Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Panas-Adem Jantung NasDem

Pengusaha Hary Tanoesoedibjo keluar dari Partai Nasional Demokrat. Berebut pengaruh dengan Surya Paloh.

27 Januari 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HANYA perlu enam jam bagi Hary Tanoesoedibjo untuk memutuskan keluar dari Partai Nasional Demokrat. Proposalnya yang ditolak Surya Dharma Paloh, pendiri partai itu, pada Rabu malam dua pekan lalu di Plaza Indonesia mengakhiri kongsi politik dua taipan media yang baru seumur jagung ini. Esok paginya, ia menulis surat mundur.

Persamuhan tiga jam yang berakhir tengah malam itu tak berujung pada kesepakatan. Hary Tanoe keras menolak keinginan Surya Paloh menduduki kursi ketua umum partai. Sebaliknya, Surya bertahan dengan alasan harus memegang kendali menjelang Pemilihan Umum 2014. "Terhitung mulai hari ini, saya tak lagi menjadi anggota Partai Nasional Demokrat," katanya dalam konferensi pers di Museum Adam Malik, Jakarta, Senin pekan lalu.

Perantara pertemuan di Plaza Indonesia malam itu adalah Rosano Barack. Ia makcomblang yang sempurna. Di Media Nusantara Citra Group, konglomerasi media Hary Tanoe, ia menjabat komisaris utama. Dengan Surya Paloh, Rosano terhubung sebagai adik ipar.

Arya Sinulingga, Pemimpin Redaksi Global TV, yang mengantar Hary ke Plaza Indonesia, menuturkan Rosano menawarkan jalan tengah. Surya, 61 tahun, jadi ketua umum dan Hary, 47 tahun, naik dari wakil ketua menjadi ketua majelis. Surya tetap menolak. "Ia sudah menyiapkan Jan Darmadi," kata Arya. Jan, pengusaha properti, merupakan satu dari sembilan anggota Majelis Nasional Demokrat.

Pertemuan pun mentok hingga hari berganti. Hary kemudian mengancam akan mundur jika tak ada kesepakatan. Surya, kata Arya, berdiri dan meninggalkan pertemuan di gedung yang kini menjadi tempat kendali bisnisnya di kawasan Bundaran Hotel Indonesia itu. Setelah itu, Hary makin bulat untuk mundur.

Sesungguhnya konflik keduanya sudah lama meletup, bahkan dua bulan setelah Hary bergabung dengan partai ini pada 9 Oktober 2011. Orang dekat keduanya sudah memperkirakan perceraian dua tai­pan media ini hanya menunggu waktu. Meski sama-sama besar dalam lingkaran keluarga Soeharto, dua pengusaha ini sudah lama kerap berseteru di dunia bisnis.

Orang-orang dekat Hary Tanoe dan Surya Paloh mengibaratkan keduanya sebagai minyak dan air: bisa bergabung, tapi tak akan pernah bisa menyatu. "Pasti cerai, tinggal siapa memanfaatkan momen apa," kata seseorang dari lingkaran Surya Paloh. Hary memilih momen pergantian ketua umum yang sudah berembus sejak pertengahan 2012.

Ahmad Rofiq, Sekretaris Jenderal NasDem, yang ikut mundur, bercerita bahwa gesekan kedua kubu kian tajam meski Surya dan Hary beberapa kali bertemu. Kedua kubu mengembuskan isu yang saling menjatuhkan. Kubu Hary menuding Surya dan lingkaran dekatnya ingin mendepaknya guna menguasai jabatan strategis di partai. "Hary Tanoe dianggap berbahaya bagi partai," kata Rofiq.

Kubu Surya menuding Hary ingin menguasai dan mengendalikan partai meski tak duduk sebagai ketua umum. Menurut Wakil Ketua Umum Sugeng Suparwoto, kubu Hary pernah mengumpulkan 11 pengurus wilayah untuk mengkudeta kepengurusan. "Pengumpulan pengurus tanpa sepengetahuan kami itu membuat resah," katanya.

Rofiq tak menyangkal pernah mengumpulkan pengurus partai. Menurut dia, itu merupakan upaya konsolidasi guna membendung niat Surya Paloh merombak struktur. Gerakan-gerakan seperti itulah, kata Sugeng, yang mendorong Surya segera mengambil alih kendali. "Hary Tanoe mengincar posisi ketua majelis," ujarnya.

Kedudukan majelis menentukan hitam-putih partai yang mengusung slogan "restorasi Indonesia" itu. Ada sembilan orang anggotanya. Hanya Hary dan Rofiq yang satu kubu. Lainnya praktis orang-orang Surya Paloh, seperti Rio Capella, Sugeng Suparwoto, Jan Darmadi, Jaffar Assegaf, dan Jeffrie Geovanie. Rosano dianggap netral karena terkoneksi dengan keduanya.

Namun, kata Rofiq, perombakan struktur partai tak pernah dibicarakan di rapat majelis. Orang-orang Surya, ujar dia, justru menggalang dukungan daerah. Tujuannya adalah menciptakan kesan seolah-olah mereka menginginkan bos Metro TV itu menjadi ketua umum melalui kongres yang digelar Jumat pekan lalu. "Padahal, kalau dilakukan demokratis, kami juga bisa terima," katanya.

Sugeng menampik tuduhan ini. Menurut dia, pengurus partai semestinya tahu diri karena Surya Palohlah yang membawa mereka ke struktur pengurus. Dan, ini yang penting, kata Sugeng: pengurus yang dipimpin Rio Capella hanya disiapkan hingga partai ini lolos verifikasi Komisi Pemilihan Umum, bulan lalu. "Menghadapi pemilu perlu orang tangguh seperti Surya," ujarnya.

Konflik pun tak kunjung bisa diselesaikan. Hary Tanoe merasa berjasa bisa meloloskan partai. Ia pun telah mengerek popularitas partai dengan gempuran iklan di televisi, koran, dan radio miliknya. Sejak Oktober 2011, kata Arya Sinulingga, iklan Partai Nasional Demokrat muncul 16 kali sehari di satu televisi. "Kalikan tiga televisi, lalu kalikan setahun," katanya.

MNC Group menguasai tiga stasiun televisi: MNC, RCTI, dan Global. Belum lagi radio Sindo, koran Sindo, dan situs Okezone.com, juga baliho di seluruh Indonesia. Ada juga kanal-kanal televisi berbayar. Semua media itu secara rutin menayangkan iklan NasDem dengan Hary Tanoe sebagai bintang iklannya—persoalan yang juga menjadi pangkal kisruh.

Popularitas NasDem pun terkerek. Sebelum Hary bergabung, menurut survei Lembaga Survei Indonesia, keterkenalan NasDem hanya 1,6 persen. Setelah iklan digeber, angkanya melonjak menjadi 5,9 persen—nomor empat setelah Golkar, PDI Perjuangan, dan Partai Demokrat—pada sigi Maret tahun lalu. NasDem menjadi satu-satunya partai baru yang lolos verifikasi untuk berlaga pada pemilu tahun depan.

Jika satu spot iklan televisi paling murah saja Rp 25 juta, gempuran pariwara di media milik Hary dalam setahun bernilai Rp 560 miliar. Uang memang tak keluar dari kantong perusahaan. Tapi, kata Arya Sinulingga, spot iklan yang dipakai NasDem menghilangkan pendapatan perusahaan dari iklan komersial. Menurut dia, Hary juga mengeluarkan biaya operasional partai hingga tingkat kecamatan, seperti uang kematian Rp 1 juta buat pengurus NasDem. Total jenderal, Hary sudah menggelontorkan Rp 250 miliar sejak ia bergabung.

Hary Tanoe pula yang rencananya membiayai satu calon legislator Partai NasDem masing-masing Rp 5-10 miliar. Targetnya ada 100 yang dibiayai dengan cara ini sehingga bisa lolos ke Dewan Perwakilan Rakyat. Kubu Surya Paloh menganggap langkah itu merupakan upaya Hary menyedot loyalitas calon. "Kami memang butuh uang dan iklan, tapi itu bukan segala-galanya," kata Surya dalam kongres di Hotel Sultan, Jakarta, Jumat pekan lalu.

Sebagai pebisnis, Hary sudah menyiapkan strategi selepas mundur. "Saya akan tetap di politik," katanya. Ada tiga kemungkinan: membuat organisasi kemasyarakatan, bergabung dengan partai yang sudah ada, atau mendirikan partai baru. Menurut Rofiq, pilihan pertama yang akan diambil karena waktu yang mepet menjelang 2014.

Meski belum ada nama, organisasi yang memakai jaringan NasDem di daerah itu akan menjadi daya tawar Hary kepada partai besar. Secara terbuka, Hary menyatakan tak akan memprovokasi pengurus partai daerah agar mengikuti jejaknya. Toh, sehari setelah ia menggelar konferensi pers, beberapa pengurus NasDem menyatakan mundur.

Pengurus Wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, yang sejak awal mendukung Hary, menyatakan keluar dari partai itu. Langkah ini dibalas kubu Surya dengan menggelar jumpa pers mengumumkan bergabungnya bekas pentolan Golkar seperti Enggartiasto Lukito—kawan Surya sejak di Partai Beringin. Kubu Hary kemudian mengerahkan 800 kader NasDem DKI, merobek kaus dan kartu anggota.

Endriartono Sutarto, mantan Panglima TNI yang menggantikan Hary di kursi Ketua Dewan Pakar, mengatakan pengurus wilayah NasDem sempat hendak hengkang. "Bisa kami cegah. Kami bisa kembali berkonsentrasi pada pemilu," katanya.

Baik Rofiq maupun Arya yakin kader NasDem yang menginginkan perubahan akan mengikuti jejak Hary Tanoe. Setahun di NasDem, kata mereka, Hary cukup punya kuku menancapkan pengaruh hingga tingkat kabupaten. Migrasi besar-besaran kader NasDem baru akan terlihat menjelang Pemilihan Umum 2014.

Sepanjang pekan lalu, pertemuan-pertemuan politik digelar antara orang-orang Hary Tanoe dan utusan partai. Sebagian besar ketua umum partai segera membentangkan karpet buat pengusaha dengan kekayaan Rp 12 triliun ini.

Bagja Hidayat, Wayan Agus Purnomo


Kawin-Cerai Lingkar Cendana

Surya Paloh dan Hary Tanoesoedibjo pernah terlibat persaingan bisnis. Dihubungkan adik ipar.

MASUKNYA Hary Ta­noe­soedibjo ke Partai Nasional Demokrat pernah jadi bahan tebak-tebakan pengurus partai itu. Pada awal Oktober 2011, beredar kabar bahwa seorang pengusaha papan atas bakal bergabung. Pendiri NasDem, Surya Dharma Paloh, ketika itu masih merahasiakan nama sang konglomerat. "Kami mencari tahu namanya," kata bekas Sekretaris Jenderal Partai NasDem Ahmad Rofiq, Rabu pekan lalu.

Menurut Rofiq, selain Surya sendiri, yang paling tahu bahwa Hary bakal bergabung adalah pengusaha Rosano Barack, anggota Majelis Tinggi NasDem. "Komunikasinya di antara mereka saja," ujar Rofiq, yang mengaku tidak masuk "ring-1" Surya. Jauh sebelum NasDem terbentuk, Rosano adalah salah satu mata rantai yang menghubungkan dua pengusaha tersebut.

Rosano adik Rosita Barack, istri Surya Paloh. Dia menjabat Presiden Komisaris PT Media Nusantara Citra, perusahaan media yang sahamnya dimiliki Hary Tanoe lewat PT Bhakti Investama. Rosano adalah mitra Bambang Trihatmodjo di sejumlah perusahaan yang didirikan putra Soeharto itu—termasuk PT Bimantara Citra. Rosano dan Bambang sama-sama alumnus Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama Perguruan Cikini serta Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Jakarta.

Surya Paloh juga bersinggungan secara pribadi dengan Keluarga Cendana. Bersama Bambang Trihatmodjo, ia aktif di Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia. Bambang pula yang digandeng untuk menyuntikkan modal ke PT Surya Persindo—yang menaungi Media Indonesia—milik Surya Paloh pada 1991. Lewat Bimantara, Bambang juga memiliki 25 persen saham Metro TV sebelum menjualnya lagi kepada Surya pada pertengahan 2003.

Cendana adalah poros persinggungan Surya dan Hary. Setelah mendirikan perusahaan investasi PT Bhakti Investama, Hary merangkul Siti Hediati Hariyadi alias Titiek sebagai investor. Hary, juga lewat PT Bhakti, pelan-pelan menancapkan kuku di PT Bimantara. Pada medio 2001, Bhakti hanya memiliki sekitar 10 persen saham Bimantara. Dua tahun kemudian, kepemilikan saham Bhakti berlipat hingga 37 persen. Sejak 2002, Hary bahkan menjabat Direktur Utama Bimantara.

Melepas 25 persen saham Metro TV kepada Surya Paloh, kepemilikan Bimantara di RCTI justru melonjak jadi hampir 70 persen pada 2003. Bimantara juga menguasai 70 persen saham Global TV. Dari Siti Hardijanti alias Tutut, Hary Tanoe memperoleh TPI, yang belakangan setelah bersengketa diubah namanya jadi MNCTV. Selanjutnya, ketiganya bernaung di bawah MNC Group bersama, antara lain, Harian Seputar Indonesia.

Bambang Trihatmodjo betul-betul tersingkir dari Bimantara pada 2007. Lewat MNC, Hary membeli sisa sahamnya. PT Bimantara bersalin rupa menjadi PT Global Mediacom. Namun Rosano Barack, kawan lama Bambang, tetap tinggal di sana sebagai presiden komisaris—jabatan yang sama di PT MNC disandang Rosano sejak 2004.

n n n

AHMAD Rofiq hanya tahu Hary Tanoe masuk NasDem melalui Rosano Barack. Menurut dia, pada awal bergabung, Hary menyatakan masuk NasDem karena partai ini sama sekali baru. "Pak Hary merasa terpanggil menyalurkan pikirannya," kata Rofiq. Ketika mengumumkan pengunduran dirinya pada Senin pekan lalu, Hary menyatakan bergabung dengan partai politik karena menginginkan perubahan. "Saya ingin memiliki andil yang nyata dan langsung," ujarnya.

Sumber Tempo di NasDem menguak cerita lain. Menjelang bergabung, Hary berkeluh-kesah. Sebagai pengusaha, ia merasa dijadikan sapi perah banyak partai. Kasus Sistem Administrasi Badan Hukum, yang sempat mencoreng mukanya, jadi puncak kemarahannya. Hary jengkel karena merasa tak ditolong ketika terjepit kasus itu. "Kata Hary, daripada setor ke banyak partai, mending menyumbang ke satu partai," ucap si sumber.

Setelah bergabung dengan NasDem, Hary jadi disegani. "Buktinya, tak ada lagi yang berani mengganggu," kata sumber tadi. Lepas dari NasDem, Hary tampaknya menghitung betul soal ini. Tak kapok berpolitik, ia langsung menjajaki partai-partai peserta Pemilihan Umum 2014. Bersama pengurus NasDem yang mundur, seperti Ahmad Rofiq, Hary juga bakal membentuk organisasi kemasyarakatan. "Ada yang mengusulkan namanya Perindo, Perubahan Indonesia," ujar Rofiq.

Perselisihan Surya-Hary ini bukan yang pertama. Menurut seseorang di lingkungan Surya, bos Media Group itu pernah marah besar kepada Hary Tanoe pada 2002. Ketika itu, Surya baru saja membeli Indovision dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Sebagian aset penyedia jasa televisi berbayar itu ternyata telah berpindah ke tangan PT Bhakti Investama dan Salim Group. Surya kemudian memanggil Hary Tanoe dan Anthoni Salim, meminta mereka membayar sekitar Rp 400 miliar. Keduanya kemudian saweran masing-masing Rp 200 miliar.

Kedua pengusaha juga bersengketa tentang lahan kantor RCTI di Kedoya, Jakarta Barat, pada 2003. Baik Surya maupun PT Bimantara, yang waktu itu sudah dipiloti Hary Tanoe, mengklaim memiliki petak tanah itu. Pertikaian tamat setelah Bimantara sepakat menyerahkan sisa saham di Metro TV kepada Surya. Sebaliknya, Surya setuju ruas lahan itu diambil Bimantara. ­Jumat malam pekan lalu, Surya membantah pernah berseteru dengan Hary Tanoe. "Itu terlalu dibesar-besarkan," ujarnya.

Setelah bulan madu di NasDem tamat, kedua seteru itu kini berpisah lagi. Melihat kekuatan duit Hary (peringkat ke-29 versi majalah Forbes 2012 dengan kekayaan US$ 1,09 miliar atau sekitar Rp 10 triliun), sumber pendanaan NasDem bakal berkurang. Kekuatan partai itu pada jaringan media massa yang luas, dari televisi, radio, hingga media cetak, pun tak lagi digdaya.

Namun Surya Paloh menyatakan NasDem tak akan goyah dengan hengkangnya Hary. "Pengaruhnya untuk partai? Sekecil-kecilnya," kata Surya. Seorang pengurus NasDem mengatakan Surya sudah berhitung bila ditinggalkan Hary, termasuk soal pendanaan partai. Ia bukannya tak memiliki pundi-pundi. Menurut taksiran majalah Globe Asia, pada 2009, kekayaannya sekitar US$ 108 juta atau Rp 1 triliun. Media Group, yang membawahkan Metro TV, bukan sumber utama brankasnya. Bisnis Surya terentang dari katering, hotel, hingga pertambangan.

Di bidang energi, PT Surya Energi milik Surya berkongsi dengan perusahaan patungan Angola-Hong Kong, China Sona­ngol, untuk memiliki 10 persen saham Blok Cepu. Di Indonesia, China Sonangol juga menggarap properti. China Sonangol bersama Sampoerna Group tercatat memiliki menara Sampoerna Strategic Square. Perusahaan yang bermarkas di Hong Kong itu bersama PT Plaza Indonesia Realty juga membangun pusat belanja eX Plaza.

Menurut sumber, untuk setiap investasi China Sonangol yang ditanamkan di Indonesia, Surya menerima komisi atas jasanya sebagai "perantara". Fulus dari perusahaan itu digunakan Surya seluruhnya untuk membiayai NasDem. Surya menyangkal menjadi penghubung China Sonangol di Indonesia. "Ah, saya bukan perantara," katanya. "Teman saya ada di mana-mana."

Anton Septian, Wayan Agus Purnomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus