keadaan intramuros alias kota benteng Batavia dan mengakhiri kejayaannya.

Susan Blackburn dalam Jakarta: A History mengungkapkan, tak seperti di Oud Batavia, semangat menanggulangi banjir di Nieuw Batavia kendur. Banjir sering tak berhasil membangunkan pemerintah dari kelambanan untuk merancang usaha sistematis menanggulanginya. Meski lamban, Bob Hering meriwayatkan ide Thamrin yang dibawa Daan van der Zee soal pembangunan kanal besar yang menghubungkan Kali Krukut dengan Ciliwung telah jadi pembicaraan di Dewan Kota pada awal abad ke-20. Mulai 1911 sampai 1921, pemerintah kota menunjuk Breen mencari solusi banjir di dalam kota dan sekitarnya. ­Breen memenuhi tugas itu. Bahkan dia berhasil membikin rencana jauh lebih maju ketimbang rencana kota saat itu, yang hanya terkonsentrasi di Menteng dan Weltevreden dengan 430 ribu penduduk.

Namun, menurut Breen, banyak kekeliruan orientasi ­seolah-olah kanal banjir adalah penyelamat dan pengendali banjir di Kota Batavia. Padahal penting peranan unsur noninfrastruktur dalam menanggulangi banjir. Pada 1923, di dalam peninjauan masalah banjir, Breen mengungkapkan harus ada seperangkat aturan noninfrastruktur agar kerja infrastruktur banjir berjalan, yaitu menjaga profil semua sungai, menghentikan penggundulan hutan dan melakukan reboisasi di selatan Batavia, serta memelihara resapan dan penampungan buatan ataupun alami. Sebab, masalah air di Batavia tak hanya menyangkut kelebihan air di musim hujan, tapi juga kekurangan di musim panas.

Kanal banjir Breen akhirnya gagal disebabkan dua hal. Pertama, pemerintah pusat atau gouvernement dan pemerintah kota alias gemeente menghadapi rencananya dengan sifat kruidener atau tukang kelontong yang pelit, sehingga hanya terlaksana sepotong-sepotong. Misalnya kanal banjir dari Matraman sampai Muara Angke. Alhasil, semua rencana terlambat dan tak lagi sesuai dengan perkembangan, pembangunan, serta jumlah penduduk. Misalnya, pada 1923, agar penduduk seluruh kota dan sekitarnya terbebas dari banjir, Breen menyarankan pembangunan Kanal Banjir Barat, tapi diabaikan. Rupanya kepentingan pemerintah hanya melindungi permukiman tuan putih. "Perhatian soal banjir berhenti sampai di pinggir kampung," begitu protes Thamrin di Dewan Kota.

Kedua, terus berjalannya penggundulan hutan di pegunungan Jawa Barat utara bagian tengah untuk perkebunan teh sejak 1877. Perkebunan teh yang merajalela karena permintaan ekspor yang tinggi telah membuat erosi hebat. Sekali lagi, setelah 200 tahun, aliran dan alur Ciliwung mengalami perubahan dan gangguan. Sungai-sungai jadi dangkal dan sedimentasi di saluran air Batavia bikin runyam serta boros ongkos perawatan. Sejarawan A.B. Lapian mengungkapkan, Thamrin pernah mengajukan pembuatan aturan bagi perusahaan-perusahaan perkebunan teh membayar kompensasi besar untuk digunakan mengongkosi ide Breen.

Ide-ide Breen pada 1949 diperluas oleh W.J. van Bloemenstein. Meski Sukarno seorang arsitek dan mimpinya bangkit untuk mengkonstruksi Jakarta pascakemerdekaan, selama masanya yang penuh pembangunan proyek raksasa, ide-ide hidrologi kurang diperhatikan. Wali Kota Sudiro, yang memimpin Jakarta pada 1953-1958, menyatakan, "Tiada biaya untuk menanggulangi banjir." Saat itulah sastrawan Firman Muntaco, via cerita pendek Banjir, mengejek bahwa tiada yang dapat dilakukan saat banjir selain menunggu surut. Sukarno baru bertindak setelah banjir hebat pada awal 1960 dan 1963. Pada 22 Juni 1965, Sukarno mengeluarkan keputusan Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir), lembaga lintas instansi pencegah dan pengendali banjir. Untuk menyokong kerja Kopro Banjir, Pemerintah Kota Jakarta mengeluarkan Rencana Induk Pengendalian Banjir 1965-1985.

Sekali lagi, rencana induk itu memilih cara mengendalikan banjir sistem makro (structural measures), yang mengedepankan pembangunan kanal dan sistem polder serta waduk penampungan. Seperti ide Breen, Rencana Induk Pengendalian Banjir 1965-1985 pun bernasib sama, tak mendapat pendanaan sehingga banyak rencana ditunda. Dari Rp 80 miliar yang diperlukan, sampai 1984 hanya tersedia Rp 59,3 miliar. Rencana dari kerja sama dengan Sogreah, Prancis, pada 1978, yang menyarankan pembangunan sembilan waduk berkapasitas 3.000 hektare kubik di sekitar Jakarta untuk mendukung lima waduk yang sudah dibangun di sekitar kanal banjir, juga tak terealisasi. Senasib rencana waduk Depok seluas 300 hektare. Sedangkan rencana hasil kerja sama dengan konsultan banjir Belanda, Nedeco, pada 1973, yang menyarankan Kanal Banjir Barat (421 kilometer) dan Kanal Banjir Timur (207 km), baru terealisasi pada 2012.

Berbagai studi menyatakan, jika Rencana Induk 1965-1985 dilaksanakan semua, kemungkinan besar banjir sudah bisa dikendalikan. Tapi, bagaimanapun, pembangunan infrastruktur banjir selalu keteteran serta tertinggal jauh dengan perkembangan penduduk dan penggunaan lahan. Ketika Rencana Induk Banjir 1965-1985 dibuat, Jakarta sudah berpenduduk 3,8 juta jiwa. Selama 1966-1976, angkanya naik jadi 5,7 juta. Bersamaan dengan proyek metropolitan Sukarno agar Jakarta setara dengan Paris dan New York, struktur fisik kota berubah. Pembagian wilayah Jakarta menjadi lima oleh Ali Sadikin memicu pesatnya pemekaran mega-urban hingga ke daerah Tangerang, Bogor, dan Bekasi. Ruang kota semakin gegap karena ia mengajak pengembang dalam bentuk otoritas pembangunan daerah Pluit, Cempaka Putih, Setiabudi, Sunter, dan lain-lain. Adapun proyek raksasa Taman Mini Indonesia Indah Tien Soeharto, yang dibuka pada 1975, menyulap selatan Jakarta dari daerah resapan jadi kota satelit baru. Jakarta berkembang tanpa kendali, acak-acakan ke segala arah.

Ketika membahas master plan 1985-2005 tentang rencana banjir, Gubernur Suprapto, yang memimpin Jakarta pada 1982-1987, menyatakan, "Sungguh berat menyelesaikan banjir dengan penduduk Jakarta 6,5 juta dan perkembangan wilayahnya yang kacau." Selanjutnya, Wiyogo Atmodarminto, yang menjabat gubernur pada 1987-1992, menyatakan kepadatan penduduk yang tercatat malam 8,2 juta dan siang 10 juta serta pertumbuhannya yang tak terkendali jadi akar semua persoalan gagalnya Jakarta menangani banjir. Situasi tambah runyam karena 1990-an adalah masa ketika para pengembang merajalela. Di mana-mana didirikan kondominium, apartemen, dan mal, yang asal serobot. Rawa-rawa di utara Jakarta sampai lembah pegunungan di selatan Jakarta dirambah. Kata orang Betawi, "kampung pohon" dan "kampung air" telah diambil alih manusia. Semua itu tak pelak telah menyedot air tanah lebih banyak, sehingga terjadi penurunan permukaan air tanah.

Banjir besar 2002, 2007, dan 2013 sesungguhnya berakar dan suatu gambaran situasi kacau Jakarta kontemporer itu. Ini juga cermin banjir zaman Oud Batavia dan Nieuw Batavia, yang sebab-sebabnya—meminjam kata Thamrin ketika pada 1932 mengunjungi korban banjir di Kampung Pekambangan—berasal dari irasionalitas rakyat dan pemerintah Ibu Kota yang berabad-abad kalah berikhtiar, lantas beradaptasi dengan lingkungan yang dianggap identik dengan banjir, seperti yang tecermin dalam cerita Nyai Roro Kidul sebelumnya.

Sampai di sini, mungkin sudah waktunya penyelesaian banjir—selain rencana komprehensif tentang daerah penampungan air dan pengelolaan urbanisasi—didasarkan pula pada suatu rencana kultural dengan mengoreksi mentalitas masyarakat dan pemerintah bahwa Jakarta tak identik dengan banjir, tapi air. Jakarta lahir bersama air hujan tropis 5.000 tahun lalu yang mengikis punggung rangkaian pegunungan vulkanik Salak dan Gede. Air itu membentuk sungai-sungai yang membawa tanah ke laut, lalu berangsur-angsur jadi dataran endapan lebar yang landai.

Sungai-sungai, danau-danau, dan rawa-rawa serta hutan tropis menghiasi laporan orang-orang Eropa pertama yang mendarat di pelabuhan Sunda Kelapa pada abad ke-16. Jatipadang, Utan Kayu dan Tanjung Barat, Teluk Gong, Rawagatel, serta Pulomas adalah sedikit dari nama tempat di Jakarta yang banyak sekali mengacu pada nama pohon, bahkan hutan dan air. Nama-nama tempat itu adalah pengingat masa lampau Jakarta. Ini sekaligus bisa jadi inspirasi kesadaran untuk membentuk masa depan Jakarta, yang seharusnya dibangun dengan orientasi menyediakan ruangan yang luas bagi pohon dan terutama air. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus